Sunday, January 9, 2011 0 komentar By: shanti dwita

Madrid day 2

Seperti hari-hari sebelumnya dimana saya selalu bangun kepagian, jam setengah 8 saya sudah rapi dengan jaket semi kulit warna ungu serta ransel berisi payung untuk menjelajah Madrid. Prediksi cuaca untuk Minggu, 9 Januari, Madrid akan diguyur hujan dengan peluang presipitasi 80%. Benar-benar kepagian karena suasana masih lengang dan langit masih berwarna abu-abu kemerahan. Beberapa cafe, seperti Dunkin Coffee yang ada di sebelah hostel tempat saya menginap, sedang berbenah dan siap menyambut tamu yang akan mampir untuk segelas kopi hangat dan sepotong kue. Menyusuri San Jeronimo, menuju Sol metro station yang jaraknya hanya 100 meter, seorang pria Afrika menghampiri dan mengajak ngobrol saya meski sudah saya judesi setengah mati. Dia bertanya nama, dan menyebutkan namanya juga, Ï´m Billy¨. Bahasa Inggrisnya tidak lancar, mungkin dia hanya tau ¨what´s your name dan how are you doing¨karena dari tadi ia mengulang pertanyaan yang sama. Teringat kejadian di Sacre couer, Paris, saat seorang Afrika mengajak ngobrol saya dan kemudian saya sadar dompet saya hilang, tentunya saya tak ingin hal ini terjadi lagi. Saya segera menghindar dan masuk ke area metro. Tujuan pertama saya adalah La Latina, tempat flea market yang sangat terkenal di Madrid, El Rastro yang buka setiap minggu dari jam 9 pagi sampai jam 2 siang. Saya melist-nya sebagai tujuan karena  El Rastro tertulis di buku rough guide in Spain yang saya baca di living room hostel. Saat saya tiba disana, beberapa pedagang masih membangun tenda, beberapa sudah siap, beberapa sedang memindahkan barang dagangannya dari mobil van dan menggelarnya di lapak. Suasana belum terlalu ramai, hanya ada beberapa calon pembeli kepagian yang datang kesana, termasuk saya. Beberapa turis dari Asia Timur yang khas dengan kulit putih dan mata sipitnya ada disana juga, mengambil gambar dengan kamera SLR. Hampir sama seperti flea market yang ada di Jatinegara, atau yang digelar di Pasar Cinde Palembang setiap minggu pagi, aneka barang bisa ditemukan disini, meski tidak semuanya bekas. Ada perabotan rumah tangga, barang-barang antik, buku kuno, komik2 dari zaman baheula, novel, bungan, sepatu, alat elektronik, pakaian, serta souvenir. Ada juga lapak pedagang kaos bola dan merchandise Real Madrid yang menjualnya dengan separuh harga. Kostum El Real, adidas asli dengan tag, made in vietnam, ditawarkan seharga 30an euro, tergantung ukuran. Saya jadi teringat teman SMA saya di Indonesia yang pingin sekali dapat oleh-oleh jersey klub sepakbola. Tapi pagi itu saya tidak membeli jersey, sowan saya di El rastro end up di lapak yang menjual souvenir khas Madrid. Seperti setiap kunjungan saya di kota-kota lain, saya selalu menyisihkan uang 7-8 euro untuk membeli piring yang bergambar landmark kota. Entah sudah berapa piring yang saya kumpulkan, dan rasanya saya tidak pernah bosan untuk terus membeli. Sebuah piring dengan lukisan matador plus bantengnya yang berwarna emas dengan latar biru tua serta sebuah banteng kecil warna-warni khas Gaudi saya beli dengan total harga 8euro. Muraaaaaahhh... karena di Barcelona untuk 1 piring serupa, saya membayar 10 euro.

Dari El Rastro, saya  naik metro ke Ventas, tempat arena bullfighting terbesar di Spanyol berada. Karena saya berkunjung di bulan Januari, otomatis tidak ada pertunjukan matador berbaju emas versus banteng. Pertunjukan itu digelar Maret-Oktober, saat spring-summer hingga awal autumn. Agak bimbang awalnya untuk membagi waktu, karena petugas di bagian tiketing bilang bahwa tour de Ventas yang berbahasa Inggris akan diadakan jam 11, sedangkan 10.30 waktu tur untuk wisatawan berbahasa Perancis. Akhirnya saya merelakan untuk tidak mengikuti walking tour mengelilingi pusat2 turisme Madrid yang diadakan di jam yang sama, di Plaza Mayor, landmark utama kota Madrid. Michel, nama guide yang akan membawa kami ber-9, memperkenalkan dirinya di awal tour. Sebenarnya hanya saya diantara  9 peserta tour yang berbahasa Inggris, namun karena judulnya tur ini ditujukan untuk wisatawan berbahasa Inggris, ia pun bersedia bekerja 2x, menerangkan dengan dwi bahasa, Spanyol dan Inggris.

