Friday, September 24, 2010 2 komentar By: shanti dwita

Jumat yang melelahkan

Hujan diluar membuyarkan rencana saya untuk bergabung dengan teman-teman ke sebuah pesta yang konon diadakan untuk menyambut mahasiswa internasional di kota Gent. Yah, mungkin memang sebaiknya saya tidak datang, karena party disini lekat sekali image-nya dengan minuman beralkohol seperti beer, wine dan juga vodka plus dansa dansi dengan hingar bingar musik  Hampir sebulan tinggal disini, belum sekalipun saya datang ke diskotik atau pub seperti yang biasa dilakukan oleh sebagian mahasiswa ataupun anak muda lainnya. Saya sungkan dengan pakaian yang saya kenakan, meskipun tampaknya mereka tidak terlalu ambil pusing dengan apa yang saya pakai. Mereka mungkin tidak tahu kalau di agama saya, makan babi dan minum alkohol itu dilarang, dan itu sebabnya mereka sering menawari saya untuk mencicipi beer atau wine dan pernah juga  minuman dengan kadar alkohol 50% (haa??). Tapi tenang, saya menolak semuanya, karena itu termasuk point-point perjanjian saya dengan (mm.. dengan siapa ya?), jelas, dengan diri saya sendiri.
Hari ini hari Jumat, dan Jumat malam adalah saatnya pesta besar. Saya melaluinya dengan berpesta bersama roti kismis dan netbook, mencoba mencari inspirasi yang mungkin bisa dituangkan dalam blog ini. Ya, mungkin kali ini saya akan memenuhi permintaan sahabat saya untuk menceritakan suasana kelas saat pelajaran berlangsung. Momentumnya mungkin sangat tepat, karena hari ini saya benar-benar memacu otak dan raga saya untuk bekerja keras. Betapa tidak, kuliah tentang teknik dasar biologi molekular jam 9.30 pagi menyentak saya agar segera siaga. Bertepatan dengan waktu yang dijadwalkan, kuliah itu pun dimulai. Tidak ada ceritanya dosen ngaret hingga 15 menit seperti kebiasaan saya di tempat kerja, justru yang ada, dosennya lah yang menunggu hingga semua mahasiswa datang dan duduk tenang di kursinya masing-masing dan siap menerima kuliah. (hmm....).

Kesan pertama saya ketika bertemu dengan Prof  Dirk Iserentant, (sebenarnya dia tidak mengatakan kalau dirinya professor, tapi menurut saya, he is a professor!) saya mengira dia bukan siapa-siapa (kejamnya saya). Dia masuk ke kelas dengan kaos oblong warna coklat keabu-abuan, dengan celana corduray dan sepatu kets, seperti halnya orang yang sedang pergi ke bengkel untuk menservis mobil. Tapi sangkaan saya buyar ketika dia bertanya "Is there somebody else who hasn't come?" sambil menutup pintu kelas. Ohh, alangkah santainya bapak yang satu ini. Pengajar yang hadir di hari sebelumnya berpakaian rapi dengan kemeja dan celana bahan sedangkan yang perempuan menggunakan dress dengan tight dan boots, terlihat modis dan chic. Terbayang betapa rapihnya dosen-dosen saya dan juga teman-teman kerja saya nun jauh disana. Dengan blazer dan high heels yang berbunyi "tok tok tok" mengesankan kalau mereka berwibawa (?) dan professional. But, as Tukul Arwana said, "Don't judge the book from its cover!" saya pun memahami bahwa ini hanya masalah selera. 

Dirk Iserentant mungkin telah berumur diatas 60 tahun, dengan rambut putih yang hampir merata di kepalanya.  Dia tidak tinggi seperti kebanyakan manusia Eropa, mungkin hanya sekitar 167 cm. Tubuhnya cukup "berisi" dan gerak-geriknya menunjukkan bahwa ia sangat cerdas. Kuliah dibuka dan Dirk meminta setiap mahasiswa memperkenalkan diri, pengalaman kerja dan harapan setelah mengikuti kuliah ini. Terus terang saya tidak pernah mengatakan bahwa saya seorang pengajar, karena malu kalau-kalau nanti nilai ujian saya jelek. Singkat, saya pun memperkenalkan diri sebagai shanti dari Indonesia, lulus dari IPB jurusan THP dan pngin mendalami bidang keamanan pangan. That's all. Lupakanlah nostalgia kerja di pabrik udang sebagai buruh harian, lupakan juga status digaji tiap bulan oleh pemerintah RI, saya pun kini setara dengan teman-teman sekelas yang berumur 22-23 tahun (asyiik, lebih muda 5 tahun).






                    mencuri-curi kesempatan menggambil gambar Dirk saat mengajar

Dirk bertanya, apa itu protein, apa itu gen, apa itu DNA sebagai pengganti kopu susu untuk menghangatkan suasana kelas pagi itu. Seperti yang saya cemaskan, saya tidak menjawab pertanyaan yang ia lontarkan, saya seperti lupa dengan cara menjawab pertanyaan. Hei Shanti, bukankah kamu ngajar kimia pangan? masa nggak tau sih protein itu apa? ya..ya, saya tau, tapiiiiiiii... (entah apa alasan yang akan saya kemukakan untuk menjawab hal ini..)

Biarkanlah, semua pertanyaan di sesi pagi itu menjadi milik Edward dan Dagmara.. Oya, dagmara ini fresh graduate dari Dublin Institute of Technology bidang bioteknologi, oleh karena itu wajar dong kalau dia tau banyak tentang transkripsi-translasi dari DNA-RNA hingga akhirnya jadi protein.. (nahh.. ini dia alasan saya, akhirnya saya menemukannya.. :))

Pertanyaan Dirk tidak berhenti sampai disitu, karena bahasan pun menyinggung maslah haploid, diploid dan poliploid pada makhluk hidup. Saya pun teringat pada pelajaran biologi kelas III SMA lengkap dengan background kelas saya, III IPA 5 dan juga bu guru  (bu Usa) yang mengajar plus ekstra ingat tentang soal-soal ujian pemberian beliau yang sedikit banyak selalu memaksa saya memutar otak. "Well, thanks, we're diploid, so we can enjoy sex" kata Dirk. Ah, tentu, mana pernah makhluk hidup haploid seperti Amoeba sibuk mencari pasangan lain jenis saat ingin punya anak, mereka cukup bereplika sendiri.  Masuk akal! (walau sebenarnya saya tidak tahu apakah makhluk itu juga sebenarnya menginginkan pasangan beda jenis atau tidak..hehe). "Lalu apa lagi  hal yang menguntungkan kita sebagai makhluk yang diploid?" Agak lama Dirk menunggu, sebelum akhirnya seorang perempuan yang duduk di sebelah kiri edward menjawab "munculnya variasi dari setiap keturunan yang dihasilkan". Aha, itu dia!!

