Friday, December 2, 2011 0 komentar By: shanti dwita

Saat aku menjadi ....

Saya duduk di pinggir perron 3 stasiun Nekkerspoel, awal Desember, pagi yang dingin dan senyap bekas hujan deras yang mengguyur Mechelen semalaman. Sepi, hanya beberapa orang tampak menunggu kereta. Kabarnya hari ini akan ada strike dan banyak kereta tidak beroperasi karena ada demonstrasi, kalaupun beroperasi, pasti akan terlambat. Itu sebabnya tak banyak mahasiswa-mahasiswa De Nayer Institute yang menunggu kereta L jurusan Atwerpen pagi itu, mungkin mereka sudah menumpang bus sejak tadi.

Saya sempat melirik judul di salah satu kolom harian “metro” berbahasa Belanda yang ditinggalkan pemiliknya di bangku merah yang warnanya mulai pudar, tentang FC Brugge, namun tak saya hiraukan lagi, it was in Dutch, man! Saya melamun saja akhirnya, dan angan saya melayang ke beberapa tahun lampau, saat saya masih rutin duduk di metromini butut warna orange-biru nomer 29 jurusan Pluit Muara Baru. Bukannya bermaksud sinis, tapi memang semua metromini yang menuju muara baru tidak ada yang mulus, semua berkarat hingga kadang lantai bis yang agak bolong membuat penumpang seperti saya bisa merasakan angin sepoi-sepoi dari bawah body bus. Angin sepoi-sepoi masih  dikategorikan good news, namun jika yang masuk lewat lubang tersebut adalah air laut, maka saya akan menghela nafas, sambil membaca Bismillah.

Banjir rob sering datang, menggenangkan Muara Baru setiap pasang purnama, atau mungkin lebih sering lagi, yang jelas, banjir itu datang di hari pertama saya bekerja di sana sebagai analis lab di pabrik pembekuan udang. Datang jam 7 pagi, langsung diberi tugas mengkultur bakteri dari sampel udang untuk bebepara parameter mikro. Saya sendirian di lab, hanya di pandu oleh kepala QC, namun prakteknya tetap saya yang kerja, ya iya, itu gunanya saya direkrut. Perusahaan itu perusahaan baru, dan saya memang digariskan untuk kerja sendirian, karena katanya, posisi saya ngga membawa keuntungan langsung buat perusahaan, jadi kalo bisa investasi pegawai untuk lab ditekan dengan memaksimalkan tenaga yang ada. Oke, ngga masalah, yang penting saya (akhirnya) dapat kerjaan, setelah berikhtiar mengirimkan berpuluh-puluh surat lamaran yang seringnya berakhir tanpa panggilan, atau gagal test di tahap akhir. Hmm.. mungkin ini yang namanya garis nasib, saya lulus dari IPB dengan IPK hampir 3,9 plus embel2 mahasiswa baik2, disalamin rektor pula, tapi kok ya nyari kerja susahnyaaa minta ampun. Anyway, no pain no gain, saya jalani dulu episode hidup saya di Muara Baru.

Saya tinggal di Luar Batang II, gang dengan lebar 2-3 meter, tidak jauh dari apartemen mitra bahari, hanya dipisahkan dengan parit besar yang sayangnya selalu meluap kalau hujan deras. Di ujung gang, ada masjid tua yang punya banyak jamaah dan sering dikunjungi untuk ziarah, orang-orang sekitar menyebutnya masjid keramat. Masjid tua yang jadi ikon Batavia ini pernah dikunjungi presiden SBY di acara buka bersama tahun 2007, saya ingat sekali, saat itu dari lantai 3 kamar, saya melihat sosok bu Ani dan Pak SBY di dalam mobil sedan RI 1 yang melaju sangat lambat, dengan kawalan pasukan pengaman berseragam batik. Sayangnya saya tidak ikutan, padahal menu buka puasanya sudah pasti lebih nikmat dari nasi kotak rumah makan padang sederhana SA yang paling mahal. Saya hanya dengar cerita dari teman-teman produksi di pabrik yang ikut menikmati nasi kotak dari presiden itu keesokan harinya. Di kawasan mesjid keramat, saat banyak peziarah datang di malam Jumat untuk berdoa di makan Sayid Husein bin Abubakar Alaydrus, para pedagang kaki lima pun akan selalu ramai menggelar dagangannya, saat gelap mulai menjalar. Aktifitas jual beli mulai ramai ba’da maghrib, mulai dari Luar Batang V, hingga menuju pelataran masjid. Barang yang dijual beranekaragam, mulai dari mainan anak-anak, sandal sepatu, jajanan sampai makanan macam sate lontong, bakso dan soto ayam, tapi yang mendominasi adalah pakaian. Sebagian penjual pakaian  adalah pedagang di beberapa kios di Pasar Ikan. Ya, saya tau karena saya pernah beli baju disana, dan ibu-ibu penjualnya bilang, “main-main ke toko saya kapan-kapan”. Bagi saya pasar malam di daerah kramat seperti hiburan yang selalu saya nanti-nanti tiap minggunya, dan saya tidak akan ragu untuk bilang kalau saya adalah pelanggan setianya.