Saturday, January 8, 2011 0 komentar By: shanti dwita

Madrid day 1

Dua bulan lalu saya tergiur promo Ryanair untuk penerbangan dari Porto-Madrid seharga 22euro return. Tanpa pikir panjang, saya pun minta tolong Johnny, teman EM dari Taiwan yang punya VISA card untuk membooking, meski belum tahu dengan siapa nantinya saya akan berangkat. Waktu berlalu, dan hari ini 8 Januari, saya harus terbang ke Madrid agar uang saya tidak melayang sia-sia seperti saat saya meng-cancel trip ke Milan saat winter holiday Desember kemarin. 

Hujan deras di Porto sejak seminggu belakangan awalnya menyurutkan niat saya untuk berangkat, tapi beberapa saat kemudian saya kemasi juga sepotong pakaian ganti, handuk juga peralatan mandi. Tiket juga bukti booking hostel sudah saya print Jumat sore di kampus, tidak ada alasan untuk tetap tinggal di kamar. Jam 1.30 siang waktu Porto, saya berangkat menuju Madrid. Diawali dengan menaiki metro dari Marques ke Trindade, lau berganti line ungu yang akan membawa saya ke airport. Hawa dingin dari hujan yang tak kunjung henti melelapkan saya sejenak diatas metro sebelum akhirnya saya memaksa membuka mata karena destinasi terakhir segera sampai. Setelah check-in, saya menunggu boarding di gate 14 sambil mengobrol dengan seorang gadis dari Korea yang berangkat ke Madrid berdua dengan temannya. Mendengar logat mereka berdua saat  bicara, saya ingat serial Korea terakhir yang saya tonton dan juga sangat saya gemari : ¨my fair lady¨. Aah, saya kangen nonton serial Korea lagi. Ingin rasanya segera pulang ke Belgia karena jatah internet per hari saya disana 1GB perhari, cukup untuk nonton serial Korea di mysoju.com sampai puas.

Tepat jam 15.55 ryanair mulai bergerak, tak butuh waktu lama, boeing 737-800 segera mengangkasa. Sedikit getaran saya rasakan saat pesawat menembus kumpulan awan tebal yang membuat Porto hujan seharian penuh. Semakin tinggi, semakin samar gumpalan awan putih seperti kapas yang tadinya saya lihat. Kembali, saya melanjutkan tidur yang terputus saat di metro tadi. Lima puluh lima menit waktu tempuh Porto-Madrid, seperti yang dikatakan pramugara Paolo, terlampaui. Pukul 6 local time saya tiba di Madrid-Barajas Airport, bandara utama di Madrid. Begitu besarnya hingga butuh waktu 15 menit untuk menemukan jalan keluar yang menghubungkan airport dengan metro station. Tiba di metro atau yang lazim disebut subway di Spanyol, saya membeli tiket untuk 10trips-10 viajes seharga 9,3euro plus 2 euro airport charge. Rencana saya untuk hari pertama di Madrid adalah mengikuti "end of season SALE" di pusat perbelanjaan di Fuencarral, Gran Via. Mengambil line berwarna pink menuju Nuevos Ministerios, berganti line biru tua ke Tribunal, dilanjutkan dengan line biru muda, saya pun berhenti di Gran Via.

Mengawali kegiatan hunting barang sale, saya menuju counter Bershka, membeli knitting wear warna biru seharga 8euro, lebih murah dibanding counter Bershka di Porto yang membandrol knitting sejenis dengan harga 13euro. Toko lain seperti Mango dan Zara juga saya singgahi. Counter Zara yang saya dengar memang berpusat di Madrid, terdiri dari 4 lantai plus basement. Counter sebesar itu pun tampak kurang besar saking banyaknya pengunjung yang sibuk berburu sale. Datang kesana di malam hari hanya mendatangkan keruwetan, karena semua barang sudah tidak berada di tempatnya. Di counter Mango, semua masih tertata rapi karena pelayan toko sigap merapikan. Ada beberapa items yang menbuat saya tertarik, terutama dompet seharga 20euro, yang sayang hanya tinggal satu-satunya dan dengan kondisi kurang prima. Sejak saya kecopetan di Sacre Coeur, Paris, saya belum sempat membeli dompet baru lagi, dan saat sale seperti inilah waktu yang tepat untuk mendapatkan ¨sarang¨ bagi receh2an saya. 

Dari Gran Via, sebenarnya saya cukup berjalan kaki 15 menit untuk sampai di Hostel One Sol, tempat saya akan menginap. Menyusuri Gran Via hingga Calhao, tempat counter swarovski berdiri di sudut jalan, mengambil jalan ke kiri, dan voila, saya tiba di Puerta del Sol. Jaringan supermarket El Corte Ingles, kalau di Indonesia mungkin seperti Metro Dept. Store, terbangun tegak dengan 7 lantai di sana. Mulai dari lantai satu, tempat aneka tas branded seperti Longchamp dan Burberry, make up serta parfum, hingga lantai 7 yang menggelar aneka produk olahraga dan beberapa kostum klub liga spanyol. Kostum  Adidas El Real made in Vietnam dengan tag aseli mrchandise Real madrid FC dijual seharga 71euro.