Sesi pertama yang cukup membuat saya shock berakhir jam 12, tapi ini bukan akhir dari kuliah hari ini. Masih ada lagi sesi kedua hingga jam 5. Saya pun bergegas ke international office untuk men-setting wifi di netbook agar bisa klik dengan jaringan internet nirkabel di kampus. Akses internet di kampus nantinya akan memudahkan saya untuk mengakses jurnal-jurnal internasional seperti Elsevier, Science Direct dan juga jurnal lainnya. Setelah menaiki puluhan anak tangga dan berhasil mencapai ruang IT, gambling yang saya lakukan pun menemui ujung pahit. Saya tahu jam 12 adalah jam istirahat, tapi kok ya masih saja nekat mau ke ruang IT, terang saja saya tidak mendapat apa-apa selain informasi kalau pegawai IT sedang makan siang, dan saya bisa kembali lagi sekitar jam 2.. Wel, Dank U.. Jam 2 saya ada kuliah. Saya pun janjian dengan Leandro untuk kembali lagi ke ruang IT jam 2 kurang 10 sebelum sesi kedua tentang Genetically Modified Organism (GMO) bersama Prof. Dirk dimulai. Oya, sebelum pulang, saya mampir di SoVo (Sociale Voorzieningen). Saya tau kepanjangan SoVo ini setelah dengan sengaja saya mencari surat perjanjian sewa kamar antara saya dan SoVo, tapi kalau ditanya apa artinya Voorzieningen, jujur saya nggak tau. Mampirnya saya di tempat ini tidak lain dan tidak bukan adalah untuk mengambil paket spesial untuk mahasiswa (asing) yang ada di KaHo. Saya buka isinya, ada makanan, minuman, buku panduan Gent, kupon-kupon diskon, gel rambut Nivea Man (mungkin akan saya berikan ke steve) dan juga nggak ketinggalan, sebotol beer dengan kadar alkohol 7%. Waw.. Sayang, bir itu keburu saya berikan ke teman sebelum sempat seteguk pun saya cicipi.

                                                    paket dari SoVo
Seperti hari sebelumnya, kuliah jam 2 selalu membuat saya tergopoh-gopoh, karena zuhur jatuh jam 1.40. Janji ketemuan dengan leandro di international office pun melayang begitu saya lihat jam ditangan saya menunjukkan pukul 1.55 dan saya pun masih harus menukarkan sprei, sarung bantal dan dufet cover kamar saya yang sudah kotor di gedung C serta mengambil yang baru. Sungguh beruntung kampus saya menyediakan layanan seperti ini, jika tidak, terbayang betapa susahnya mencuci barang-barang itu secara manual ditambah lagi dengan harga sekotak detergen yang mahalnya hampir sama dengan harga satu kilo daging sapi menjelang Idul Fitri di Indonesia, 6 euro sekian sen! (sekitar 72 ribu rupiah kalau dikurskan).

Oke, kembali ke GMO bersama Dirk di M225 (gedung M, lantai 2, ruang 225). Saya duduk di bangku kedua dari depan dan juga kedua dari dinding kanan ruangan, persis seperti di sesi sebelumnya. Di sebelah kanan saya ada Edward, the Ugandan Man, dan disebelah kiri saya ada Dagmara (berasa lomba cerdas cermat). Di sesi kedua ini, Dirk tak lagi bicara teknis kloning makhlup hidup dan juga vektor plus PCR-nya, namun lebih menekankan pada pangan transgenik yang sekarang banyak beredar di pasaran terutama dalam kaitannya dengan keamanan pangan. Ketika bicara tentang novel food, saat pertama kali Lactobacillus cassei dikenalkan dalam minuman probiotik seperti Yakult dan Activia, Dirk pun bertanya, pewarna apa yang digunakan untuk mewarnai yoghurt rasa strawberry sehingga  warnanya menjadi pink? apakah jus strawberry alami? No! Jus strawberry  ditambah yoghurt tentu warnanya akan menjadi krem kecoklatan.

Fikiran saya pun dengan sigap melayang (lagi) ke acara Welcome Lunch senin kemarin. Saat itu saya dan teman-teman Erasmus Mundus diundang makan siang bersama dengan koordinator program SEFO dan para stafnya. Saya duduk berhadapan dengan Prof. Van Keer dan setengah hati menyantap vegetarian steak, kentang rebus, sup tomat serta sayur campur-campur (groenten) yang menurut saya adalah menu yang paling mendekati halal yang bisa saya pilih. Saya juga mengambil jatah satu botol yoghurt Actimel rasa strawberry gratis pemberian SoVo. Saat itulah pembicaraan saya dan Prof. Van Keer dimulai. Dia membahas tentang labelling pada kemasan yoghurt dan melihat komposisi penyusunnya. Ada pewarna, ada gula, ada juga bakteri. Lalu ia bertanya apakah saya tau darimana pewarna pink pada yoghurt ini berasal. "I don't know, is it natural colorant? Well, it might be beet.." jawab saya, karena ibu saya pernah membuatkan jus bit untuk bapak, dan warnanya benar-benar merah pekat. "Nooo.. It's from cactus".. jawab Prof. Van Keer

Dapat dipastikan, mendapat pertanyaan yang sama untuk kedua kalinya tentang pewarna pink pada yoghurt, saya pun akhirnya menjawab "kaktus". Ya, kaktus, tapi sebenarnya bukan kaktusnya yang memberi warna merah, tapi organisme kecil Dactylopius coccus yang hidup di tanaman tersebut  mampu menghasilkan cochineal dye yang berwarna merah.

