Friday, December 2, 2011 0 komentar By: shanti dwita

Saat aku menjadi ....

Saya duduk di pinggir perron 3 stasiun Nekkerspoel, awal Desember, pagi yang dingin dan senyap bekas hujan deras yang mengguyur Mechelen semalaman. Sepi, hanya beberapa orang tampak menunggu kereta. Kabarnya hari ini akan ada strike dan banyak kereta tidak beroperasi karena ada demonstrasi, kalaupun beroperasi, pasti akan terlambat. Itu sebabnya tak banyak mahasiswa-mahasiswa De Nayer Institute yang menunggu kereta L jurusan Atwerpen pagi itu, mungkin mereka sudah menumpang bus sejak tadi.

Saya sempat melirik judul di salah satu kolom harian “metro” berbahasa Belanda yang ditinggalkan pemiliknya di bangku merah yang warnanya mulai pudar, tentang FC Brugge, namun tak saya hiraukan lagi, it was in Dutch, man! Saya melamun saja akhirnya, dan angan saya melayang ke beberapa tahun lampau, saat saya masih rutin duduk di metromini butut warna orange-biru nomer 29 jurusan Pluit Muara Baru. Bukannya bermaksud sinis, tapi memang semua metromini yang menuju muara baru tidak ada yang mulus, semua berkarat hingga kadang lantai bis yang agak bolong membuat penumpang seperti saya bisa merasakan angin sepoi-sepoi dari bawah body bus. Angin sepoi-sepoi masih  dikategorikan good news, namun jika yang masuk lewat lubang tersebut adalah air laut, maka saya akan menghela nafas, sambil membaca Bismillah.

Banjir rob sering datang, menggenangkan Muara Baru setiap pasang purnama, atau mungkin lebih sering lagi, yang jelas, banjir itu datang di hari pertama saya bekerja di sana sebagai analis lab di pabrik pembekuan udang. Datang jam 7 pagi, langsung diberi tugas mengkultur bakteri dari sampel udang untuk bebepara parameter mikro. Saya sendirian di lab, hanya di pandu oleh kepala QC, namun prakteknya tetap saya yang kerja, ya iya, itu gunanya saya direkrut. Perusahaan itu perusahaan baru, dan saya memang digariskan untuk kerja sendirian, karena katanya, posisi saya ngga membawa keuntungan langsung buat perusahaan, jadi kalo bisa investasi pegawai untuk lab ditekan dengan memaksimalkan tenaga yang ada. Oke, ngga masalah, yang penting saya (akhirnya) dapat kerjaan, setelah berikhtiar mengirimkan berpuluh-puluh surat lamaran yang seringnya berakhir tanpa panggilan, atau gagal test di tahap akhir. Hmm.. mungkin ini yang namanya garis nasib, saya lulus dari IPB dengan IPK hampir 3,9 plus embel2 mahasiswa baik2, disalamin rektor pula, tapi kok ya nyari kerja susahnyaaa minta ampun. Anyway, no pain no gain, saya jalani dulu episode hidup saya di Muara Baru.

Saya tinggal di Luar Batang II, gang dengan lebar 2-3 meter, tidak jauh dari apartemen mitra bahari, hanya dipisahkan dengan parit besar yang sayangnya selalu meluap kalau hujan deras. Di ujung gang, ada masjid tua yang punya banyak jamaah dan sering dikunjungi untuk ziarah, orang-orang sekitar menyebutnya masjid keramat. Masjid tua yang jadi ikon Batavia ini pernah dikunjungi presiden SBY di acara buka bersama tahun 2007, saya ingat sekali, saat itu dari lantai 3 kamar, saya melihat sosok bu Ani dan Pak SBY di dalam mobil sedan RI 1 yang melaju sangat lambat, dengan kawalan pasukan pengaman berseragam batik. Sayangnya saya tidak ikutan, padahal menu buka puasanya sudah pasti lebih nikmat dari nasi kotak rumah makan padang sederhana SA yang paling mahal. Saya hanya dengar cerita dari teman-teman produksi di pabrik yang ikut menikmati nasi kotak dari presiden itu keesokan harinya. Di kawasan mesjid keramat, saat banyak peziarah datang di malam Jumat untuk berdoa di makan Sayid Husein bin Abubakar Alaydrus, para pedagang kaki lima pun akan selalu ramai menggelar dagangannya, saat gelap mulai menjalar. Aktifitas jual beli mulai ramai ba’da maghrib, mulai dari Luar Batang V, hingga menuju pelataran masjid. Barang yang dijual beranekaragam, mulai dari mainan anak-anak, sandal sepatu, jajanan sampai makanan macam sate lontong, bakso dan soto ayam, tapi yang mendominasi adalah pakaian. Sebagian penjual pakaian  adalah pedagang di beberapa kios di Pasar Ikan. Ya, saya tau karena saya pernah beli baju disana, dan ibu-ibu penjualnya bilang, “main-main ke toko saya kapan-kapan”. Bagi saya pasar malam di daerah kramat seperti hiburan yang selalu saya nanti-nanti tiap minggunya, dan saya tidak akan ragu untuk bilang kalau saya adalah pelanggan setianya.

Hari-hari bekerja di Muara Baru sangat saya nikmati, bahkan saya senang-senang saja untuk datang di hari Minggu untuk uji lanjut Salmonella yang dengan metode konvensional butuh 3-4 hari analisis. Alasan utama saya datang, karena selain dapat uang lembur, saya juga dapat sarapan dan makan siang gratis, seperti hari-hari kerja biasanya. Namun itu semua butuh adaptasi, setelah sekian kali saya merasa shock juga tersinggung dengan omongan para pekerja harian yang bukan main kasar dan joroknya. Dampak dari adaptasi itu salah satunya vocabulary kata-kata jorok saya bertambah (meski ngga pernah saya praktekkan) dan saya jadi lebih “gaul” dengan mereka setelah dekat dengan seorang QC yang cukup dianggap dikalangan pekerja harian, istilahnya, “kalo lo mau survive di pabrik, lo temenan yang baek lah ma ni orang!” Haha. Bytheway, dekat disini jangan diartikan negatif, saya dekat dengan dia hanya sebatas teman, karena meski laki-laki,  dia tertariknya dengan laki-laki juga, tidak dengan cewek tulen kaya saya.. UUpps #aib ! Oke, sebut saja sahabat karib saya ini sebagai Ditje.  

Sejak bergaul dengan Ditje, pekerja-pekerja pabrik jadi nggak jutek lagi, saya juga selalu dapat live report tentang gosip-gosip terbaru di kalangan buruh harian, mulai dari ribut-ribut, berantem, berita selingkuh, sampai berita kesurupan. Ditje ini juga yang mengajari saya cara praktis menjadi QC di pabrik udang, karena kadang kalau saya bosan di lab, saya sering masuk ke ruang produksi, ngobrol dengan QC atau dengan staf-staf produksi, dan cateeet, “mereka semua laki-laki!!”