Cukup puas sightseeing, saya menuju hostel yang terletak di sebelah Dunkin coffee. Untuk sebuah kamar dorm dengan 8 roommates, saya membayar 33 euro untuk dua malam.
Wednesday, January 5, 2011 0 komentar By: shanti dwita

Wisata kuliner di Porto

Setelah sempat mencicipi Pasteis de Belem di Lisbon, saya pun merasa ketagihan dan berniat mencari duplikatnya di Porto. Juga demikian halnya dengan duplikat castanha bakar yang saya beli di sekitar Jeronimos Monastery, Belem. Castanha ini dengan chestnut, rasanya manis seperti ubi bakar cilembu. Oya, ngomong2 soal ubi, saya pernah satu kali mendapati tukang ubi bakar di Sevilla, Spanyol, lengkap dengan gerobak dan arang kayunya. Pedagang castanha bakar ini juga memakai gerobak dorong, meski tidak berkeliling dengan bunyi2an, mereka umumnya mangkal di jalanan yang ramai. Dengan uang 1 euro, di Belem saya bisa mendapatkan 6 butir chestnut bakar yang hangat.
Senin, 3 Januari 2011 menjadi hari pertama saya di Porto. Setelah mendapat paket peta serta buku panduan tentang Porto dari Isabel, relation officer di kampus UCP, saya dan teman saya Janani dari India pun menghabiskan sore dengan berjalan kaki mengelilingi Porto. Bukan hal yang menyenangkan, karena hampir sama dengan pengembaraan mencari kastil Mouros, perjalanan dengan Janani ini memakan waktu 5 jam. Gosh! Jam 3 sore kami berangkat, saya berencana menemaninya mencari sekolah bahasa yang menyelenggarakan kursus bahasa Portugis gratis untuk mahasiswa asing yang stay di Porto, dengan biaya dari departemen pendidikan Portugal. Sebelum berangkat dia bilang bahwa kira2 waktu tempuh dengan berjalan kaki adalah 55 menit "Is that okay for you, shanti?".. Yup, saya pun akhirnya berangkat. dengan dia Satu jam berlalu, belum juga ada tanda-tanda kami akan sampai, justru jalanan menyusuri Rua de Boavista  dilanjutkan dengan Avenue da Boavista terasa semakin panjang. Saya sempat berhenti sejenak di dekat Casa de Musica untuk membeli castanha bakar dan mulai menikmati lagi perjalanan. Sayang, castanha yang saya makan sama sekali tidak enak, beda jauh rasanya dengan yang saya beli di Belem. Harganya memang lebih murah, 1 euro 8 butir, tapi..uuuuuuhh.. ngga manis dan agak alot. 

castanha bakar

Selesai mengantar Janani dengan misinya, saya menyempatkan diri mampir di LIDL, membeli setengah kilo caldeirada bacalao, sekilo cumi besar (lulas limpas), juga Pollack fish stick. Selain sayur maniak, saya juga seafood addict, dan saya rasa di Portugal menemukan produk2 seafood bukan perkara sulit. Oya, bacalao yang saya beli tadi adalah ikan cod asin khas  Portugal. Sebagian bilang makanan ini khas Spanyol, bersama-sama dengan tapas, namun bagi saya sama saja. Intinya saya akan kembali belajar masak makanan Eropa selain pasta dan lasagna yang rasanya sudah saya kuasai di luar kepala.

Dari sekitar Boavista, kami menuju city center dengan menumpang bus dan berhenti di Bolhao. Rasa letih menggoda kami untuk mampir di Confeitaria do Bolhao, sebuah cafe dan restaurant  bernuansa hijau yang menyajikan aneka dessert khas Portugis. Saya tak memesan pasteis, karena hari itu saya sudah mencicipi pasteis de nata di sebuah cafe dekat Marques station tempat saya biasa menunggu metro. Rasanya juga tidak terlalu lezat, mungkin karena saya sudah mencicipi biangnya Pasteis di Belem. Di Confeitaria do Bolhao, saya memesan bola carne medium dan secangkir kopi susu. Bola carne ini semacam pastry tebal yang didalamnya berisi serpihan ikan pollack dan keju, rasanya tasty meskipun agak asin untuk lidah saya. Janani memilih Brazileiros plus secangkir cokelat putih panas yang sangat kental. Mencicipi sesendok Brazileiros milik Janani sudah cukup untuk saya memahami kelezatannya. Betapa tidak, cake ini dilapisi dengan peach jam dan dibalut coklat leleh yang membeku di luar. Rasa manisnya seolah memporak-porandakan diet gula yang dulu pernah saya angan-angankan. Entah mengapa sejak saya tinggal di Belgia, dan kini di Portugal, saya menjadi suka makanan manis yang full sukrosa, juga roti yang glikemik indeksnya cukup tinggi. 