Kelas selesai tepat jam 5 sore, dan seingat saya jam 5 lewat 2 menit adalah waktunya azan ashar berkumandang. Seperti biasa, jika kuliah padat, saya terpaksa menumpang sholat di rumah seorang teman muslim di Bergikaai straat. Ada 3 muslim turki dan satu muslim dari India yang tinggal disana. Selesai ashar, saya pun melanjutkan perjalanan ke gedung D untuk mengikuti materi academic writing yang diberikan oleh guru favorit saya Erik van Achter. Bukan karena Erik selalu berkata "... when I was young and handsome" yang membuat saya menyukainya, tapi lebih karena dia mengingat hampir semua nama mahasiswa dan dia juga lucu, meski kadang hanya saya yang dibuat tertawa oleh omongannya yang kadang nyeleneh, tapi benar. Saya heran deh, kenapa yang lain tidak tertawa, apakah ini berarti selera humor saya sudah menurun. Oohh come on!


                                                 erik dan suasana selesai kuliah

Jam 19.00 sesi academic writing ini pun berakhir, namun hari jumat belumlah berakhir hingga waktu tepat menunjukkan jam 12 malam. Sepulang kuliah, saya kembali ke rumah. Setelah menghempaskan tas berisi netbook, buku, serta seperangkat sprei dan sarung bantal yang baru saya tukar di kampus, saya pun bertolak menuju Carrefour untuk belanja daging sapi, berjalan kaki pulang pergi 3 km. Benar-benar melelahkan, tapi saya tetap pergi, demi semangkuk bakso yang akan saya santap besok. Ya, daging sapinya akan saya buat jadi bakso... untuk mengobati kerinduan lidah saya pada bakso sapi panas, dengan aroma merica dan taburan seledri..


Thursday, September 23, 2010 3 komentar By: shanti dwita

Belgia dan Eropa

Membaca jadwal kuliah yang dibagikan oleh Monika senin lalu membuat saya sedikit surprised. Ada materi Traceability, Labelling & Packaging, Microbiological Issues and Systems, Basis on Molecular Biology Techniques, Genetic Modification Technology and Food Safety dan ada juga materi  berjudul "From Europe with Love". "Ah ya, ini pasti menyenangkan" pikir saya waktu itu sambil berharap akan ada lagi kejutan dari penyelenggara program untuk mahasiswa EM SEFO 2010. 

Jam 14.00 kuliah dimulai. Siang itu saya berangkat agak terlambat karena azan zuhur baru berkumandang (melalui software azan di ponsel saya) jam 13.40. Daripada menunda sampai jam 16.00 selesai materi, saya lebih memilih untuk menunaikannya sebelum berangkat kuliah. Jadilah saya berlari-lari sendirian mengejar waktu agar tidak terlambat sampai ke kampus. Kurang dari sepuluh menit saya pun sampai. Andai saya punya sepeda, mungkin waktu tempuhnya akan semakin cepat, tapi itu dia, saya belum sempat browsing ke website yang memfasilitasi rental sepeda untuk mahasiswa di Gent, jadi untuk sementara, kemana-mana jalan kaki (plus lari). 

Satu menit merasakan duduk di kursi kelas, sang pemateri pun datang. Namanya Toon Van den Abeele. Wajahnya mirip siapa ya, mungkin Sven Gorran Eriksson dengan versi rambut ikal abu-abu putih lengkap dengan kacamata dan jasnya. Dilihat dari namanya, mungkin ia keturunan Belanda, tapi logat bicaranya dominan ke Prancis. Ya, orang Belgia rata-rata menguasai tiga bahasa, Belanda, Perancis dan Inggris (dan juga Jerman, tapi untuk daerah Flanders, rasanya tidak ada yang berbahasa Jerman). Jadi biarpun saya ke toko daging, saya tetap leluasa mengorder barang cukup dengan bahasa Inggris (dan itu pula sebabnya bahasa Belanda yang saya pelajari sedikit-sedikit tidak pernah berkembang)

Kelas dibuka dengan ditampilkannya peta negara-negara asal peserta EM SEFO, mulai dari Polandia, Brazil, Ekuador, Nikaragua, Uganda, Bostwana, India, Pakistan, Ethiopia, Serbia, dan tentu saja Indonesia. Tentang Indonesia, Toon menceritakan tentang Multatuli (Eduard Douwes Dekker) seorang penulis Belanda yang melahirkan novel satir Max Havelaar, yang berisi tentang kolonialisasi Belanda di Indonesia. Ia bilang, ia belum pernah ke Indonesia. Hal yang ia tahu tentang Indonesia, adalah fakta bahwa Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia (Oya?Ya!)

 BELGIA

Toon pun melanjutkan dengan Belgia, negara tempat saya tinggal saat ini. Hal-hal apa saja yang lekat dengan belgia? Ia bilang kalau Belgia terkenal dengan lace (tenunan kain putih khas Brugge), coklat dan juga bir. Tujuan wisata utama di Belgia adalah Gent, Brussels, Antwerp dan juga Brugge (beruntunglah..empat-empatnya sudah saya datangi). Oya, di setiap kota pasti ada bangunan yang menjulang tinggi yang disebut Belfort tower dan menurutnya Belfort ini bukan bangunan indah semata, tapi juga simbol dari independensi sebuah kota. Tentang bahasa, seperti yang sudah saya bicarakan di tulisan sebelumnya, ada tiga bahasa utama yang digunakan di Belgia, yaitu Belanda, Perancis dan Jerman. Toon menceritakan sejarah Eropa sebagai asal muasal digunakannya 3 bahasa tersebut di Belgia, dan saya sedikit tidak yakin, apa saya mampu menceritakannya kembali sejelas apa yang dia katakan siang itu. Well, let's give it a try!

LINGUISTIC BARRIER

Linguistic  barrier di Belgia (mungkin?) berawal dari masa kejayaan Roma dengan bahasa Latinnya yang menyebar ke seluruh daratan barat  Eropa. Seiring dengan berkurangnya dominansi Romanic di Eropa pada abd ke-5, bahasa latin tersebut bermanifestasi menjadi bahasa lokal seperi Catalan, French, Italian, Portuguese, Romanian dan juga Spanish. Maraknya pelayaran internasional yang dilakukan oleh pelaut-pelaut yang terkenal di buku sejarah SMP saya seperti Bartholomeus Diaz dari Portugal yang menemukan Tanjung Harapan di Afrika Selatan, Vasco da Gama dengan petualangan India-nya dan juga Alfonso de Albuquerque membuat bahasa ini tersebar ke seluruh dunia. Dan itu pula sebabnya penduduk di latin Amerika yang berada di sebelah barat Amerika Selatan (seperti Argentina dan Ekuador) menggunakan bahasa Spanyol dan yang berada di sebelah timur (seperti Brazil) menggunakan bahasa Portugis.