Banjir rob selalu menjadi warna tersendiri untuk saya. Banyak pengalaman manis bersama buruh-buruh pabrik yang saya lalui selama banjir. Untuk yang belum tahu seperti apa Muara Baru, ada baiknya mencoba main-main ke kawasan Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zahman, terutama saat banjir. Supir bajaj dan metromini yang sayang mesin, biasanya akan menurunkan penumpangnya di gang Elektro  atau gang Marina saat banjir di area pelabuhan mencapai paha orang dewasa. Jarak dari gang Marina ke kawasan industri masih sekitar 500-600 meter lagi, dan itu bisa ditempuh dengan berbagai ikhtiar. Banyak mode transportasi yang pernah saya coba, salah satunya sepeda onthel. Sedih kalau mengingatnya, bapak pendorong sepeda yang memanggil saya dengan sebutan “neng” akan menyuruh saya naik dan melipat kaki, sementara dia menuntun sepeda di tengah banjir, dengan kakinya yang meraba-raba pijakan, dan kepalanya yang mencoba mengingat-ingat dimana letak jalan bolong yang wajib dihindari, kalau tidak mau terperosok dan terendam lebih dalam.
Saat banjir rob datang di sore hari, rasanya pilihan menjadi lebih mudah. Jam pulang kerja, tak perlu kuatir dengan celana basah dan jinjing sepatu, itu sudah lumrah. Biasanya saya naik metromini dari dekat pelabuhan, bersama teman-teman QC/produksi dan pekerja harian yang mayoritas ibu-ibu, janda, juga anak-anak muda tujuh belasan tahun yang notabene adalah migran dari daerah brebes-tegal-pekalongan. Tapi ya, karena lama melanglang di Jakarta, tinggalnya di Muara Baru pula, biar darah djawa, tetep fasih dong ngomong “lu-gue”. Beberapa masih ada yang pakai aku-kamu, ada juga yang sebut nama, semisal “Asih mau kesitu dulu ya..” hehe, yang tipe begini biasanya anak baik-baik. Oke, alkisah, saya pun rutin pulang bersama-sama mereka, kalo nggak berdiri nggantung di pintu metro mini (sangking langka dan banyaknya penumpang yang ingin naik), kami kadang menyetop bajaj dan mengisi si roda tiga gembul warna oranye itu dengan 4 orang penumpang. Apa!! 4 orang?? Lima termasuk supir sebenarnya..Haha, yaaa.. begitulah, maklum, abang tukang bajaj suka jual mahal saat merasa supply lebih sedikit dari demand, tarif bajaj untuk perjalanan uji nyali melintasi banjir bisa didongkrak 2-3 kali lipat. Untuk seperti apa detilnya tentang deskripsi satu bajaj diisi 5 orang, silahkan dibayangkan dengan menaruh dua kaki penumpang depan di luar pintu, dan satu penumpang di tengah belakang yang apes karena harus bertahan 7 menit dalam posisi agak jongkok!

Saat ingin melintasi banjir dengan gratis, para buruh harian tercinta biasanya rajin-rajin mengulurkan jempolnya pada setiap mobil pick-up atau truk yang lewat. Saat mobil itu mengerem, saya pun ikut ambil bagian dengan berlari-lari mengejar mobil bersama mereka. Duduk di gerobak belakang mobil pick-up melewati genangan air, benar-benar terasa seperti putri kerajaan yang diarak tandu (*lebay). Pernah di suatu malam, saya dan teman-teman yang sudah terperangkap bajir di dekat gerbang Nizam Zahman dapat tumpangan truk.. seperti biasa, setelah bahu-membahu, saya bergasil naik ke gerobak belakang, dengan duapuluhan orang lainnya yang berdiri berjejalan di dalam truk, saya tidak sempat mengobservasi sekitar, yang jelas saya nggak harus berjibaku dengan air rob yang warnanya kadang kuning keruh, kadang abu-abu, dan kadang agak hitam.. yaaa.. tipikal warna air laut yang dicampur limbah pabrik ikan-udang. Turun dari truk di luar batang V bersama beberapa teman, saya pun akhirnya berhasil mengidentifikasi truk apa yang baru saja saya naiki.. Hiyuaaa.. truk kuning bertuliskan Dinas Kebersihan Jakarta Utara!! Pantas saja sejak awal saya naik, saya mencium bau-bau tidak enak!

Pengalaman dengan truk sampah masih terhitung biasa, dibandingakan dengan ketika saya naik trailer, bukan di samping supir, tapi di leher trailer, antara kepala (bagian ruang kemudi) dengan badan trailer (container). Kemacetan panjang saat banjir, hari yang beranjak gelap, juga ajakan teman-teman QC untuk naik ke trailer, seperti menyuruh saya untuk mencoba tantangan baru. Baiklah, 15-20 menit perjalanan macet gerbang Muara baru sampai Luar Batang (jaraknya mungkin hanya 1,2km), saya pegangan erat di tiang besi, setelah sebelumnya berhasil memanjat roda trailer yang besarnya bukan main. Saya harus melupakan bahwa saya ini perempuan, namun kerasnya medan membuat saya harus berani seperti layaknya teman-teman saya yang laki-laki.

Entah bagaimana saya harus menyebut semua itu, kenangan baik atau kenangan buruk, tapi yang jelas saya suka episode hidup saya di Muara Baru. Saya mengenal langsung teman-teman buruh harian dengan suka duka hidupnya, saya juga sering diajak main kerumah mereka, menyusuri jalanan sempit dengan lebar satu meter. Tiduran di salah satu rumah teman buruh sambil nonton tivi sambil ngobrol-ngobrol, tanpa ventilasi, dan agak sumpek karena kamarnya di lantai dua dengan tinggi ruangan hanya 2 meter. Pernah juga diajak Ditje ke rumah ibu-ibu pekerja di Pasar Ikan, dekat dengan sungai besar, gang-gang yang menuju ke rumah-rumah terbuat dari bambu-bambu besar yang terapung diatas sungai. Duduk di rumah kayu terapung sambil mendengarkan lantunan gossip-gosip seru seputar orang-orang di pabrik, juga tentang tetangga mereka. Banyak nama mereka yang masih saya ingat, yang paling lekat adalah Mak Nong, ibu-ibu heboh yang suka bawa makanan untuk dijual di pabrik. Karena tua, kosakata joroknya, beuhh, bukan main banyaknya, mungkin akibat bioakumulasi. Dagangan favorit saya sebenarnya ngga ada, tapi saya berkali-kali beli karena Ditje selalu beli, yah, kembali ke tips “kalo lo mao survive di pabrik bla bla bla..”

Ditje teman saya ini juga memperkaya falsafah hidup saya (falsafah itu apa sih??). Dia selalu bagi-bagi cerita kalu malamnya habis clubbing dan bertemu pria tampan, dia juga selalu stylish, dan peduli penampilan. Rajin rebonding, padahal rambutnya pendek aja, rajin facial dan pake moisturizer, juga selalu complain kalau badannya selalu bau kalau habis ngendon di ruangan produksi. Yah, saya tau persis bau-bau macam apa yang meninggalkan jejak di badan, karena saya juga sering ikut bantu-bantu buruh harian mengupas udang dan menyortir mana yang defect, broken, kualitas 1 dan kualitas 2, lumayan, sambil ngobrol waktu kerja pagi sampai sore akan cepat berlalu. Ditje pernah promosi tentang mie ayam enak di dekat pelabuhan ujung, saya lupa kalau ditanya arah mata anginnya,  kayaknya dari pabrik, saya masih jalan lagi ke utara, dekat dengan tempat kapal-kapal ikan mendarat dan bongkar muat. Saya ikut saja, toh harganya cuma 5000 rupiah semangkok, dan sudah dapat embel-embel rekomendasi enak. Sore itu, saya, ditje dan beberapa teman-teman QC/produksi (total kami berempat atau berlima), kabur diam-diam untuk hunting mie ayam. Namun mie yang dicari ternyata baru dalam proses memasang tenda. Ditje pun mengajak saya “gue tau rumahnya, kita susulin kesana aja yuk!” Haha, itu kali pertama saya akhirnya ikut bantu-bantu bapak-ibu penjual mie ayam buka lapak. Setelah nungguin tumisan daging ayam (untuk topping mie ayam) matang di dapur rumah mereka, saya dan ditje pun menawarkan bantuan untuk mengangkat termos dan perlengkapan buka lapak lainnya. Rumah mereka tidak bersih sempurna, tapi saya tidak kehilangan selera untuk makan disana, juga tidak minta diskon karena sudah bantu-bantu. Saya tetap membayar sesuai harga jual yang mereka pasang, malu dooooong, masa minta kortingan.

