Monday, December 27, 2010 By: shanti dwita

Halloween party

Beberapa waktu lalu di penghujung Oktober teman-teman saya mengajak untuk mengikuti perayaan Halooween di the Porter House, sebuah night club tempat anak-anak muda Gent biasa ngejojing alias disko-disko. Setelah ajakan2 ke night club yang selalu saya tolak sebelumnya, akhirnya kali ini saya bilang "iya" dengan pertimbangan bahwa ini special occasion, bagian dari kultur Barat yang memang ingin saya lihat. Lagi pula, saat itu momentumnya tepat, baru saja terlepas dari beban ujian 3 mingguan, presentasi serta paper yang benar-benar "menggila". Terus terang saya nggak punya persiapan apapun untuk ke acara Halloween. Saat teman-teman saya mengatur janji di  facebook untuk membeli pernak-pernik serta make-up, saya malah sedang nyenyak-nyenyaknya tidur siang. Pun saat saya tanya housemate saya, Esther dan Steve, tentang kostum yang akan mereka pakai, saya memilih apatis. Betapa tidak, mereka bilang mau mengecat muka ala Joker dengan warna putih, bibir merah belepotan darah, mata hitam, serta beberapa bekas luka sayat.. Aahh..mana mungkin saya bisa ikutan??!

Perayaan Halloween saat ini memang lekat sekali dengan pesta kostum, terutama di kalangan muda mudi. Halloween aselinya merupakan tradisi Samhain, sebuah tradisi di akhir musim panas untuk menyambut datangnya winter dan dilakukan oleh bangsa Galia kuno di wilayah Scotland. Bangsa Galia meyakini bahwa di hari Samhain (31 Oktober) batas antara dunia nyata dan dunia gaib akan sangat tipis, sehingga para penduduk dunia gaib dapat dengan mudahnya menyeberang ke alam nyata dan mengganggu mereka. Nah, agar roh jahat tidak merasuki mereka, para penduduk pun memakai topeng menyeramkan sebagai penangkal. Tradisi memakai topeng serta kostum seram inilah yang hingga saat ini masih dilakukan hingga sekarang. Lalu mengapa tradisi yang tadinya bernama "Samhain" berubah menjadi "Halloween"? Menurut artikel yang saya baca, itu semua ada kaitannya dengan campur tangan gereja dan kaum nasrani yang menganggap Samhain tidak gerejawi. Dengan harapan bangsa Galia meninggalkan tradisi Samhainnya, maka diciptakanlah label baru untuk festival ini, yaitu All Hallows Evening (malam bagi orang suci- All Saints), terdengar lebih religius, bukan? Kelamaan nama "Halloween" pun muncul untuk memudahkan masyarakat melafalkannya.

Kembali ke acara Halloween party di Porter House, Overpoort. Jam 11 malam saya bergabung bersama teman-teman, menunggu tram yang akan membawa kami ke dekat porter house. Teman-teman Turki, trio Hazal, Melike dan Mehmet sepertinya niat abis dengan dandanan maksimal. Hazal memakai kostum ala narapidana, dengan stocking stripes, hot pants, juga tanktop yang dibuat garis-garis dengan bantuan selotip putih. Crazy her! Plus  make up seram, topi khas napi, rantai juga tag yang bertuliskan nomor tawanan. Melike, berpakaian ala penyihir, tapi ngga mau mengambil resiko untuk tidak terlihat cantik. Mehmet, cukup total dengan make up seram, gigi drakula serta jubah berkerah tinggi, typically Dracula! Ahh... pergi bersama mereka bertiga rasanya cukup membuat kami semua mencuri perhatian orang-orang yang ada di tram. Dan karena perginya rame-rame, ngga ada alasan untuk ngga PD toh?