Jika Roma dan eropa baratnya punya bahasa latin (romanic), maka penduduk di Eropa Utara punya bahasa yang disebut dengan Germanic languages. Beberapa bahasa yang berinduk dari Germanic  ini diantaranya Inggris, Belanda, Jerman dan bahasa Afrika. Tentang bahasa Afrika ini saya baru sadar ketika guru bahasa belanda saya bilang, cara saya ngomong Belanda persis seperti orang-orang di south Afrika, dan katanya dia suka. Haa? Tadinya saya fikir, apalah maksud pak guru ini berkata seperti itu, dan sekarang saya baru tahu kalau bahasa Afrika dan bahasa Belanda sama-sama beinduk di Germanic languages. Dengan bermigrasinya penduduk utara ke sentral Eropa, maka Germanic ini pun hingga sekarang berevolusi menjadi bahasa Inggris, Jerman, Belanda dan dipakai di masing-masing negara tersebut. Oke, kesimpulannya, di Eropa barat bahasanya adalah keturunan Romanic, dan  di Eropa Tengah keturunan Germanic. Bagaimana dengan Eropa Timur? Tentu, mereka  juga punya grup bahasa sendiri yang disebut dengan Slavic language.

Pembatasan bahasa itu secara maya tergambar dengan adanya linguistic dan cultural border antara Romanic dan Germanic, dan malangnya, linguistic border itu jatuh di Belgia. Itu sebabnya di selatan Belgia, bahasa yang digunakan adalah bahasa perancis (romanic) dan untuk warga di Utara, bahasa yang dipakai adalah Belanda (germanic). Perbedaan bahasa yang ekstrim ini membuat penduduk Flanders (utara) dan Wallonia (selatan) sering berselisih paham hingga sekarang. Dan itu sebabnya peran raja sangat diperlukan sebagai penengah untuk meredakan kekisruhan (?). Di Belgia, raja bukan hanya sebuah simbol, ia juga punya peran di pemerintahan, ia kepala negara. Meski pemerintahan  dijalankan oleh perdana menteri (prime minister), keputusan menentukan PM ini ada di tangan raja. masuk akal, jika kedua pihak (Flanders dan wallonia) sama-sama ngotot ingin menduduki posisi PM, lantas siapa yang menengahi? Itu dia tugas sang raja.


Raja Belgia saat ini adalah Albert II. Ia adalah raja keenam sejak Belgia memisahkan diri dari Belanda di tahun 1830 dan menyatakan sebagai negara merdeka. Raja pertama adalah Leopold I, sang pangeran Jerman yang ditugaskan menjadi raja Belgia (mungkin daripada tidak ada yang menjadi raja, orang Jerman pun jadilah). Lalu ada Leopold II yang hobby memotong tangan orang kongo hingga dijuluki "The Butcher of Congo", Albert I, Leopold III, Boudewijn dan akhirnya Albert II.

SEDIKIT TENTANG EROPA : Unification by Violence

Sama halnya dengan sejarah Belgia, sejarah Eropa pun menarik untuk dibicarakan. Hal menarik yang bisa saya kutip dari penjabaran Toon Selasa itu dalah bahwa sejak dulu usaha untuk menyatukan Eropa daratan telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Dan judul slide yang ditampilkan oleh Toon juga sangat menarik "Unification of Europe by Violence". Di baris pertama setelah judul itu, tertulis nama Charles V. Dia seorang raja spanyol yang lahir di Gent dan memiliki kekuasaan yang luas di Eropa setelah berhasil memenangi banyak peperangan. Awalnya, wilayah yang dimiliki hanyalah the burgundian netherlands (low countries : kira-kira daeraah ini mencakup belanda, belgia dan luxembourg), tapi kemudian meluas bahkan sampai ke Amerika dan Filipina (dengan ekspedisi Magellan) di abad ke 15. Lalu mengapa Charles V disebut melakukan kejahatan dalam menyatukan Eropa? Toon berkata bahwa Charles V menentang protestan, dan dalam istilah  mudahnya, Charles ingin Eropa bersatu dalam satu agama yaitu katholik.

Nama kedua yang tertulis di slide itu adalah Napoleon I (Napoleon Bonaparte) yang pada tahun 1800an menjadi orang yang berjasa dalam membangun perpolitikan di eropa. Saat itu France Empire sedang dalam masa kejayaan, dan Napoleon ingin agar semua wilayah kekuasaannya menggunakan bahasa Perancis. Sejenis dengan Charles V yang ingin eropa bersatu dalam satu agama, Napoleon pun ingin menyatukan Eropa dalam satu bahasa, yaitu bahasa Perancis.

Orang ketiga yang ditulis oleh Toon? Ya, dia Adolf Hitler! kanselir Jerman kelahiran Austria yang juga adalah pemimpin NAZI. Hitler ingin mewujudkan hegemoni/kepemimpinan NAZI Jerman di seluruh Eropa dengan mengedepankan Lebensraum (ruang istimewa) bagi ras Arya dan menganggap semua makhluk selain arya adalah kelas bawah dan layak untuk dibasmi. Dan hal itu memang dilakukannya, dengan membasmi kaum Yahudi di beberapa negara. Satu hal yang saya ingat tentang pembantaian ini adalah apa yang tergambar dalam film "Life is Beautiful", salah satu film favorit saya hingga sekarang yang membuat saya menangis getir menyaksikan betapa sang ayah  yang lucu dan penyayang  berusaha tegar hingga hela nafas terakhir untuk menenangkan anak dan istrinya, padahal ia tahu, ia akan segera menemui ajalnya. That's the greatest love!