Tinggal di Muara Baru yang tidak bersih, tidak higin, tidak saniter.. apalah istilahnya, saya nggak merasakan semua itu sebagai masalah berarti. Tetap saja saya beli lauk dari warteg-warteg di sekitar tempat banjir itu, tetap juga saya jadi pelanggan aban bakso yang mangkal di depan kos, dan juga pelanggan setia kwetiaw rebus yang mengandalkan micin untuk kelezatan hidangannya. Saya tetap sehat kok, meski pernah sekali harus bermalam di Atma Jaya karena kram perut akut, diare dan muntah2, saya nggak pernah kapok.

Hmm.. saat menyelesaikan tulisan ini, saya sedang duduk di depan netbook, di student desk di laboratorium, ditemani segelas teh panas dengan krimmer kental. Hmm.. Nikmat Tuhan mana lagi kan yang kamu dustakan? Menerawang balik kehidupan saya di Muara Baru tahun 2007, dan membandingkannya dengan Desember 2011, saat saya kembali  berstatus mahasiswa di negeri antah brantah. 
Sunday, November 27, 2011 6 komentar By: shanti dwita

Weekend : mencicipi waterzooi - Belgian gastronomic series

Tinggal sendirian di Mechelen membuat saya semakin autis, miskin interaksi social juga jarang komunikasi dengan orang.  Meski saya sering menyapa  pegawai-pegawai laboratorium tempat saya magang, tentu tak banyak kata yang saya umbar, sebatas “Hi, Hello, Good morning, Smaakelijk, Bye, See you tomorrow, Have a nice weekend!” Cenderung repetitive seperti itu, karena semua sibuk, terlebih saat makan siang bersama di dining room, mereka akan memakai bahasa Belanda. Sejauh ini teman baru yang ramah adalah Tina, Belgian petite girl dengan rambut blonde yang bicara bahasa Belanda,  Pruno, petite size Belgian man (kira-kira 172cm ideal), PhD student yang bicara bahasa Perancis karena dia dari Brussels, dan juga Myriam, Belgian girl dengan badan tinggi dan rambut coklat pendek yang baru pulang dari Ethiopia. Beberapa yang saya anggap lebih autis dari saya adalah cewek Polandia yang sama sekali tidak pernah menyapa, biarpun bertemu berhadap-hadapan di depan freezer minus 80 derajat di basement, juga saat berada satu ruang di autoclave lantai 1, di jalan, di tempat parkir, di stasiun, atau dimanapun. Hah, mungkin dia picky dalam berteman, buktinya dia bisa sangat talk-active saat ngobrol dengan bule2 lain di lab.

Oke, lupakan tentang rutinitas lab yang menjemukan, dan kembali ke masalah saya dan autism saya. Weekend pertengahan November lalu sudah saya habiskan dengan nonton drama Jepang dan Korea, tanpa beringsut sedikitpun dari lantai 4 student house tempat saya tinggal. Pergerakan hanya sebatas toilet, dapur dan shower room. Weekend minggu ini saya ingin membuat sedikit kemajuan, setelah menyadari betapa menyedihkannya mengurung diri di kamar, menangis dan tertawa sendirian saat emosi diaduk-aduk oleh hal sesepele film Korea . Tapi tetap…… tiga judul film berhasil saya khatamkan dalam waktu 12 jam: Humming, A millionaire’s first love dan juga The Classic. Judul-judul itu saya dapat setelah berkosultasi dengan kaskus dan juga prof. google. Tak lebih dari tiga, karena saya telah menyusun agenda yang cukup menjanjikan, berwisata kuliner di Brussels, window shopping di Nieuwstraat, dan ditutup dengan pengajian KPMI Belgia plus makan malam bersama di KBRI.

Sabtu siang ba’da Zuhur saya berjalan kaki menuju Mechelen Nekkerspoel, sejenak memberi cuti pada sepeda lipat super mini, membiarkan ia beristirahat di parkiran gedung housing bersama puluhan sepeda besar lainnya. Jadwal kereta yang tercantum di website SNCB (B-Rail) menjanjikan kereta IR akan datang di spoor 4 jam 13.31 dan tiba di Central Station Brussels 23 menit kemudian. Saya sengaja tidak makan siang, menyisakan ruang perut yang sudah saya kapling-kapling untuk typical Belgian dish semacam steam mussels dengan fries.
Dari stasiun, tujuan saya adalah Galeries Royal Hubert di rue de marche aux herbes  yang didaulat sebagai the most beautiful covered galleries in Europe. Terletak  tak sampai 200 meter dari stasiun, hanya butuh waktu 5 menit bagi orang dengan langkah kaki pendek-pendek seperti saya untuk mencapainya. Dibangun di 1847, Royal Hubert masih tampak mempesona, terlebih seperti saat saya lihat siang tadi, dengan hiasan bola-bola ala lampu disko berwarna emas dan ratusan lampu-lampu kecil benderang yang menghidupkan nuansa natal. Ya, di akhir November semua kota di Eropa sedang bersukaria menyambut natal, ditandai dengan berdirinya booth-booth yang menjual dekorasi natal di pusat kota. Brussels sendiri memusatkan Christmas marketnya di area Grotemarkt, hanya 1 blok dari Royal Hubert.  

Royal Hubert Galleries terdiri dari 3 bagian, Galeries de la Reine (the Queen's Gallery), Galerie du Roi (the King's Gallery) dan Galerie des Princes (the Princes' Gallery). Di sepanjang galeri, terdapat banyak toko, diantaranya toko tas Delvaux dan Longchamp, beberapa café, juga toko coklat yang cukup sering disinggahi turis mancanegara. Mohon saya jangan dihitung sebagai turis, karena saya immigrant legal temporal.
Tujuan saya ke Royal Hubert bukan untuk belanja, bukan juga untuk hunting foto, tapi lebih spesifik untuk makan. Sudah beberapa kali sebenarnya saya melewati deretan rumah makan di dekat King’s gallery, terakhir melangkahkan kaki di Rue des bouchers, nama jalanan itu, adalah saat saya dan teman-teman berburu patung Jeanneke Pis sepulang sholat Idul Adha (idenya seperti manneken Pis— patung anak laki-laki kecil yang sedang pipis--  tapi yang ini berjenis kelamin perempuan).  Saat itu saya sempat melirik papan menu yang di jajarkan di depan rumah makan, yang juga di tunjuk-tunjuk oleh pelayan rumah makan yang siaga berdiri di pinggir jalan untuk menggiring tamu masuk dan membeli hidangan yang mereka tawarkan. Ada paket menu Belgian dish seharga mulai dari 12 euro. Papan-papan menu itulah yang menyeret kaki saya, juga menstimulasi otak saya untuk sekedar mencicip hidangan khas Belgique, di jalanan yang sama, 20 hari kemudian.