Hari-hari bekerja di Muara Baru sangat saya nikmati, bahkan saya senang-senang saja untuk datang di hari Minggu untuk uji lanjut Salmonella yang dengan metode konvensional butuh 3-4 hari analisis. Alasan utama saya datang, karena selain dapat uang lembur, saya juga dapat sarapan dan makan siang gratis, seperti hari-hari kerja biasanya. Namun itu semua butuh adaptasi, setelah sekian kali saya merasa shock juga tersinggung dengan omongan para pekerja harian yang bukan main kasar dan joroknya. Dampak dari adaptasi itu salah satunya vocabulary kata-kata jorok saya bertambah (meski ngga pernah saya praktekkan) dan saya jadi lebih “gaul” dengan mereka setelah dekat dengan seorang QC yang cukup dianggap dikalangan pekerja harian, istilahnya, “kalo lo mau survive di pabrik, lo temenan yang baek lah ma ni orang!” Haha. Bytheway, dekat disini jangan diartikan negatif, saya dekat dengan dia hanya sebatas teman, karena meski laki-laki,  dia tertariknya dengan laki-laki juga, tidak dengan cewek tulen kaya saya.. UUpps #aib ! Oke, sebut saja sahabat karib saya ini sebagai Ditje.  

Sejak bergaul dengan Ditje, pekerja-pekerja pabrik jadi nggak jutek lagi, saya juga selalu dapat live report tentang gosip-gosip terbaru di kalangan buruh harian, mulai dari ribut-ribut, berantem, berita selingkuh, sampai berita kesurupan. Ditje ini juga yang mengajari saya cara praktis menjadi QC di pabrik udang, karena kadang kalau saya bosan di lab, saya sering masuk ke ruang produksi, ngobrol dengan QC atau dengan staf-staf produksi, dan cateeet, “mereka semua laki-laki!!”