Life is beautiful dan Band of Brothers

Membicarakan film dan sejarah Eropa, apalagi perang dunia kedua dimana Life is Beautiful mengambilnya sebagai setting, jelas akan membuat saya tidak berhenti ingin bercerita. Saya pun teringat dengan serial Band of Brothers. Kalau Life is Beautiful bercerita tentang tawanan yahudi yang ada di Jerman (yang nantinya akan dibebaskan oleh pasukan sekutu Amerika), maka Band of Brothers bercerita tentang pasukan khusus penerjun udara (Easy Company, atau regu E) dari Amerika yang bertugas membantu perlawanan Perancis melawan Jerman di perang dunia kedua. kenapa terjadi perang? Ya, ujung-ujungnya kembali ke masalah hegemoni tentara Jerman di Eropa yang ditentang olah banyak negara, terutama Perancis dan Inggris (plus Amerika yang hingga sekarang masih menjadi sahabat karib Inggris dalam berbagai hal :P). Band of Brothers bersetting di tahun 1944, dan karena disajikan dalam bentuk film, sedikit banyak saya mengerti dengan plotnya, meski nggak paham betul dengan sejarahnya. Pendaratan tentara sekutu di Normandy (prancis) membersitkan saya untuk mengunjungi daerah itu suatu hari nanti. Dan tentu, suami saya bilang "kalau nanti kamu ke Belgia, coba deh ke Bastogne". Bastogne ini adalah tempat dimana tentara Amerika banyak yang bertumbangan karena tak sanggup melawan dinginnya winter di akhir 1944 itu. Satu dialog yang saya ingat dalam film "kita akan sampai di Jerman pada saat natal dan merayakan malam natal disana". Dialog antara tentara yang tampak putus asa dengan segala kondisi perang, terlebih lagi mereka sebelumnya adalah orang sipil yang digembleng habis-habisan dalam waktu singkat. Hingga sekarang saya masih ingat hal itu dan ingin sekali pergi ke Bastogne. Guru saya erik bilang, di Bastogne terdapat banyak ornamen sejarah yang dibangun untuk mengenang tentara Amerika yang wafat. Sangat indah, katanya. tapi ketika saya tanya angkutan umum apa yang saya harus naiki kalau ingin pergi ke Bastogne, dia bilang, lebih baik nyetir sendiri. Ooww..


Uni Eropa (kini)

Kembali ke masalah mempersatukan Eropa, hingga mencapai terbentuknya Uni Eropa saat ini adalah sebuah perjalanan yang panjang. Setelah perang dunia dua usai, perancis dan jerman pun mulai menata hubungan baik. Pada tahun 1957, melalui Treaty of Rome (hehe, saya ingat jelas nama perjanjiannya, karena saya mencatat di buku saat Toon menerangkan. Bayangkan betapa niatnya saya belajar sejarah Eropa!) masing-masing wakil dari Belanda, Perancis, Belgia, Luxemburg, Italy dan Jerman Barat sepakan untuk mendirikan komunitas atom & ekonomi Eropa dan ini adalah cikal bakal berdirinya Uni Eropa. Tahun 2002, euro diluncurkan sebagai mata uang bersama, namun Inggris, Swiss dan Norwegia menolak mata uang euro ini dan memilih menggunakan mata uang mereka sendiri. Ketika saya tanya kenapa, Tooon mengatakan, Inggris tidak ingin kehilangan independensi mata uang poundsterling, tidak juga ingin terlalu terikat dengan Eropa daratan karena terkadang kerjasama dengan AS lebih menguntungkan. Untuk Swiss, ya, mereka negara kaya, karena seluruh orang kaya di dunia ini menabungkan uangnya di Swiss (juga demikian halnya dengan orang-orang kaya di Indonesia toh?). Mengapa mereka memilih Swiss? Toon bilang, Swiss dibatasi oleh pegunungan, sehingga sejak berabad-abad lampau, tak pernah ada cerita perang terjadi di Swiss, hingga rasanya swiss memang negara yang sangat aman untuk menimbun uang. Hmm.. Lalu bagaimana dengan norway? Singkat Toon menjawab, "mereka punya minyak.."

Itu dia hasil belajar sejarah singkat saya tentang Belgia dan Eropa, mudah-mudahan banyak benarnya  ketimbang salahnya. Maklumlah, aslinya saya buta sejarah dan juga pengetahuan umum, apalagi ekonomi.. jangan tanya..


Wednesday, September 22, 2010 4 komentar By: shanti dwita

bertiga bersama

Sontak keriuhan itu hilang di telan malam, dan disinilah aku sendiri membunuh waktu tatkala kantuk belum juga mau mengusikku. Sunyi ini membuatku berfikir bahwa aku sendirian. Tapi benarkah itu, karena jiwaku merasa aku tak sendiri. Ada perasaan yang menenangkan saat kuyakin seeseorang yang berada di belahan bumi lain selalu menyenandungkan kasih dan kerinduan untukku. Tidakkah itu semua cukup menenangkan. Andai jarak dan waktu adalah maya, dan tak pernah nyata. Andai dengan mengejapkan mata ku bisa berada disisinya, disisi mereka. Mereka rumahku, seperti halnya saat ia berkata aku adalah rumahnya, tempat dimana ia akan pulang saat senja menjelang, tempat dimana ia akan bernaung kala awan mendung menggulung. Entah siapa yang romantis diantara kami, mungkin aku, mungkin juga dia, mungkin juga kami berdua, hingga kata-kata "ajaib" seperti itu sering muncul dan seolah menjadi biasa. Dan rasanya kami tak akan pernah menjadi dewasa jika parameternya adalah panggilan formal seperti "papa mama". Kami saling memanggil sesuka hati, asal saja, entah itu "Cint", "yang", "neng", "bos", "juragan", "ente" "ane" atau nama-nama jelek kami waktu di kampus dulu seperti "aki" dan "bogel". Dan mungkin yang akan protes jika mendengar hal ini adalah junior kami " Ibu, itu bukan ayang, itu ayaaaahhh."-- "oke, oke, ibu salah, itu ayaaahh". 

Banyak hal remeh temeh yang tak bisa kujabarkan satu-persatu  dan saat ini ingin kulakukan. Aku ingin melihatnya menangkap ikan dan aku yang memfiletnya. Aku ingin mendengar adisku (dan juga dia) merajuk minta dibuatkan donat, atau bolu atau cake apapun. Aku juga mendadak rindu kebiasaanya menguntitku saat belaja sayur di pasar becek. Konyol memang, sama sekali tidak ada bapak-bapak di dunia ini yang ikut masuk kepasar dan menunggu istrinya memilih-milih bawang, menawar ikan dan juga hilir mudik mencari dimana si penjual kluwek berada. Tapi ia melakukannya. Aku juga senang mengenang saat kami sedikit bersitegang tentang hal-hal konyol, dan biasanya  aku  tak pernah bisa marah untuk waktu yang lebih lama dari satu jam., karena dia pasti mengacaukan semuanya. Aku ingin menonton berkeping-keping DVD serial korea hingga tengah malam terlewat. dan melihatnya ikut ketagihan.  Aku juga senang dan puas sekali melihatnya menangis haru melihat film yang menyayat hati, dan hanya aku yang tau ekspresi wajahnya saat menangis. :P