Ada banyak sekali rumah makan di Rue des bouchers (French) alias Beenhouwersstraat (Dutch). Hampir semuanya menyediakan beberapa meja di teras untuk pelanggan yang ingin menikmati makanan sambil menikmati lalu-lalang orang yang melintas di jalanan yang tidak terlalu lebar. Menu yang disajikan beragam, mulai dari Belgian dishes dengan mussels sebagai menu andalan, Spanish dengan seafood paella-nya, hingga Italian dengan pasta-nya. Meja-meja di luar tampak tertata rapi, dengan serbet yang terlipat serta piring saji dan ornament bunga. Saya suka suasananya yang terletak di pusat kota, dengan terrace roof warna merah-hijau dan bohlam-bohlam kuning  memancarkan warna tungsten yang berkesan hangat. Saya belum pernah makan di fine dining restaurant, dan saya rasa apa yang ditawarkan di Rue des Bouchers masih sangat jauh dari kategori fine dinning, cukup dibilang casual dining dengan predikat “decent atau fair” saja. Setidaknya setelah membaca beberapa review di trip advisor, saya tau bahwa banyak turis yang merasa tidak puas dengan berbagai alasan, mulai dari harga yang mahal, pelayan rumah makan yang bertampang seperti mafioso, hingga layanan rumah makan yang kurang memuaskan. Membaca komentar salah seorang trip advisor user tentang mafioso ini membuat saya membayangkan squidward di kartun favorit saya –spongebob squarepants. Berhidung besar dan bergaris wajah keras, meski sudah tersenyum ramah seramah-ramahnya untuk menggaet tamu, aura seram-nya masih terasa.

Seorang pelayan rumah makan menyapa saya siang itu “Assalamualaikum.. Would you like to eat, we have seat inside for you..” Ya, selalu begitu. Setiap kali saya (perempuan asia pendek, kulit coklat dan berkerudung) lewat sana, pelayan-pelayan pasti menyapa dengan Assalamualaikum, sebuah trik jitu untuk menarik minat wisatawan dari Malay-Indonesia, atau Turki, dan Timur Tengah. Ucapan salam itu juga keluar dari mulut pelayan yang berwajah arab, dengan rambut hitam klimis, sehingga saya pun tak ragu menjawab “Waalaikumsalam”. Setelah menolak tawaran dari beberapa rumah makan, saya akhirnya menerima pinangan dari Le beouf qui rit, tak jauh dari ujung jalan yang bersentuhan dengan Reine Koninginne (king) gallery.  Tertulis di teras mereka bahwa ada menu seharga 12euro yang bisa saya coba.

Masuk ke dalamnya, saya bertemu dengan sekelompok turis manula asal jerman, sekitar 8 orang, juga 4 pria yang saya tidak tahu asalnya, tapi saya yakin mereka pasti turis juga. Si pelayan berkemeja biru, celana hitam dengan tinggi sekitar 178 cm membawakan list menu untuk saya, masing-masing dengan harga 12 euro dan 18 euro. Ada berbagai pilihan appetizer, main course dan dessert yang bisa saya pilih. Tak lupa, ia pun mengarahkan saya untuk memilih menu yang halal, karena ia juga seorang muslim. Dia tidak merekomendasikan Belgian beef stew yang dimasak dengan beer, juga tidak dengan menu lain yang dimasak dengan wine. Menelusuri setiap nama masaka, saya sama sekali tidak tertarik dengan apa yang tertulis di daftar 12euro, karena untuk main course, hidangan yang ditawarkan adalah jenis pasta dan daging. Melirik menu 18euro, saya akhirnya memilih Mussels gratin untuk appetizer, Waterzooi untuk main course, juga dessert yang akan dipilihkan oleh pihak rumah makan. Menu yang saya inginkan sebenarnya, steam mussels atau mosselsoep dengan fries tidak ada di daftar, either di 12e ataupun di 18e, mungkin ada di daftar menu yang lebih mahal, dengan harga 26-50an euro.

Hidangan pertama datang, beberapa kerang hijau dengan satu cangkang, mungkin sekitar 12 ekor, disusun satu persatu diatas tray, disiram saus tomat yang sudah di simmer dengan basil, ditaburi keju parut dan kemudian dipanggang dengan oven. Saya tidak tau resep aslinya, tapi mungkin itu cara yang akan saya gunakan untuk membuat resep serupa, berdasarkan petunjuk dari indra pengecap saya. Saat mencoba makanan (seringnya masakan Indonesia), biasanya saya langung bisa menebak komposisi yang digunakan, meskipun tidak selalu 100% akurat. Oke, karena ini rumah makan, saya pun akan makan dengan pisau dan garpu, lupakan makan dengan cara “muluk”, meskipun pasti itu yang akan saya lkukan jika saya ada dirumah, menganalogikan mussels gratin dengan balado kerang pedas yang dimakan dengan nasi hangaaatt.. kyaaaaa… Pisau di tangan kanan saya arahkan untuk menyayat roti padat bulat dengan gandum putih di tangan kiri, letakkan roti sejenak di keranjang, colek butter dengan pisau, oleskan ditengah sayatan roti, letakkan pisau, dan segera lumat roti dengan kedua tangan. Ahh.. harusnya saya cuek saja, meski saat itu beberapa pengunjung lain mulai berdatangan dan rumah makan mulai penuh. Dua perempuan di sisi kiri saya dan pasangan Perancis (setidaknya si perempuan ramah menyapa saya dengan berkata bonjour) di sebelah kanan saya. Ya, tak perlu menghiraukan mata mereka yang mungkin diam-diam memperhatikan anehnya cara makan saya.



Selesai dengan mussles gratin, tak perlu menunggu lama, pelayan yang saka kira berasal dari Maroko  tadi segera membereskan meja dan mengisinya dengan piring, sendok dan garpu yang baru, tak ada pisau kali ini, karena main course yang akan tiba adalah waterzooi yang full kuah. Waterzooi adalah makanan khas dari Gent, awalnya dbuat dengan menggunakan bahan dasar ikan, namun saat ini waterzooi dengan ayam menjadi lebih popular, seperti apa yang sedang saya nikmati. Kuah panas berwarna putih kekuningan segera saya seruput dengan menggunakan sendok, untuk mencicipi bagaimana sensasi rasa yang pertama kali disampaikan reseptor lidah untuk disimpan di memori otak saya. Full kaldu ayam, seperti mencicip rebusan daging ayam dengan volume 1:1, satu ekor ayam dengan 1 liter air, gurih, creamy dan pas asinnya, saya sukaa.  Di suapan kedua, saya ikut menyertakan irisan dada ayam yang super empuk, namun tidak hancur dengan serat-serat daging masih melekat sempurna. Di suapan berikutnya, saya tidak ingat lagi yang keberapa, yang jelas puluhan suap hingga kuah, daging ayam, wortel, leeks (seperti daun bawang tapi ekstra jumbo), kentang bulat kecil yang tidak dikupas, brokoli dan juga presley hampir habis. Di akhir perjuangan saya menghabiskan semangkok waterzooi, saya pun menyerah, dan menyisakan sepotong ayam yang tak sanggup lagi saya habiskan, secara… saya nggak terlalu suka ayam. Actually, fish will be better, sayang tidak dicantumkan dalam menu 18euro, hanya ditawarkan di prime list dengan harga 30euro per porsi.