Hari kedua di Porto, saya, Janani dan satu peserta culinary hunting lainnya, Rui dari China, kembali berjalan menyusuri pusat kota Porto dan berhenti di the Majestic cafe. Untuk sebuah cafe, Majestik termasuk yang punya nama. Terletak di Rua de Santa Catarina, cafe sekaligus restaurant ini menyuguhkan suasana yang begitu nyaman, dengan nuansa gold juga dentingan piano yang mengiramakan nada-nada romantis. Untuk makan malam disana dengan menu lengkap, mungkin uang yang harus kami keluarkan adalah 30e per orang karena untuk menu afternoon tea-nya saja harga yang tertulis di buku menu sekitar 17-18euro. Jadilah, kami memesan minuman serta cake saja. Cafe affegato with vanilla ice cream menjadi pilihan saya. Saat disajikan, penampilannya cukup unik karena diatas cangkir yang berisi separuh kopi affegato pahit, diletakkan satu scoop bulat ice cream vanila yang ditusuk seperti sate. Uap panas kopi akan melelehkan ice cream, dan meneteskannya ke dalam cangkir. Kopi affegatonya terasa sangat pahit, seperti halnya espresso, sedangkan vanilla ice cream-nya sempurna. Adalah ide bagus untuk segera mencelupkan es krim kedalam Affegato, mengaduknya jadi satu dan menenggaknya sekali habis. Dan itu benar-benar saya lakukan!!!

Selesai dengan Majestic cafe yang classy, saya menuju Centro Comercial Via catarina, pusat perbelanjaan yang disesaki brand ternama. Awal tahu bari seperti ini adalah saat yang tepat untuk belanja karena semua toko menggelar end of season- sale. Di Portogal, istilah sale dikenal dengan "SALDOS", dan saya pun mendapati bahwa di depan Massimo Duti, Zara, Mango, Esprit, H&M, Pull and Bear, the Body Shop dan seabrek toko lainnya, tulisan saldos 60% terpajang dengan warna merah menyala. Haaaah.. Sangat menggoda gairah belanja. Namun, bayangan tentang checked baggage untuk penerbangan  Ryanair Porto-Brussels yang tidak saya punya segera menyadarkan saya untuk tidak tergiur sale. 

So, kembali ke masalah makanan. Saya akhirnya memutuskan untuk makan di Surbias yang ada di lantai 4 mall. Memesan satu porsi Filetes Pescada, hampir-hampir sama dengan yang saya makan di Lisbon saat malam tahun baru. Bukan berarti saya setia setelah jatuh hati pada suatu hal, tapi terlebih pada masalah kehalalan. Lebih aman untuk memesan menu ikan2an bukan? Dalam piring saji ada kentang, nasi yang menyerupai nasi ketan bulat yang cukup oily, filet ikan berbalut telur yang di stir dengan minyak, salad, jeruk lemon serta buah zaitun. Lezat dan mengenyangkan :)
Tuesday, January 4, 2011 0 komentar By: shanti dwita

Lisbon day 3

Minggu 2 Januari 2011 menjadi hari terakhir saya di Lisbon. Saat saya membuka jendela kamar di pagi hari, kota para pengarung samudera begitu berkabut. Saya berguman bahwa hari itu suhu udara akan lebih dingin dari hari sebelumnya. Agak malas rasanya mengemasi barang karena saya rasa saya telah begitu klik dengan Lisbon, residence, juga teman-teman baru saya. Tapi tentu, saya harus pergi ke Porto karena Seninnya saya akan memulai kuliah di Catolica untuk modul fats and oils. Itinerary untuk hari itu adalah mengunjungi Belem, 6 kilometer dari pusat kota Lisbon, tempat bersejarah dimana banyak pelayar2 kenamaan menarik jangkarnya dan berangkat menemukan "dunia baru". Salah satunya adalah Vasco da Gama yang bertolak menuju India di 1497 melewati Tanjung Harapan di selatan Afrika.