Menuliskan semua hal diatas membuatku sejenak bahagia, karena ternyata ada harta yang kupunya. yang mungkin tak dipunyai orang lain, atau mungkin orang lain memilikinya, tapi tentu tidak akan  persis sama dengan apa yang kugenggam saat ini. Dan juga seorang lelaki kecil yang dengan mengingat sedikit tentangnya membuatku dengan mudah berkaca-kaca. Ah cinta, mengapa rasa itu ditakdirkan ada di jiwa manusia, hingga sulit rasanya berada jauh darinya. Andai aku pun mati rasa, masih layakkah aku disebut manusia. Aku bersyukur menjadi manusia dengan segala konflik yang sedikit demi sedikit mendidikku menjadi dewasa. Meski sungguh aku tidak tahu kemana arus hidup akan membawaku di tahun-tahun  mendatang. Terbayang betapa sempurnanya hidup bertiga tanpa harus memikirkan tentang apapun. Seolah saat bertiga membuatku memiliki segalanya ditengah segala ketidakidealan ataupun ketidaksempurnaan. Bertiga membuatku merasa timpang saat satu dari kami menghilang, seperti halnya segitiga yang tak pantas disebut segitiga tanpa sudut runcing disisinya.

Hampir 5 tahun menjalani hidup bersama, dan mungkin aku dan dia akan melewati fase 1. Lima tahun pertama perkawinan adalah penyesuaian karakter. Aku dan dia dan keluarga kecil yang kami bangun memang tidak sempurna. Tapi aku masih muda, begitu juga dia, mudah-mudahan kami punya banyak waktu hingga senja menjelang untuk mengumpulkan batu yang akan memperkuat pondasi rumah kami hingga anak-anak kami kelak merasa nyaman berada di dalamnya. Kalaupun saat ini apa yang ada masih terasa samar, aku berharap kami bisa melaluinya bersama, dan selalu bersama. 

Aku ingin meresapkan kata "BERTIGA, BERSAMA" jauh ke dalam relung hatiku. Hingga setiap sel dalam tubuhku tahu apa yang akan kulakukan. Hingga hatiku tau apa yang semestinya kupikirkan. Aku tak ingin larut dalam fikiran buruk tentang segala yang negatif, sungguh aku ingin berfikir positif. Aku ingin tidak selalu melihat langit, tapi ku ingin selalu melihat kerikil terdekat yang mungkin akan membuatku jatuh. Aku ingin menghindarinya, dan kalaupun aku terpaksa jatuh, aku percaya akan ada tangan yang menggenggamku erat dan mengajakku bangkit. 

Sungguh aku manusia yang hanya menuruti perputaran nasib, dan tentu aku tak tahu kemana angin dunia meniupku dan menghembusnya. Tapi kupercaya, jalan akan selalu ada selama aku tak berputus asa. Aku juga yakin tentang kata hati yang teruap secara spontan, teriring di setiap detakan nadi, dan itu adalah sebenar-benarnya pengharapan yang jujur.. "bersama"
Sunday, September 19, 2010 0 komentar By: shanti dwita

Antwerpen

Seminggu belakangan teman-teman satu kelas bahasa belanda di kampus yang terdiri dari Erasmus awardee (diploma) dan juga Erasmus Mundus awardee (master) sibuk memikirkan rencana berakhir pekan ke Amsterdam. Beberapa yang telah melakukan survey bilang kalau harga tiket PP ke Amsterdam sekitar 39 euro. Setelah berdiskusi melalui facebook dan juga diskusi di kelas, akhirnya rencana tersebut ditunda, karena sulit menemukan penginapan murah di akhir pekan kalau tidak melakukan booking at least satu bulan sebelumnya. Jika ke Amsterdam hanya satu hari dan tidak menginap, rasanya melelahkan, nggak puas dan juga sayang ongkosnya :). Setelah menimbang-nimbang antara mengunjungi Brugge atau Antwerp sebagai opsi lain dalam mengisi weekend, kami semua setuju untuk melakukan city sightseeing di Antwerp.

Hari Sabtu jam 11 siang adalah waktu yang disepakati untuk berkumpul di halte tram depan kampus. Saya bangun kesiangan, jam 7 dan langsung sholat subuh (azan subuh jam 5.30). Suasana rumah sepi karena mungkin teman-teman satu rumah baru pulang dari pub dan sedang lelap-lelapnya tidur. Oya, Jumat malam diadakan gathering party teman-teman sekelas dan setiap orang yang datang wajib membawa makanan khas dari negaranya masing-masing. Saya pun bawa nasi goreng untuk dinner lengkap dengan telur dadar iris tipis, timun serta tomatnya. Tapi karena saya datang telat (undangan jam 8.30 pm dan saya dkk datang jam 9.30), teman-teman sudah telanjur kenyang dengan berbagai macam makanan yang bertebaran di meja makan, akhirnya nasi goreng saya masih sisa separuh. Saya pun kenyang bukan kepalang hanya dengan menyantap hidangan yang dibawa teman-teman turki dan tak kuasa mengambil yang lainnya. Acara kumpul bareng itu pun ditutup jam 12 malam, tapi belum selesai, karena masih ada 'pub time' hingga pagi di sekitar centrum. Untuk acara kedua itu saya nggak ikutan dan lebih memilih tidur nyaman di rumah (itupun masih membuat saya bangun kesiangan!). Oke, kembali ke topik sebelumnya. Jam 10.30 pagi saat saya baru akan mandi, seorang polisi datang ke rumah kami mencari saya. Tapi jangan khawatir, polisi ini hanya ingin memastikan bahwa saya benar-benar tinggal di rumah itu berkaitan dengan aplikasi resident permit saya di Gent. setelah saya punya resident permit, maka saat itu pula saya dianggap legal untuk tinggal dan belajar di Gent.

Jam 11.15 (molor 15 menit), saya dan teman-teman serumah, Esther dan Esteve  (Spanish) sampai di halte tram. Disana sudah menunggu Dagmara (Polish), Leandro (Brazilian), Ramon (Spanish), Alessandro dan Silvia (Italian), Marija (Serbian) dan juga Roland (Hungarian). Kami bersepuluh adalah peserta piknik ke Antwerp edisi Sabtu 18 September. Butuh sekitar 40 menit untuk sampai di Antwerp Centraal train station dari Gent St-Pieters. Selama perjalanan, Dagmara menunjukkan tempat-tempat menarik di Antwerp yang tertulis di buku panduan wisata miliknya. Ada kebun binatang yang termasuk 'tertua' di Eropa, (dengan tiket masuk 11 euro), ada juga museum berlian karena Antwerp adalah juga kota yang terkenal dengan berliannya. Berlian dan Belgia mengingatkan saya pada film Blood Diamond-nya Leonardo di Caprio, tapi saya juga belum yakin kalau berlian-berlian yang ada di Antwerp ini datang dari Afrika seperti yang tergambar di film itu. 