Kekenyangan dengan waterzooi, saya butuh rehat sejenak dengan memainkan game dari ponsel sebelum memakan dessert yang  berupa wafel dengan siraman gula palm. Maklum, saya satu-satunya tamu yang datang sorangan untuk makan disana, lainnya berdua, berempat atau berenam. Tapi saya enjoy saja, toh memang niatnya adalah untuk memanjakan perut dan membuat weekend lebih produktif, setidaknya setelah makan disana saya jadi punya materi untuk ditulis di blog. :D Makan-makan selesai, bill datang setelah saya minta, dan untuk ketiga makanan itu plus segelas orange juice, saya membayar 21euro. Cukup mahal untuk mahasiswa yang datang dengan beasiswa seperti saya, namun untuk pengalaman, saya lebih setuju dengan quote yang pernah saya baca di web, seorang traveler bilang “save memories, not money!” Benar-benar wow, tapi ya, kalau bisa saya ingin sedikit mengubahnya menjadi “save memories and money!” setidaknya itu benar-benar  “saya banget”. Ingin mengumpulkan uang untuk menjelajah dunia maha luas yang telah diciptakan Allah dengan sempurnanya, melihat midnight sun di lintang tinggi mendekati kutub, menginjakkan kaki di bulir-bulir pasir gurin di Timur tengah, tapi juga ingin membesarkan anak-anak saya dengan fasilitas yang cukup agar mereka lebih berbahagia dari saya. InsyaAllah!

Friday, November 18, 2011 0 komentar By: shanti dwita

Durbuy : The smallest town in the world

Hari Jumat di akhir Oktober saya chatting dengan beberapa teman di Gent lewat Facebook inbox. Yah, sejak tinggal di Mechelen, saya selalu komunikasi dengan teman-teman pelajar Indonesia di Gent lewat Fb, mailing list atau sms. Akan terasa menyenangkan jika di Mechelen ada mahasiswa Indonesia juga, tapi rasanya saya hanya sendiri di kota ini, satu-satunya warga Indonesia yang pernah saya temui adalah Bu Aik. Pertemuan dengan beliau juga terjadi secara kebetulan saat kami sama-sama menunggu bus di halte Veemarkt. Pagi itu saya hendak menuju tempat magang saya di Sint-Katelijne Waver, 6km dari Mechelen. Bu Aik menuliskan alamat dan nomor telefonnya di tissue dengan terburu-buru karena bis nomor 7 yang ditunggunya datang. Sejak itu kami belum pernah bertemu lagi, mungkin saya harus segera menyusun agenda weekend saya untuk menyempatkan main ke rumah bu Aik. Selama ini setiap weekend saya selalu plesir, seringnya ke Gent dan Brussels, jarang sekali berada di Mechelen.

Ngomong-ngomong soal plesir, dalam chat saya dengan teman di Gent, saya akhirnya memutuskan untuk nimbrung dengan group mahasiswa Food Tech – VLIR di Universiteit Gent yang berencana mengunjungi Durbuy. Sebenarnya ada rencana juga untuk main ke Lille, Prancis esok Sabtunya, tapi saya batalkan karena saya rasa trip ke Durbuy tampak lebih promising. Saya sama sekali tidak pernah dengar tentang Durbuy sebelumnya, hingga teman saya bilang bahwa Durbuy adalah the world’s smallest city. Setelah Googling, dan melihat gambar sudut-sudut kota Durbuy di internet, saya tertarik juga, dan langsung memutuskan untuk ikut.

Sabtu siang jam 10 saya tiba di Sint Pieters, mampir sebentar ke tempat tinggal lama saya di Gent untuk mengambil surat, karena alamat residence card juga bank account saya masih menggunakan alamat lama. Jam 11.00 saya kembali ke Sint Pieters, bertemu dengan dua teman Indonesia dan satu teman program VLIR dari Filipina. Kami menumpang kereta IC jurusan Eupen dan berhenti di Liege sambil menunggu kereta lain yang akan membawa kami ke Barvaux, stasiun SNCB terdekat dari Durbuy.  Mungkin hari itu kami kurang beruntung. Kereta yang menuju Barvaux hanya lewat dua jam sekali dan yang terakhir baru saja lewat. Waktu yang cukup panjang untuk menunggu kereta yang baru akan datang pukul 2.15 saya habiskan dengan duduk di kedai kebab yang ada di seberang stasiun Liege. Sebenarnya saya tidak lapar, tapi saya ingin numpang sholat disana, karena paling tidak, penjualnya kan orang Turki, dia pasti akan maklum jika melihat perempuan muslim seperti saya sholat di salah satu bangku di kedainya. Selesai memesan durum kebab (saya nggak suka kebab dengan roti), saya ke toilet untuk wudhu dan segera duduk di pojok kedai agar tak mencuri perhatian pengunjung lain. Saat saya sedang sholat, pelayan kedai datang ke meja saya mengantarkan durum pesanan saya dan kemudian meletakkannya di meja. Selesai sholat, dia bilang pada saya dengan bahasa Perancis plus bahasa isyarat bahwa saya salah menghadap kiblat. “Yaa.. saya sholat menghadap kemana saja, mas, nggak punya kompas soalnya, but anyway, makasih ya..” ujar saya.

Duduk-duduk di depan stasiun Liege yang berdiri megah dengan warna putih dan pilar sirkular di sekelilingnya, cuaca cerah, kami pun tergoda untuk membatalkan rencana ke Durbuy, dan berfikir untuk keliling Liege saja. Saya bilang pada mereka bahwa di Liege ada outlet Mango yang menjual produk-produk Mango dengan harga super miring. Namanya perempuan, begitu mendengar produk branded harga miring, mereka semua langsung bersemangat. Mereka bilang lain kali mereka akan datang lebih pagi untuk wisata belaja di Liege, tapi kali ini baiknya kami tetap pada tujuan utama, Durbuy.

Finally… kami tiba juga di Barvaux, stasiun kecil, bahkan lebih kecil dari stasiun kereta di Untung Surpati, Labuhan Ratu dekat rumah saya di Bandar Lampung. Tidak ada loket yang menjual tiket, jadi penumpang yang naik dari Barvaux bisa membeli tiket langsung ke kondektur-nya. Dari Barvaux menuju Durbuy, kami naik TEC service, yang kalau di daerah Flanders (Belgia utara), layanan transportasi macam ini dijalankan oleh DeLijn. TEC yang kami naiki tidak berwujud bus seperti yang ada di kota-kota Wallonia lain semisal Charleroi atau Aarlon. Mungkin karena Durbuy kota kecil, TEC nya juga hanya berupa minibus dengan kapasitas penumpang maksimal 20 orang. Sepanjang perjalanan yang berliku, dengan pemandangan padang rumput juga sapi-sapi gemuk, bapak supir yang sudah sepuh memutarkan lagu-lagu romantic macam How Deep is Your Love-nya Take That. Suasana kota kecil yang memang hanya cocok untuk refreshing mulai terasa. Beberapa tempat wisata yang menyuguhkan wisata adventure seperti kayaking, horse riding, ataupun cycling. Saya juga sempat melihat arena Go-kart, patut di coba untuk yang suka duduk di belakang kemudi.