Jam 11 pagi, lewat 1 jam dari jadwal yang telah disusun, kami berangkat dari residence di Quinta das Conchas menuju Cais do Sodre dengan metro dan berganti dengan tram yang akan membawa kami ke Belem.  Kabut terasa makin tebal dan jarak pandang mungkin hanya berkisar 100 meter saat kami tiba disana. Antrian di depan Mosteiro dos Jerónimos yang cukup panjang kemudian menarik minat kami untuk ikut bergabung di dalamnya. Khusus untuk hari Minggu/Dimanche, kawasan monastery itu dibuka secara gratis untuk wisatawan. Setelah antri selama kurang lebih 10-15 menit, saya dan teman-teman langsung masuk ke area hall dengan arsitektur gothik berwarna coklat muda keemasan yang saya akui cukup indah.  Konon, bangunan ini dibuat pada tahun 1502 dan memakan waktu 50 tahun untuk menyelesaikannya, relatif cepat dibandingkan pembangunan Pantheon di Paris. Waktu 50 tahun cukup untuk menuangkan banyak aliran seni pada Jeronimos, hingga bukan hanya Manueline style (sebutan untuk gothik Portugis  style), yang mengilhami  desainnya,  tapi juga Renaissance dan Classical style.  Ukiran-ukiran yang tertoreh di dinding kapur Jeronimos mengingatkan saya pada detil serupa yang saya jumpai di Placa Espanha, Sevilla. Portugis dan Spanyol, sebagai negara tetangga, memang berbagi banyak kesamaan, mulai dari tipikal bangunan hingga makanan. Pohon jeruk berbuah lebat yang merupakan ciri khas Sevilla bisa saya  jumpai di beberapa sudut jalan di Lisbon.

Jeronimos Monastery inside
Jeronimos dari luar dengan backround kabut pekat

Di kawasan monastery, terdapat juga gereja  Santa Maria yang pembangunannya dinakhodai oleh João de Castilho, seorang arsitek Spanyol. Vasco da Gama diyakini sempat berdoa di kawasan monastery dan juga gereja ini sebelum pelayarannya menuju India. Saya sempat masuk ke dalam Santa Maria seusai misa minggu pagi itu, dan saya melihat ada patung Vasco da Gama dalam posisi rest in peace di atas peti mati. Begitu lekatnya image Vasco juga para pelayar Portugis dengan area monastery menjadikan kawasan ini sebagai simbol "Age  of  Discovery" bersama dengan Belem tower (Torre de Belem).

Vasco da Gama di dalam st. Maria

Tak jauh dari Jeronimos, kami menyeberangi underpass menuju Discoveries Monument, sebuah bangunan yang didirikan untuk mengenang 500 tahun pelayaran para pelaut Portugis. Digambarkan di bangunan itu, sebuah kapal besar dengan beberapa 'punggawa'nya, dimulai dari Raja Manuel I, Prince Henry serta pelaut kenamaan seperti Vasco da Gama, Magellan dan Cabral.

Discovery monument

Lima ratus meter berjalan menapaki tepi utara Sungai Tagus, membawa kami berlima ke Torre de Belem, sebuah kastil yang pernah dipakai sebagai benteng saat pasukan Portugis berperang melawan Spanyol yang berniat menduduki Belem. Fungsi tower itu kemudian berubah sebagai mercusuar bagi kapal-kapal yang akan berlabuh di pantai Lisbon. Sama dengan Jeronimos, kastil 4 lantai ini dibangun ala Manueline style di muara Sungai Tagus. Tepat di muara sungai Tagus yang sekarang menjadi bagian dari Pantai Lisbon ini,  ratusan tahun yang lalu  kapal-kapal pelayar Portugis berangkat mengitari bumi.

Torre de Belem- cloudy foggy afternoon

Setelah merasa cukup mengambil beberapa snapshots di kawasan Belem tower, kami bergegas mencari tempat untuk makan siang. Pilihan pun jatuh pada Mc.Donalds dengan paket BigMac berisi burger sapi, kentang serta ice lemon tea  medium seharga 5euro. Saat menikmati burger di kursi luar McD, matahari mulai muncul, gosh! Jam 3 siang. Benar-benar hari berkabut yang sungguh terlalu. Diiringi musik ala indian yang dimainkan oleh "pengamen" berkostum indian lengkap dengan aksesoris tulang dan bulu-bulu, menjadikan makan siang itu cukup menyenangkan. Selesai dengan Mc.D, persinggahan berikutnya adalah Antiga Confeitaria de Belem, sebuah kafetaria di Rua de Belem yang berdiri sejak 1837. Kafe ini menyediakan hidangan khas yang disebut Pasteis de Belem, sebuah tart dengan isi custard manis dan lembut, ditaburi cinnamon bubuk serta gula pasir yang menciptakan aroma yang sangat istimewa. Mencoba sepotong Pasteis membuat saya sangat ketagihan, entah resep kuno macam apakah yang digunakan hingga banyak sekali orang yang mengantri di luar kafe demi mendapatkan sepotong Pasteis.

pasteis bekas gigitan saya :D

Selesai makan pasteis dan berpamitan dengan sahabat-sahabat baru saya di Lisbon, saya kemudian menaiki bus 28 yang akan membawa saya ke stasiun Oriente. Tiga hari di Lisbon yang menyenangkan pun berakhir. Jam 5 lewat tiga menit, kereta Alfa Pendular datang dan saya pun kembali berada di atas kereta yang akan membawa saya kembali ke Porto. Beda dengan intercidade yang saya naiki pada saat berangkat, kereta alfa pendular lebih mewah dengan kecepatan maksimum 220 km/jam, juga dengan gerbong resturant dan tempat duduk yang lebih nyaman. Menonton Legends of the Fall-nya Brad Pitt dari netbook hingga usai membuat perjalanan ke Porto tidak terlalu terasa, karena beberapa saat setelah film usai, saya sudah berada di Villa Nova de Gaia, 1 stasiun dari Porto Campanha, tempat saya akan turun dan menuju Marques.