Empat puluh menit berlalu. Setelah melewati terowongan gelap selama kurang labih 1 menit, saya pun mulai melihat warna-warni biru lampu yang terpasang di dinding (bawah tanah) stasiun Antwerp. Marija bilang, stasiun ini adalah yang terindah di Flanders, saingannya ada di Liege (Wallonia), tapi menurutnya tetap masih bagus Central Station Antwerp. Menurut info, stasiun ini dibangun berdasarkan ide dari Louis Delacenserie dan selesai pada tahun 1905. Arsitekturnya memang sangat indah, memiliki detail khas era baroque dengan ukiran plus nuansa emas yang saya rasa juga dimiliki oleh bangunan indah lainnya seantero Eropa.













                                  Centraal Station
Antwerpen



Hawa dingin sangat terasa ketika saya beranjak keluar dari stasiun dan teman saya yang bule asli Eropa pun mengamini hal tersebut, bahkan ia merasa lebih kedinginan dibanding saya. Kata dagmara nggak heran kalau saya tidak terlalu merasakan dingin, karena panas keluar dari tubuh terutama dari bagian kepala, dan saya memakai kerudung. "So, should I put my shawl on my head just like you?' katanya sambil tertawa. Pertanyaan lain muncul dari Marija, apakah semua orang di Indonesia pakai kerudung? kenapa kamu pakai sedang Lydia nggak? Well, ya, di Indonesia pake kerudung udah hal biasa, dan soal Lydia, "we're different, I am moslem and she's catholic".. Maria dan Dagmara pun seolah mengerti dan berkata "ya,Okay, it makes sense!"     

Dari stasiun kami menuju ke pusat kota Antwerp (Grote Markt) dengan berjalan kaki selama setengah jam. Jalan kaki adalah hal yang harus saya biasakan disini, bahkan untuk jarak 3 km saya HARUS sanggup dan tidak boleh mengeluh. Saya jadi ingat di Indonesia dengan mudah saya menemukan ojek, hingga jalan kaki 500 meter pun rasanya malas. Perjalanan menuju centrum itu sama sekali tidak terasa, karena di kiri kanan jalan terdapat banyak sekali toko dengan brand-brand yang cukup terkenal di Indonesia seperti Zara, Massimo dutti, Esprit, Mango, Fossil, st Oliver, Bershka dan sejumlah lainnya yang nyaris tidak terekam di memori. Orang-orang di Antwerp ini lebih beragam, berbagai ras dari belahan bumi rasanya ada disini. Antwerp juga merupakan tujuan wisata utama di Belgia, dengan perdagangan dan pelabuhannya yang ramai. Sebenarnya Antwerp tidak terletak di tepi pantai, tapi ia punya kanal besar yang bisa dilalui kapal-kapal dan bermuara di laut utara. Antwerp juga kota mode, tak heran kalau banyak perempuan (dari segala umur) yang tampil modis dengan boot, stocking, jacket dan shawl yang terlihat fit di tubuh mereka.Yang juga menarik dari para pejalan kaki di pusat kota ini juga adalah bahwa mereka semua tertib berlalu lintas. ya, pejalan kaki juga harus manut dengan lampu merah. Kalau lampu untuk pejalan kaki masih merah, meski jalanan sepi dan tak ada tram/bus/mobil yang melintas, mereka pun tidak akan menyebrang. Oleh karena itu, setiap ada lampu merah, rombongan pejalan kaki ini pun menyemut di sudut jalan, dan ketika lampu hijau, mereka bergerak cepat seperti tawon yang sarangnya diusik. Entah kenapa, saya suka sekali melihat hal seperti ini.

                                                                lampu merah


                                                                    bubar.. jalan!!

Di tengah perjalanan, saya melihat ada toko yang menjual coklat deengan tulisan "The Chocolate Line, Paleis of de Meir". Ini pasti bukan toko biasa karena bangunannya besar dan terdiri dari beberapa lantai. saya pun mengajak teman-teman untuk masuk sejenak. Dan benar saja, toko ini tak hanya menjual coklat, tapi juga punya banyak patung yang terbuat dari coklat (tentu dengan tulisan 'Don't touch!") dan juga dengan peragaan proses pembuatan coklat dan cafe teras di bagian tengah gedung untuk menikmati segelas cokelat panas.



                        
                                               beberapa patung coklat di the chocolate line

Berjalan lagi seelama beberapa menit, saya menemukan telapak tangan raksasa yang teronggok di tepi jalan (?). Itu adalah patung telapak tangan. Mengapa ada patung telapak tangan? Ini semua ada kaitannya dengan cerita asal muasal kota Antwerp (seperti halnya asal usul batu menangisnya Malin Kundang mungkin). Alkisah, ada seorang pemuda gagah berani bernama Brabo yang berkelahi melawan raksasa jahat dan berhasil memotong telapak tangannya dan melempar telapak tersebut (dan jatuhnlah telapak tangan tersebut disana, di depan saya. Eits jangan dipercaya, saya bercanda tentang hal yang ada di dalam kurung ini). Dalam bahasa Belanda, melempar telapak tangan tersebut diistilahkan sebagai "hand werpen" dan jadilah nama Antwerpen itu hingga sekarang.  (Antwerpen = bahasa Belanda, Antwerp = bahasa Inggris). Cerita asal usul nama Antwerp ini saya dengar dari dosen fisika di kampus tempat saya belajar,  Toon van Den Abeele, yang kebetulan ditugaskan memberikan cerita tentang sejarah Belgia. Pak dosen bilang, setelah dia pensiun, dia mau menjadi Tour Guard. Hmm.. Nice idea!