Turun di halte TEC, saya langsung bisa menikmati suasana autumn khas provinsi Luxembourg di Wallonia, dengan daun warna-warni, merah, kuning, coklat, hijau dan oranye.. langit biru serta hamparan rumput yang masih hijau. Berbeda dengan kontur Flanders yang rata, di Wallonia mata saya cukup tersegarkan dengan pemandangan bukit-bukit dengan pepohonan di hutan Ardennes yang mulai meranggas. Tepat di gerbang kota  jembatan kayu dengan railing berwarna putih yang membentang di atas Ourthe river seolah mengucapkan selamat datang dan member jalan pagi para turis untuk melihat lebih jauh ke setiap sudut kota Durbuy. Di tepian Ourthe river, berdiri tegak bangunan yang menjadi landmark kota Durbuy – Castle of the Counts of Ursel, dibangun oleh keluarga Ursel di abad 11.

Ourthe river dengan Ursel Castle-nya

Di seberang kastil, berdekatan dengan Church of Durbuy, ada La Falize, seberti bukit yang terbelah dengan guratan-guratan sirkular menyerupai annual ring di sisik ikan teleostei. Ha… entah mengapa saya menganalogikan La Falize dengan sisik ikan, bukan dengan pola cambium di pohon berkayu keras yang juga sama-sama membentuk pola tahunan, mungkin karena saya mantan anak ikan di IPB dulu.

Durbuy memang mendapat predikat kota terkecil di dunia, dan mereka masih menggunakan slogan itu untuk menarik minat para wisatawan. Menilik kembali sejarahnya, Durbuy mulai disebut sebagai kota terkecil sejak tahun 1331. Namun saya tak yakin bahwa julukan itu masih valid hingga sekarang, mengingat di tahun 1977, Durbuy mengalami pelebaran wilayah dengan menggaet beberapa village di sekitarnya untuk masuk ke dalam wilayah administratif kota Durbuy. Well, meski tidak terbukti sebagai kota terkecil, saya tetap tidak masalah jika Durbuy tetap berbangga hati menyebut dirinya kota terkecil di dunia.

sudut kota Durbuy

Menyusuri jalanan Durbuy tidak akan membutuhkan waktu lama. Satu hingga satu setengah jam mungkin akan cukup untuk mengeksplor seluruh kota. Sebagai kota medieval- abad pertengahan-, bangunan-bangunan tua di Durbuy di dominasi oleh warna abu-abu batu alam ala Ardennes. Di sepanjang jalan utama (yang meski disebut jalan utama namun ukurannya tidak terlalu lebar, hanya cukup untuk dua mobil kecil saja), banyak terdapat café dan restaurant yang layak di coba. Atmosfir yang terbentuk secara keseluruhan setelah berjalan ke sudut-sudut kota Durbuy adalah relaxing, bukan tipikal kota yang cocok untuk para workaholic, karena semuanya serba santai dan slow moving.

Wednesday, November 16, 2011 3 komentar By: shanti dwita

Berlin

Satu dari kota-kota di Eropa yang ingin sekali saya kunjungi adalah Berlin, selain Paris dan Roma. Rencana itu terwujud Sabtu pagi 12 November , saat saya menginjakkan kaki di ZOB messe nord bersama ketiga teman dari Gent.  Udara dingin menggeliatkan badan saya seolah terkena temperature-shock setelah 12 jam berada di bus yang cukup hangat, jelas hangat karena kaki saya saya jejakkan di heater bus selama perjalanan.  Memenuhi insting untuk menghangatkan diri, kami berempat menuju ruang tunggu terminal yang pagi itu sarat penumpang yang berdatangan dari berbagai kota di Eropa, mayoritas berasal dari Eropa Timur. Di depan saya duduk seorang ibu-ibu tua yang sama sekali tidak ramah, ia duduk di atas heater namun barang-barangnya dijejerkan di dua bangku kosong di sisi saya. Saat seorang teman hendak duduk, ia pun dengan bersungut-sungut  beranjak dari heater dan membereskan barangnya di satu kursi, lalu menduduki kursi lainnya. Walhasil, teman saya batal duduk di sebelah saya.  Perawakannya kecil, rambutnya panjang, hitam kemerahan, berkulit keriput, suara serak. Aihh…

Di sisi kiri, masih di depan saya,ada seorang backpackers dari Kanada yang wajahnya mirip Clark di serial Smallville a.k.a Superman. Dia juga tiduran di atas heater yang panjangnya sekitar 2 meter. Sungguh suhu dingin membuat semua orang ingin mendekat ke heater. Andaikata heater itu bisa dilipat, mungkin saya akan meletakkannya di saku dan membawanya kemanapun saya pergi. Yaa.. ini November, saat dimana suhu daratan Eropa (kecuali Spanyol dan Portugal) berkisar 0 sampai 5 derajat, bahkan bisa sampai minus 5 saat malam. Menarik mengikuti pembicaraan turis kanada dengan seorang pria dari Rumania yang ada di depannya,  juga ketika seorang pria Rumania lainnya membuka pembicaraan dengan ibu-ibu tua di depan saya tadi. Meski saya tidak tahu bahasa Rumania atau Jerman, saya bisa menangkap maksud pembicaraan mereka, karena seperti pemain-pemain bola di Lega Calcio yang sering menggunakan isyarat tangan, si ibu tadi juga banyak menggunakan tangannya untuk bicara. Ia dari Sophia, Bulgaria, dan saat itu sedang dalam misi menawarkan barang dagangannya ke lelaki Rumania yg tinggi besar..  Senang rasanya mendengarkan berbagai bahasa, sebenarnya saya ingin menambah kemampuan berbahasa saya, namun rasanya otak saya akan hang… rasanya cukup bagi saya untuk belajar bahasa jawa Kromo Inggil saja dan menurunkannya ke anak cucu, supaya bahasa daerah tercinta itu tidak punah termakan modernisasi.. Ah.. saatnya mencari orang yang bisa mengajari saya bahasa Jawa halus J

Setelah 2,5 jam berada di halte, kami memutuskan untuk menuju hostel, karena layanan hostel baru dimulai pukul 10 pagi. Di luar jendela, matahari hangat mulai memunculkan sosoknya. Alhamdulillah sekali karena menurut perkiraan cuaca, untuk tiga hari kedepan, matahari akan bersinar cerah, meski suhu dingin mencapai minus tidak mungkin bisa dihindari. Berbalut coat abu2 tua tebal, tanpa sarung tangan, saya berjalan menuju S-bahn station, dengan ransel berisi baju dan makanan untuk survive di Berlin. Dua halte terlewati sejak kami naik dari Messe Nord ICC, menumpang S42 menuju Halensee. Hostel die etage tempat kami akan menginap terletak tiga ratus meter dari stasiun suburban railway Halensee. Sebenarnya banyak hostel dengan rate kepuasan pelanggan diatas 90% yang ditawarkan berbagai website dengan lokasi yang lebih strategis, namun kami memilih hostel ini dengan pertimbangan harga murah, ada female dorm, juga ada dapur. Kejutan lainnya.. ada free towel dan juga free padlock and key untuk loker (Jadi teringat trip ke Stockholm saat saya harus membayar extra untuk bedsheet, padlock dan juga towel L--).