Trio Turkish

"So, Shanti.. this is your first time inside the night club! What is your impression then? Is it good?"  Well, nightclub itu penuh sesak, musik hingar bingar, lampu remang-remang dan semua orang sibuk bergerak. Di sana saya melihat Alessandro, teman Erasmus dari Italy. Dia lebih gila, mencoret-coret jas lab nya dan menjadikannya kostum scientist ala Dr. Frankeinstein.Teman-teman dari Spain juga datang, dan mereka semua kompak dengan kostum yang mereka pakai, Joker style!! Selain semua itu, satu hal yang menarik perhatian saya adalah dua gadis yang berdandan ala "The Smurfs", tokoh kartun yang diciptakan oleh kartunis/komikus (sorry kalo salah kata) Belgia, Pierre Culliford, yang sempat trend saat saya masih SD.

Dr. Frankeinstein wanna be

Spanish Guys

"The Smurfs" girls


Semakin larut meninggalkan pukul 12 malam, semakin banyak orang yang datang dan membuat suasana semakin penuh. Obviously, there was no place to sit. All I had to do was following the rhythm. But what did I do then since I couldn't dance? Aseli, irama musiknya sih woke dan saya suka, tapi rasanya  berat sekali menggerakkan badan. Walhasil, saya pun lebih asyik mengamati orang-orang disekitar saya , mengambil gambar mereka, dan mengobrol dengan beberapa teman yang rasanya makin malam makin banyak yang saya temui. Saya juga menengguk sebotol cola, minuman wajib saya saat kumpul dengan teman-teman, karena memang cuma itu minuman yang saya yakini tidak beralkohol, selain air kran tentunya.:P

Sekitar jam 3 pagi saya akhirnya pulang bersama keempat teman saya (setelah berhasil membujuk mereka karena lazimnya mereka baru akan pulang sekitar jam 5 pagi). Berjalan kaki menyusuri kanal di daerah Coupure, menempuh jarak sekitar 4-5 kilo! Untungnya malam itu cerah dan suasana hati cukup happy meskipun tidak terlalu menikmati malam pertama saya di nightclub. Voila, sampai dirumah, saya pun tidur dengan nyenyak, namun hanya 2-3 jam karena jam biologis tubuh saya akan otomatis berbunyi jam 6 pagi untuk sholat subuh. Setelah itu? Saya nggak bisa tidur lagi.

Dua hari setelah Halloween party di porter house, teman2 di group Facebook pun marak menyuarakan tuntutannya agar foto-foto halloween segera di upload. Ha, siapa lagi kalau bukan saya, karena memang hanya sayalah yang sibuk jeprat-jepret kamera saat semua orang berhappy-happy dengan minuman dan dansa dansi. Oke, tanpa ba bi bu, saya pun segera meng-upload foto-foto halloween di account Fb saya dan menge-tag semua teman Erasmus yang ada di foto-foto itu. Urusan selesai. Namun dugaan saya salah, karena hanya butuh beberapa saat sebelum sebuah surat "cinta" hinggap dengan manisnya di inbox. Hmm.. surat itu dari suami saya. Isinya begini :



Oops.. Did i make mistakes? Ya, di awang-awang sederhana saya, tentu saya ngga berfikir sejauh itu. Tapi, setelah ditelaah, apa yang dikatakannya memang banyak benarnya. Saya juga jadi ingat, rasanya mungkin hanya saya perempuan berkerudung yang hadir di Porter House malam itu, bukan hanya malam itu mungkin,  bisa jadi dalam sejarah Porter House buka, baru saat itulah ada perempuan dengan tutup kepala ikut  serta. Setelah sempat bingung tentang gimana caranya menghapus album di Fb dan tanya kanan kiri, akhirnya, dalam hitungan detik, album yang di upload sekitar 6 menit itu pun musnah, sempurna.

But, I think it's okay now to share it in my blog. 
Mengikuti kata orang bijak bahwa menulis adalah cara jitu untuk mengingat sesuatu, saya pun memuat cerita ini untuk mengingat kalau saya punya teman (hidup) yang selalu mengingatkan saya.
Thanks honey!

0 komentar:

Post a Comment