Lisbon day 2

Kali pertama saya makan di Chinese restaurant adalah di Sintra, perbukitan indah di barat laut Lisbon. Itu pun bukan karena kesengajaan, namun lebih sebagai pelarian setelah lebih 1 jam menunggu bus 434 yang seharusnya membawa saya dan teman-teman EM ke Moorish Castle (Castelo dos Mouros) dan Pena Palace. Terletak tepat di depan Sintra tourism office, 100 meter berjalan kaki dari stasiun, Chinese resto  dengan bangunan merah berdetail khas negeri tirai bambu ini tampak begitu menggoda saat dingin terasa menusuk. Kami berenam, saya, mbak Dian, Elias, Avit, Bayes dan Sherdrov pun masuk dan memesan menu lengkap untuk 6 orang. Tak ada yang spesial dari menu hari itu karena hampir semua sudah pernah saya coba di Indonesia. Tak perlu menunggu lama, seorang pelayan bermata sipit yang mungkin direkrut untuk benar2 menambah aura China datang ke meja kami. Diawali dengan chicken soup panas sebagai appetizer, serta aneka hidangan lain seperti nasi goreng, mie goreng, Peking duck, ayam masak almond, udang asam manis, udang cah jamur, dan hotplate ayam saus bawang putih, kami berenam makan dengan bersemangat. Bagi saya, the best part was chicken with garlic sauce, benar-benar tasty! Untuk dessert, mereka menyuguhkan buah leci dengan sirup. Untuk keseluruhan menu yang benar2 bikin nampol itu, kami berenam membayar 52 euro.

Dari Chinese resto, meskipun tertutup kabut tipis, kami bisa melihat Castelo dos Mouros yang berada di atas bukit. Bangunan batu yang berdiri kokoh itu seolah merayu kami untuk segera mendatanginya. Tapi sayang, hari itu, 1 Januari, bus 434, satu-satunya bus yang bisa membawa para wisatawan lagsung ke Mouros tidak beroperasi. Kami pun sepakat untuk berjalan kaki tanpa tau pasti jarak yang harus kami tempuh. Dan dimulailah "pengembaraan" dengan tema "Castle hunting" dengan jumlah peserta di garis start 6 orang. Dua puluh menit pertama terasa sangat menyenangkan karena di kiri kanan ada banyak scene indah yang bisa difoto. Pun saat memasuki kawasan souvenir shop, yang membuat saya teringat pada kios-kios di dalam kawasan wisata Tangkuban Perahu, semua begitu menakjubkan mata. Tipikal jalanan yang berbatu, berbentuk kotak-kotak kecil dan disusun menyerupai puzzle seolah melengkapai nuansa Sintra yang juga disebut sebagai UNESCO's World Heritage Site. Tipe jalanan seperti ini  hampir sama seperti yang ada di Belgia, namun ukuran batu yang digunakan lebih kecil dan permukaannya lebih rata.

jalanan di Sintra

Lepas dari Sintra kota, kami mulai mendapati jalanan sunyi, beraspal halus yang lazim dilalui bus menuju kastil. Di tepi kanan dan kiri adalah hutan dengan lembah yang melandai serta beberapa bangunan tua yang berjarak sekitar 100m satu sama lain. Semakin kami mendaki ke atas, semakin jarang bangunan yang kami temui. Hal yang cukup menenangkan adalah bahwa bukan hanya kami wisatawan kesorean yang nekat berjalan kaki, ada beberapa wisatawan lain yang juga jalan kaki, meski mereka berjalanan ke arah yang berlawanan, dengan kata lain, kembali ke kota. Beberapa dari mereka bilang bahwa gerbang kastil ditutup, sehingga mereka tidak punya pilihan lain selain kembali. Hm... beberapa dari kami pun mulai goyah, dan berniat balik badan. Namun, Elias, teman dari Ethiopia bilang, "Plis, don't waste it, kita sudah jalan kaki 1 jam lebih, saya ngga mau balik sebelum nemuin kastil!" Yaa, alasannya masuk akal juga, mungkin dalam beberapa saat lagi kami akan sampai. Namun, plang-plang di tepi jalan yang menunjukkan angka 9,2 agak menggoyahkan hati kami. Dua ratus meter berjalan, angka itu berubah menjadi 9. Apakah itu berarti kami masih harus berjalan 9 km lagi menuju gerbang Mouros? Tidaaaaakkk.... Andaikata kontur jalannya rata, tidak menanjak, tidak dingin, tidak gerimis juga tidak menjelang senja, mungkin kami berenam akan bersama-sama sampai di puncak. Kenyataannya? Dua dari kami, Bayes dan Sherdrov mengundurkan diri dan memilih pulang ke Lisbon.  Tersisalah 4 orang penuh determinasi yang bertekad bulat menemukan pintu gerbang kastil, hanya pintu gerbangnya saja karena diyakini 100% bahwa kastil Mouros ditutup 1 Januari. Singkat kata, kami berempat, four musketeers, sampai di pintu masuk. Seekor kucing hitam tua menyambut kami, ya, hanya kucing, bukan penjaga loket yang siap menerima 14 euro dari tiap wisatawan yang hendak menikmati indahnya pemandangan Lisbon dari puncak Mouros. Tak ingin merasa sedih, kami pun membuat foto-foto konyol dan tertawa terbahak-bahak hingga lelah seolah sirna.