Banjir rob selalu menjadi warna tersendiri untuk saya. Banyak pengalaman manis bersama buruh-buruh pabrik yang saya lalui selama banjir. Untuk yang belum tahu seperti apa Muara Baru, ada baiknya mencoba main-main ke kawasan Pelabuhan Perikanan Samudera Nizam Zahman, terutama saat banjir. Supir bajaj dan metromini yang sayang mesin, biasanya akan menurunkan penumpangnya di gang Elektro  atau gang Marina saat banjir di area pelabuhan mencapai paha orang dewasa. Jarak dari gang Marina ke kawasan industri masih sekitar 500-600 meter lagi, dan itu bisa ditempuh dengan berbagai ikhtiar. Banyak mode transportasi yang pernah saya coba, salah satunya sepeda onthel. Sedih kalau mengingatnya, bapak pendorong sepeda yang memanggil saya dengan sebutan “neng” akan menyuruh saya naik dan melipat kaki, sementara dia menuntun sepeda di tengah banjir, dengan kakinya yang meraba-raba pijakan, dan kepalanya yang mencoba mengingat-ingat dimana letak jalan bolong yang wajib dihindari, kalau tidak mau terperosok dan terendam lebih dalam.
Saat banjir rob datang di sore hari, rasanya pilihan menjadi lebih mudah. Jam pulang kerja, tak perlu kuatir dengan celana basah dan jinjing sepatu, itu sudah lumrah. Biasanya saya naik metromini dari dekat pelabuhan, bersama teman-teman QC/produksi dan pekerja harian yang mayoritas ibu-ibu, janda, juga anak-anak muda tujuh belasan tahun yang notabene adalah migran dari daerah brebes-tegal-pekalongan. Tapi ya, karena lama melanglang di Jakarta, tinggalnya di Muara Baru pula, biar darah djawa, tetep fasih dong ngomong “lu-gue”. Beberapa masih ada yang pakai aku-kamu, ada juga yang sebut nama, semisal “Asih mau kesitu dulu ya..” hehe, yang tipe begini biasanya anak baik-baik. Oke, alkisah, saya pun rutin pulang bersama-sama mereka, kalo nggak berdiri nggantung di pintu metro mini (sangking langka dan banyaknya penumpang yang ingin naik), kami kadang menyetop bajaj dan mengisi si roda tiga gembul warna oranye itu dengan 4 orang penumpang. Apa!! 4 orang?? Lima termasuk supir sebenarnya..Haha, yaaa.. begitulah, maklum, abang tukang bajaj suka jual mahal saat merasa supply lebih sedikit dari demand, tarif bajaj untuk perjalanan uji nyali melintasi banjir bisa didongkrak 2-3 kali lipat. Untuk seperti apa detilnya tentang deskripsi satu bajaj diisi 5 orang, silahkan dibayangkan dengan menaruh dua kaki penumpang depan di luar pintu, dan satu penumpang di tengah belakang yang apes karena harus bertahan 7 menit dalam posisi agak jongkok!

Saat ingin melintasi banjir dengan gratis, para buruh harian tercinta biasanya rajin-rajin mengulurkan jempolnya pada setiap mobil pick-up atau truk yang lewat. Saat mobil itu mengerem, saya pun ikut ambil bagian dengan berlari-lari mengejar mobil bersama mereka. Duduk di gerobak belakang mobil pick-up melewati genangan air, benar-benar terasa seperti putri kerajaan yang diarak tandu (*lebay). Pernah di suatu malam, saya dan teman-teman yang sudah terperangkap bajir di dekat gerbang Nizam Zahman dapat tumpangan truk.. seperti biasa, setelah bahu-membahu, saya bergasil naik ke gerobak belakang, dengan duapuluhan orang lainnya yang berdiri berjejalan di dalam truk, saya tidak sempat mengobservasi sekitar, yang jelas saya nggak harus berjibaku dengan air rob yang warnanya kadang kuning keruh, kadang abu-abu, dan kadang agak hitam.. yaaa.. tipikal warna air laut yang dicampur limbah pabrik ikan-udang. Turun dari truk di luar batang V bersama beberapa teman, saya pun akhirnya berhasil mengidentifikasi truk apa yang baru saja saya naiki.. Hiyuaaa.. truk kuning bertuliskan Dinas Kebersihan Jakarta Utara!! Pantas saja sejak awal saya naik, saya mencium bau-bau tidak enak!

Pengalaman dengan truk sampah masih terhitung biasa, dibandingakan dengan ketika saya naik trailer, bukan di samping supir, tapi di leher trailer, antara kepala (bagian ruang kemudi) dengan badan trailer (container). Kemacetan panjang saat banjir, hari yang beranjak gelap, juga ajakan teman-teman QC untuk naik ke trailer, seperti menyuruh saya untuk mencoba tantangan baru. Baiklah, 15-20 menit perjalanan macet gerbang Muara baru sampai Luar Batang (jaraknya mungkin hanya 1,2km), saya pegangan erat di tiang besi, setelah sebelumnya berhasil memanjat roda trailer yang besarnya bukan main. Saya harus melupakan bahwa saya ini perempuan, namun kerasnya medan membuat saya harus berani seperti layaknya teman-teman saya yang laki-laki.