Oke.. urusan hostel selesai, saatnya petualangan Berlin dimulai. Dengan bermodalkan small group ticket seharga 15 euro per 24 jam untuk 5 orang, kami bebas berkeliling Berlin dengan menggunakan semua mode transportasi yang tersedia, mulai dari bis, tram, Underground metro (U-bahn) juga suburban railway (S-bahn).  Untuk itinerary hari pertama, kami berempat memutuskan untuk mengunjungi Postdam, 25 km di barat daya Berlin metropolitan. Sebagai tujuan wisata, Postdam disebut sebagai world heritage site terbesar di Jerman, dengan beberapa bagunan bersejarah berarsitektur rococo yang sempat dijadikan tempat tinggal  German’s royal family (Kerajaan Prussian/Borussia) di abad 18. Definisi tentang Postdam memang tak pernah salah, saya hany bisa berdecak kagum melihat bangunan-bangunan tua yang masih tegak berdiri dengan indahnya. Beberapa yang saya ingat adalah Bandenburger  Tor, gerbang besar yang hamper serupa dengan Brandenburger Tor besar di Berlin kota,  lengkap dengan one pointer clock yang berada di ujung jalan Brandenburger strasse. Saat kami duduk-duduk menghalau dingin sambil menikmati bekal (bekal saya 1 cheese burger, 1chicken burger McD, sebotol air putih juga pisang—langsung habis seketika—bahasa alaynya lapar sangadh), jam besar  berwarna keemasan itu berdenting, menunjukkan jam satu siang. Senagnyaa.. right time, right place!

Brandenburger Tor Postdam
One pointer Clock-- Postdam

Dingin semakin menusuk, entah suhu berapa yang jelas saya merasa menyesal sekali meninggalkan sarung tangan kulit saya di Belgie. Jari-jari serasa membeku dan tak ada pilihan lain selain mampir ke H&M, hunting sarung tangan untuk emergency situation seperti ini. Setelah mengubek2, pilihan jatuh pada sarung tangan rajut seharga 6 euro, nggak murah memang, tapi lumayan, saya suka modelnya yang cuma menutupi separuh jari, jadi jari-jari saya yang setengah beku masih bisa lincah jepret foto sana sini.

Dari H&M, saya dan teman-teman berjalan melewati Dutch quarter, sambil mencari halte bis yang akan membawa kami ke Sanssouci, maskot kota postdam, yang disebut-sebut sebagai Versailles-nya Jerman. Yah.. meski demikian,saya skeptis, Sanssouci  tak akan seindah istana Versaillesnya Louis XIV di Prancis yang serba emas. Kami turun di end terminus halte, yaitu Postdam Universite – New Palace. Di halaman new palace, di bangku panjang, kami berempat menjamak sholat zuhur dan ashar, jangan bayangkan sholat dengan sajadah terbentang, cukup bisa duduk tenang di bangku saja sudah cukup. Ahh.. lagi-lagi, kalau urusan ibadah, Indonesia tetap tempat favorit, kapan saja, dimana saja, mushola tersedia, lengkap dengan mukena, sajadah dan tempat wudhu.  Episode new palace selesai, berlajut dengan episode jalan kaki menuju Orangerie Castle (Orangerie Schloss), Neue Kammern (bangunan dengan kincir angin ala Belanda) hingga akhirnya berhenti di Sanssouci.  Sebenarnya masih banyak objek yang ingin kami kunjungi, namun winter time yang membuat hari lebih pendek memaksa kami mengakhiri traveling di jam 4.30 sore, saat hari mulai gelap, dan dingin makin menggigit… plus kondisi badan yang perlu di recharge karena belum tidur nyenyak dengan badan lurus di atas kasur empuk dan duvet hangat sejak meninggalkan Gent Jumat kemarin. Sebagai penutup perjalanan, kami berempat makan malam di AsianGourmet- Postdam Hauptbahnhof. Saya memesan menu nomor 37c yang berisi tumisan rindfleisch (beef) dengan sayur-sayuran, disajikan dengan noodle seharga 5,5 euro.
Orangerie
Sanssouci

Perjalanan hari kedua dimulai jam 9 pagi. Kami menjelajah Berlin barat mengunjungi Charlottenburg, dengan menumpang S-Bahn ring 41 menuju Westend. Dari stasiun kami berjalan kaki menyusuri Sophie-Charlottenstrasse, menembus jalanan berkabut. Beberapai helai daun kering yang jatuh di trotoar tampak berbalut es. Charlottenburg, hampir sama dengan sanssoucci di Postdam,  merupakan istana dengan style baroque-rococo dengan domonasi warna tembok kuning cerah dan kubah hijau. Dipesan oleh istri raja Borussia Friedrich I, Sophie Charlotte, sebagai tempat tinggal pribadinya dan tentu dari sinilah nama  Charlottenburg berasal. Meninggalkan istananya ratu Charlotte, menuju U-bahn station di Richard Wegner platz, saya sempat memotret Kaiser-Wilhelm-Gedächtniskirche- gereja protestan yang dijadikan salah satu tujuan wisata di Berlin. Saya tidak berjalan lebih dekat, karena menurut saya bangunan tersebut kurang menarik, saya lebih terobsesi untuk segera mencapai Checkpoint Charlie agar bisa ikut free walking tour jam 11.00.


Charlottenborg

.
Checkpoint Charlie bisa diakses melaui U-Bahn line 6 (U6) dengan halte terdekat Kochstrasse. Keluar dari underground tunnel, saat mencapai puncak escalator, saya bisa melihat Checkpoint Charlie museum di sudut jalan antara Friedrich street dengan Koch street. CC menjadi tempat yang popular karena merupakan point perbatasan antara Russia-US saat Berlin masih terbagi dua- Berlin timur dengan Russian army dan berlin barat dengan US army. Ketika tembok Berlin runtuh pada 1988, otomatis, checkpoint Charlie juga dihancurkan.

Checkpoint Charlie


Sebagai meeting point dari berbagai macam tour untuk wisatawan, Charlie tampak sangat crowded Beberapa orang berpakaian tentara US dengan kamp tiruan serta karung-karung pasir siap dijadikan objek untuk foto bersama dengan tariff 2 euro per orang. Foto-foto mengenang sejarah runtuhnya tembok Berlin juga terpasang memanjang ke arah Friedrich street.  Namun dibalik semua itu, sebenarnya sasaran saya saat berkunjung ke Charlie adalah tour guide yang berpakaian merah, seperti yang tertulis di brosur yang diberikan oleh pihak hostel. Beberapa orang dengan kostum merah ada disana, tapi tidak satupun dari mereka yang tampak “menjanjikan” sebagai tour-guide, mayoritas hanyalah lelaki afro yang menawarkan bus city tour. Yah, mungkin hari itu bukan hari keberuntungan kami untuk belajar sejarah secara menyenangkan, karena berdasarkan pengalaman saya ikut walking tour di Barcelona dan Copenhagen, tour guide-nya tampak bersemangat menceritakan detil tiap sudut kota lengkap dengan humor yang membuat saya sedikit tersenyum (humor bule boo, ike ngga paham..hehe).

Gagal dengan walking tour, saya dan teman-teman memutuskan untuk menjalani self-guided tour (J) dengan bekal peta wisata. Tujuan pun ditetapkan, mulai dari menapaki Friedrich street menuju ke utara, berbelok ke timur menengok indahnya Gendarmenmarkt (square dengan konzerthaus/concert hall yang diapit dua gereja berkubah bulat) di district Mitte –central Berlin, sejenak melirik babelplatz yang juga berisi bangunan berkubah bulat, lalu kembali mengarah ke barat menyusuri Unter den Linden boulevard (most famous avenue di Berlin city) menuju Brandenburger Tor dan Pariser Platz.