Castelo dos Mouros, gambar diambil dengan extra zoom 
setelah menempuh 1/3 perjalanan (intinya : masih jauuh)


Di dalam kereta yang akan membawa kami pulang ke Lisbon, kami semua tertidur. Tampaknya 4 jam berjalan kaki cukup membuat kami merasa "sedikit" lelah meskipun belum berhasil membuat kami berencana menyudahi perjalanan. Tiba di Rossio, stasiun dalam kota Lisbon, kami kemudian berencana untuk makan malam di Bangla Restaurant, rumah makan dengan menu khas Asia Selatan. Mbak Dian bilang, kari ayam dan roti chapatinya benar-benar enak. Bangla resto ini berada di kawasan Martim Moniz, tempat yang diyakini "rawan bahaya" karena banyaknya penduduk migran yang berdiam disini. Memasuki kawasan Martim Moniz, kesan yang tampak adalah gelap, kotor dan tidak terawat. Di kanan-kiri jalan banyak migran yang berdiri mengobrol, umumnya mereka berasal dari China, India dan sekitarnya serta Afrika. Di jalanan ini pula, grocery shop yang menjual bumbu-bumbu Asia berada. Teman saya Avit membeli bumbu Briyani, dan bilang di pertengahan Januari dia akan memasak masakan Bangladesh dan mengundang kami semua. Sayang, tanggal itu saya sudah berada di Porto. Ajakan makan malam bersama juga datang dari teman2 EM, untuk Minggu malam, 2 Januari di rumah makan khas Nepal. namun kembali saya sesalkan, karena minggu malam saya pasti sedang di atas kereta menuju Porto. *sigh

Rumah makan khas Bangladesh yang kami datangi menyajikan menu-menu khas Asia Selatan yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Yang familiar bagi saya hanya Chapati, Pharata, Curry juga Nasi Biryani karena keempat makanan itu bisa didapat di Indonesia. Tak mau berspekulasi, akhirnya makanan itu juga yang saya pesan disana karena di buku menu tidak ada definisi setiap dishes dan sang pelayan juga tidak bisa bahasa Inggris. Satu piece roti chapati hangat plus kari kambing full spices pun segera saya nikamati. Rasanya tak beda jauh dengan yang pernah saya buat di Gent saat sedang getol-getolnya bereksperimen masakan. Itu tandanya, saya bisa disetarakan dengan koki rumah makan ini kan? Agak menyesal juga memesan kari kambing, meskipun saya akui rasanya lezat walau tidak sepedas yang saya angan-angankan. Mustinya saya memesan makanan lain yang benar-benar khas Bengali. Mudah2an ada lain waktu untuk mengunjungi Bangla resto dimanapun, bahkan jika memungkinkan saya ingin mencicipinya di tempat asalnya, Bangladesh. Oya, untuk 1 pc chapati juga semangkuk kecil lamb curry, saya membayar hampir 9 euro. Hiks.. mahaaaall.
 

Monday, January 3, 2011 0 komentar By: shanti dwita

Lisbon day 1


Jam 10 pagi bel rumah saya di Gent berbunyi, 100% saya bisa menduga kalau yang datang adalah Johan Menhout, si pemilik rumah. Dia datang menepati janji untuk membantu saya memindahkan barang-barang ke basement. Sehari-harinya ruang bawah tanah itu terkunci, hingga suatu saat saya melihat Johan mengelas sesuatu disana. Kemudian datang  ide untuk menitipkan barang-barang saya disana selama saya pergi mengikuti satu mata kuliah di Porto, Portugal. Johankemudian menunjukkan tempat rahasia dimana saya bisa menemukan kunci untuk membuka basement, kelak saat saya kembali karena ia akan pergi berkeliling Asia selama lima minggu di awal Februari. Pekerjaan memindahkan barang pun usai sampai disini. 