Entah bagaimana saya harus menyebut semua itu, kenangan baik atau kenangan buruk, tapi yang jelas saya suka episode hidup saya di Muara Baru. Saya mengenal langsung teman-teman buruh harian dengan suka duka hidupnya, saya juga sering diajak main kerumah mereka, menyusuri jalanan sempit dengan lebar satu meter. Tiduran di salah satu rumah teman buruh sambil nonton tivi sambil ngobrol-ngobrol, tanpa ventilasi, dan agak sumpek karena kamarnya di lantai dua dengan tinggi ruangan hanya 2 meter. Pernah juga diajak Ditje ke rumah ibu-ibu pekerja di Pasar Ikan, dekat dengan sungai besar, gang-gang yang menuju ke rumah-rumah terbuat dari bambu-bambu besar yang terapung diatas sungai. Duduk di rumah kayu terapung sambil mendengarkan lantunan gossip-gosip seru seputar orang-orang di pabrik, juga tentang tetangga mereka. Banyak nama mereka yang masih saya ingat, yang paling lekat adalah Mak Nong, ibu-ibu heboh yang suka bawa makanan untuk dijual di pabrik. Karena tua, kosakata joroknya, beuhh, bukan main banyaknya, mungkin akibat bioakumulasi. Dagangan favorit saya sebenarnya ngga ada, tapi saya berkali-kali beli karena Ditje selalu beli, yah, kembali ke tips “kalo lo mao survive di pabrik bla bla bla..”

Ditje teman saya ini juga memperkaya falsafah hidup saya (falsafah itu apa sih??). Dia selalu bagi-bagi cerita kalu malamnya habis clubbing dan bertemu pria tampan, dia juga selalu stylish, dan peduli penampilan. Rajin rebonding, padahal rambutnya pendek aja, rajin facial dan pake moisturizer, juga selalu complain kalau badannya selalu bau kalau habis ngendon di ruangan produksi. Yah, saya tau persis bau-bau macam apa yang meninggalkan jejak di badan, karena saya juga sering ikut bantu-bantu buruh harian mengupas udang dan menyortir mana yang defect, broken, kualitas 1 dan kualitas 2, lumayan, sambil ngobrol waktu kerja pagi sampai sore akan cepat berlalu. Ditje pernah promosi tentang mie ayam enak di dekat pelabuhan ujung, saya lupa kalau ditanya arah mata anginnya,  kayaknya dari pabrik, saya masih jalan lagi ke utara, dekat dengan tempat kapal-kapal ikan mendarat dan bongkar muat. Saya ikut saja, toh harganya cuma 5000 rupiah semangkok, dan sudah dapat embel-embel rekomendasi enak. Sore itu, saya, ditje dan beberapa teman-teman QC/produksi (total kami berempat atau berlima), kabur diam-diam untuk hunting mie ayam. Namun mie yang dicari ternyata baru dalam proses memasang tenda. Ditje pun mengajak saya “gue tau rumahnya, kita susulin kesana aja yuk!” Haha, itu kali pertama saya akhirnya ikut bantu-bantu bapak-ibu penjual mie ayam buka lapak. Setelah nungguin tumisan daging ayam (untuk topping mie ayam) matang di dapur rumah mereka, saya dan ditje pun menawarkan bantuan untuk mengangkat termos dan perlengkapan buka lapak lainnya. Rumah mereka tidak bersih sempurna, tapi saya tidak kehilangan selera untuk makan disana, juga tidak minta diskon karena sudah bantu-bantu. Saya tetap membayar sesuai harga jual yang mereka pasang, malu dooooong, masa minta kortingan.

Tinggal di Muara Baru yang tidak bersih, tidak higin, tidak saniter.. apalah istilahnya, saya nggak merasakan semua itu sebagai masalah berarti. Tetap saja saya beli lauk dari warteg-warteg di sekitar tempat banjir itu, tetap juga saya jadi pelanggan aban bakso yang mangkal di depan kos, dan juga pelanggan setia kwetiaw rebus yang mengandalkan micin untuk kelezatan hidangannya. Saya tetap sehat kok, meski pernah sekali harus bermalam di Atma Jaya karena kram perut akut, diare dan muntah2, saya nggak pernah kapok.

Hmm.. saat menyelesaikan tulisan ini, saya sedang duduk di depan netbook, di student desk di laboratorium, ditemani segelas teh panas dengan krimmer kental. Hmm.. Nikmat Tuhan mana lagi kan yang kamu dustakan? Menerawang balik kehidupan saya di Muara Baru tahun 2007, dan membandingkannya dengan Desember 2011, saat saya kembali  berstatus mahasiswa di negeri antah brantah.