Brandenburger Tor Berlin


Brandenburger BTor sontak menjadi tempat favorit saya, hampir sama tingkat ketakjubannya dengan saat saya melihat menara Eiffel untuk pertama kalinya. Ya, meski tidak ada similaritas antara keduanya, bangunan batu ala yunani dengan ornament dewi Victoria yang mengendarai kereta kuda di satu pihak dengan skyscraper dengan baja kecoklatan di pihak lainnya. Tapi saya suka, seolah membangun mood yang baik saat berdiri di Pariser Platz, dengan ratusan orang yang begantian mengambil foto, diiringi lagu merdu pemusik jalanan, menyaksikan sekelompok aggota klub yoga yang sedang melatih konsentrasi dengan bermeditasi di tengah keramaian..serta menikmati penampilan seorang pementas dengan atraksi busa sabun yang dikerumuni anak-anak kecil dengan coat warna-warni dan senyum sumringah. Saat itu saya merasa Berlin begitu hidup, tidak seperti Belgie yang muram setelah autumn usai.

Bicara tentang wisata Berlin, rasanya tidak akan selesai dalam 10 lembar word document dengan setting A4. Dan sekarang saya sudah di lembar ke empat. Ah..rasanya banyak yang ingin ditulis dan dibagi di blog, tapi saya capek euy. Singkat kata di hari kedua, setelah mengunjungi Barndenburger Tor, saya ke Reichstag/Bundestag, Groβer stern, Berliner Dome, Alexander Platz dengan TV tower dan world clock time, Red house (rathaus), Berlin wall di Muhlenstrasse, Oberbaum bridge, dan Postdamer Platz. Perjalanan hari ketiga di Berlin lebih mengeksplor area Berlin Timur , sebuah district bernama Treptow-Kopenick serta ditutup dengan mengelilingi museum island di pusat kota berlin.


Tiba di Mechelen

Hari ini akhir minggu kedelapan saya berada di Mechelen, kota di Provinsi Antwerp yang membentang strategis diantara 3 kota besar, Antwerpen, Brussels serta Leuven, dengan jarak tempuh masing-masing sekitar 20 kilometer saja (salah satu sebab setiap weekend saya sering main ke Brussels J). 

Masih lekat dalam ingatan, hari pertama saya menginjakkan kaki disini. Membawa satu koper besar berisi pakaian, laptop dan survival stuffs untuk hidup di Mechelen at least selama seminggu pertama. Kereta IR jurusan Kortrijk-Mechelen yang saya naiki dari Gent saat itu berhenti di platform 1. Dengan susah payah saya menurunkan koper berat dari kereta, lalu melongok kesekeliling berharap menemukan lift atau paling tidak tangga berjalan. Hyaa..seperti angan-angan semu karena stasiun Mechelen tidak lebih besar dari St. Pieters, mungkin hanya sekaliber Gent Dampoort. Apa boleh buat, saya pun dengan Bismillah mulai menuruni 40an anak tangga sambil membawa koper, prinsip saya saat itu benar-benar alon-alon asal kelakon, dengan misi sederhana, sampai di lantai bawah dengan koper mulus tanpa cela.

Tiba di lantai dasar, saya buka lagi arah2an menuju ke Varkenstraat 6 tempat saya akan tinggal, yang saya dapat dari NMBS web. Tertulis “naik bis nomer 5 jurusan Tivoli turun di Biest”. Ah, see! Kind of easy. Setelah tanya sana sini, ketemu juga platform 2 tempat pemberhentian Delijn bus service. Dari kejauhan, bis nomor 5 tampak, saya bersiap untuk menyetop, dengan sedikit berlari. Tapi entah mengapa bis situ tak berhenti tepat di tempat saya menunggu. Ahh… ini pasti karena satu bis “geen dienst –no service” yang seenaknya ngetem tepat di bus stop, sementara supirnya sedang asyik bercengkrama dengan perempuan berambut coklat tua, aihhhhhh… “come on… move move!!” gerutu saya dalam hati. Mood saya memang sedang jelek karena kelelahan mengangkat koper ditambah perkiraan cuaca yang bilang kalau ada peluang hujan di Mechelen siang itu. Saya lihat langit yang memang tampak mendung, saya hanya bisa berdoa agar hujan tidak turun saat saya masih struggling mencari alamat.

Setelah sabar menanti 15 menit untuk bis berikutnya, saya pun berada di bis nomer 5, duduk dengan tenangnya sembari membaca nama2 halte yang saya lewati, bersiap pencet bel begitu melihat kata “mechelen biest”. Impresi pertama saya saat melihat Mechelen dari jendela bus adalah 80% mirip dengan Gent. City hall, tower dan katherdalnya benar2 persis sama, hanya kurang kanal, graslei dan korenlei plus sungai Lys yang mengalir diantara keduanya. Shopping street di Mechelen juga lebih panjang dan jejeran toko dengan brand yang lebih beragam, membuat saya langsung membayangkan puasnya berburu barang murah di winter sale Januari nanti. Terlalu lama berangan, saya terlambat menyadari kalau bus yang saya naiki sedang berhenti di Biest sekarang. Namun terlambat, mesin bis kembali menderu, memberi saya keputusan bahwa saya harus berhenti di bus stop berikutnya.  

Dengan hanya berbekal bahasa Inggris, saya bertanya ke beberapa orang tentang Varkensstraat 6. Beberapa menjelaskan, tapi dengan bahasa Belanda.  Intinya, saya harus balik kea rah city center. Dewi keberuntungan datang melalui 2 perempuan berumur, yang meskipun dengan bahasa Inggris terbatas, mengajak saya naik ke atas bis nomor 5, kembali ke Mechelen station, karena bus nomer 5 dari Tivoli Park menuju Mechelen station tidak melewati city center—tempat dimana saya seharusnya turun. Si nenek bilang, alamat yang saya cari dekat dengan Gemeente, di dekat tower Belfry. Nampaknya raut wajah saya yang bingung masih terlihat meskipun saya sudah bilang,” sure I believe I’ll find it, thank you very much“ sambil tersenyum.

Satu dari dua wanita berumur tadi turun di halte kedua dari bus stop tempat kami sama-sama naik tadi. Mereka berpisah di halte itu, si nenek bilang pada temannya bahwa ia akan mengantar saya dulu mencari alamat, baru kemudian akan menyusulnya setelah selesai mengantar saya.  “Don’t worry, I will go with you” kata nenek itu pada saya. Alhamdulillah, kembali bertemu orang baik di negri yang serba asing ini. Di perjalanan napak tilas saya, dengan rute yang sama menyusuri Brull –main street di Mechelen city center-, saya mengobrol dengan nenek baik hati yang menyebutkan namanya Clamentine, tapi biasa dipanggil Tienneke itu. Ah iya, setelah 8 minggu sejak pertemuan, nama Tienneke masih melekat erat di memori saya, meski saya tak bisa mengingat raut wajahnya dengan jelas. Usia oma Tien sudah 70 tahun  namun masih gesit beraktivitas bersama manula2 lainnya. Salah satu aktivitasnya, tentu seperti yang sedang beliau lakukan, menolong anak muda kesasar seperti saya, hehe.

Beberapa meter setelah melampaui City Hall di Grotemarkt, oma Tienneke menunjukkan, itu dia Varkensstraat! Oma bilang, apa yang tertulis di Delijn maps salah, karena seharusnya saya berhenti di Veemarkt, instead of Biest. Dari Veemarkt, tulisan Varkensstraat di plat berwarna biru yang menempel di dinding apartment abu-abu nampak jelas terbaca. Saya pun yakin saya tidak salah alamat. Saat mengucapkan selamat tinggal ke oma tienneke, saya memeluknya erat di dalam bus, sebagai ungkapan terimakasih yang begitu besar. Alhamdulillah!