Karena lupa memesan bagasi untuk penerbangan ke Porto, saya harus mengatur strategi untuk membawa 3 stel pakaian, peralatan mandi, handuk, buku dan alat tulis, laptop serta setrika ke dalam tas airwalk hitam saya yang tidak terlalu besar. Dengan kata lain, saya akan ber-backpacker ria menuju Porto.  Bakda maghrib saya menuju Gent Sint Pieters, menumpang kereta IC di platform 9 menuju Brussels Zuid. Waktu menunjukkan pukul 19.35 saat saya membaca jadwal  dan mengetahui bahwa kereta menuju Charleroi akan berangkat dari platform 21 stasiun Brussels Zuid pada 19.35. Itu tandanya saya harus berlari jika ingin sampai lebih awal di Charleroi, dan syukurlah, beberapa detik setelah saya masuk ke dalam kereta, pintu tertutup dan kereta mulai bergerak cepat. Total 3 jam harus saya lalui dari Gasmeterlaan menuju Charleroi airport, dengan menumpang tram, 2 kereta IC serta satu bus TEC. Hal inilah yang membuat saya “terpaksa” menginap di airport, sebab jadwal terbang saya bersama Ryanair dari Brussels-Charleroi  ke Porto adalah Jumat, 31 Desember jam 7 pagi. Berusaha menikmati malam dingin di airport dengan suhu -4 derajat celcius, saya memutar Bounty Hunter-nya Jennifer Aniston yang membuat saya tertawa cekikikan di kursi besi yang sama sekali tidak nyaman. 

Jam 6.30, boarding telah ditutup dan saya sudah berada di kursi boeing 737-800, bersiap untuk tidur nyaman. Sekitar 2 jam perjalanan saya lalui dan saat tiba di Aeroporto Francisco Sa Carneira, Porto, saya harus memutar mundur  arloji saya satu jam kebelakang karena satu garis bujur telah terlewati. Dari Porto, kota terbesar kedua di Portugal, saya bergerak ke selatan, menuju Lisbon. Dimulai dengan menumpang tram E dengan line mark berwarna ungu menuju stasiun Porto Campanha. Dari stasiun ini saya membeli tiket intercidade, kereta nasional Portugal yang menghubungkan Stasiun Santa Apolonia di Lisbon dan Guimares. Tarif yang saya bayar untuk kelas 2 intercidade adalah 20 euro. Kursinya cukup nyaman meski tidak terlalu empuk dan ruang untuk kaki tidak juga lebar. Saya tidak sempat menikmati pemandangan diluar karena kantuk yang datang sejenak setelah saya menutup netbook. Yang saya tahu, Portugal indah, seperti apa yang dikatakan Johan sebelum saya berangkat, “Portugal is really beautiful, you will like it!”. Berdasarkan jadwal, saya akan tiba di stasiun Oriente, stasiun terbesar di Lisbon, sekitar jam dua kurang 8 menit. Beruntung, karena saat saya bangun, dan bertanya pada wanita di sebelah saya dimana saya sekarang, ia menjawab, saya ada di Santarem, 2 stasiun sebelum Oriente. Wanita yang saya taksir umurnya 50tahun tersebut sangat ramah, meski ia tak bisa berbahasa Inggris, ia tetap berusaha memulai percakapan dengan bahasa Portugis. Sama halnya dengan saya, ia pun akan turun di Oriente.

Stasiun Oriente begitu megah, dengan cat putih dan arsitektur yang sulit saya definisikan. Di depan stasiun, pusat perbelanjaan Vasco da Gama berdiri, dengan sederet took dengan brand-brand ternama. Saya pun masuk ke Vasco, sesuai dengan janji yang saya buat dengan Mbak Dian, Erasmus Mundus student dari INA yang stay di Lisbon. Saya memesan paket 1 paha, 1 dada ayam, kentang dan juga fanta orange seharga 5,7 euro di KFC , tempat janjian yang ditetapkan. Dari Vasco da Gama, dengan metro kami menuju Quinta das Conchas, tempat dimana mbak Dian tinggal. Tempat tinggalnya adalah flat milik kampus, disebut juga dengan istilah residence, yang dijaga ketat oleh satpam sehingga sulit untuk menginap dengan free disana. Saya membayar 20 euro per malam untuk sebuah kamar double yang terletak  di lantai 6. 

Hari itu adalah 31 Desember, saat dimana semua orang akan merayakan pergantian tahun. Di kota Lisbon sendiri, perayaan tahun baru dipusatkan di Praca do Comercio yang terletak di tepian pantai. Sebelum menuju ke sana, kami berdua menyempatkan makan malam di restaurant khas Potugis  di Rua des Correeiros . Menu yang saya pesan adalah Filete Pescada, spicy white fish yang disajikan dengan semacam nasi kuning. Cukup lezat untuk ukuran hidangan termurah di rumah makan itu, 8 euro. Dari Rua des Correeiros kami bergabung dengan ribuan orang yang berbondong-bondong menuju  Praca do Comercio  melewati Rua Augusta.