                                                            telapak tangan raksasa

Akhirnya, sampailah saya di balai kota Antwerp. Setelah sebelumnya melewati "cathedral of our lady", sebuah katedral tua dengan tinggi 123m yang juga identik dengan kota Antwerp. Oya, karena kedinginan, kami pun sempat mampir sejenak (menghangatkan badan) di dalam Panos, kedai yang menjual aneka roti, sandwich, pizza dan sejenisnya. Saya pun memesan sepotong kecil vegetable pizza dengan harga 2,5 euro yang cukup panas hingga saus merah diatasnya meleleh. Sangat menggoda di siang hari yang dingin. Kembali ke balai kota, berbeda dengan balai kota di Gent atau Brugge ataupun Brussels, di balaikota Antwerp ini  terdapat banyak sekali bendera, rasanya bendera semua negara di Eropa ada disini. Tepat di depan balaikota terdapat patung Brabo dan air mancur. Di patung ini terukir sang pemuda sedang melempar tangan si raksasa dengan gagahnya (?). Karena patung ini sedikit banyak mengandung cerita historis asal usul Antwerp, maka banyak sekali wisatawan yang berpose di depannya, termasuk saya.


                               cathedral of our lady dan balaikota Antwerp (patung brabo)

Belum lengkap rasanya berkunjung ke Anwerp tanpa mengunjungi museum bahari dan juga castle "het steen/the stone" di tepi kanal Scheldt (scheldt river). Beraneka macam kapal ada disini dan tepat di depan castle, terpasanglah jangkar besar yang menandai bahwa Antwerp adalah kota pelabuhan, tempat jangkar-jangkar kapal ditancapkan. Castle-nya cukup indah dipandang, meski rasanya kalah senior dibandingkan dengan Castle of the Counts di Gent. Karena lebih muda, castle ini terasa nyaman untuk disinggahi. Terdapat juga jembatan kayu yang menghubungkan The Stone dengan bangunan lainnya (saya tidak tahu namanya dan juga tidak kesana karena jauh). Di sepanjang tepian jembatan  kayu terdapat teropong untuk melihat jauh ke seberang sungai meski rasanya tidak ada yang menarik di depan sana selain pepohonan dan juga gedung bertingkat. Untuk menggunakan teropong, cukup memasukkan koin 50 sen dan teropong pun siap digunakan.


                                                     jangkar raksasa dan the stone

Sebelum mengakhiri perjalanan, kami bersepuluh pun mampir di kedai minuman dan memesan coklat panas (padahal kalau di Gent, teman-teman saya ini selalu memesan bir, mungkin hawa dingin memaksa mereka untuk berpaling sementara dari minuman kegemaran mereka :P). Dengan habisnya coklat di dalam cangkir plus sepotong spekulaas renyah, maka berakhir pulalah city sightseeing di kota Anywerp Sabtu itu. Kami pun pulang menggunakan kereta IC seperti halnya saat berangkat. Saya menggunakan kartu GoPass yang saya beli seharga 50 euro untuk 10 kali perjalanan ke seluruh Belgia. Setiap kali perjalanan (one way), saya harus menuliskan hari, tanggal, tempat asal dan tujuan di kartu GoPass tersebut dan kebetulan perjalanan pulang ke Gent dari Antwerp itu adalah perjalanan saya yang kesembilan. Mungkin hari itu sudah ditakdirkan menjadi hari terakhir saya menggunakan GoPass karena sungguh di luar dugaan, petugas pengontrol tiket meminta saya menunjukkan kartu identitas. Daann.. kena kau! Ketahuan kalau umur saya 27 tahun, saya pun diminta untuk memberikan alamat di Gent plus diwajibkan membayar denda atau membiarkan kartu GoPass saya disita. Saya memilih opsi ketiga. Kartu GoPass ini sebenarnya ditujukan untuk mereka yang bermur 25 tahun atau kurang. Untuk yang berusia di atas itu, kartu yang harus dibeli adalah RailPass dengan harga 70 sekian euro (mahhaaalll). Ya, setidaknya hari itu saya dapat pelajaran berharga. Yang pertama, belilah tiket reguler untuk plesir di akhir pekan karena biasanya ada diskon, apalagi untuk yang berjarak dekat seperti Gent-Antwerp atau Gent-Brussels (9 euro belum diskon). Kedua, pakailah GoPass or even RailPass untuk perjalanan jauh yang tarifnya mahal, seperti misalnya dari Gent ke Liege atau daerah-daerah lain di Wallonia. Pelajaran pun selesai.



Sunday, September 12, 2010 2 komentar By: shanti dwita

BRUGGE


Brugge merupakan ibukota dari West Flanders yang terletak di barat laut Belgia. Karena termasuk wilayah Flanders, maka bahasa yang digunakan di daerah ini adalah bahasa Belanda. Sedikit mengulas tentang bahasa, di Belgia terdapat tiga bahasa yang digunakan, yaitu Belanda, Perancis dan Jerman. bahasa Belanda dipakai di wilayah Flanders, Perancis dipakai di Wallonia dan Jerman digunakan oleh 80.000 orang yang bermukim di perbatasan Belgia-Jerman.

Brugge ditetapkan sebagai kota warisan dunia (World Heritage Site) oleh UNESCO sejak tahun 2000. Mungkin kriteria tradisi budaya serta arsitektur kota yang sangat bernuansa abad pertengahan (medievel architecture) yang membuat kota ini dinobatkan sebagai warisan dunia bersama patung Liberty di Amerika, Westminster Abbey di UK, piramid Giza di mesir dan ratusan lokasi-lokasi lainnya di seluruh dunia. 

                                                        bangunan khas Brugge

Memasuki kota Brugge, selain terpampang logo UNESCO, saya disambut dengan bangunan-bangunan yang unik berdinding batu bata merah dengan atap segitiga berdetail gerigi dan cerobong asap. Kata bu Frieda, arsitektur ini mirip sekali dengan yang ada di Belanda, hingga rasanya  melihat Brugge sama seperti melihat Belanda secara umum (kecuali tulipnya mungkin yang tidak bisa ditemukan di Brugge). Di akhir pekan, kota ini sangat ramai dengan wisatawan dari berbagai negara. Hal  itu terlihat dari beragamnya plat nomor mobil yang parkir di sekitar kawasan wisata Brugge. Pak Eddy pun selalu menjawab semua pertanyaan tentang plat nomor yang saya ajukan, misalnya huruf "D" artinya Deutschland/Jerman, "F" untuk France, "PL" untuk Poland dan banyak lagi lainnya. Semua plat nomor kendaraan Eropa memiliki logo/sticker 12 bintang kuning dengan background biru (logo uni Eropa). Untuk mobil dari dalam Belgia sendiri warna platnya merah dengan latar putih, sedangkan dari luar belgia, warna hitam dengan latar kuning, persis seperti plat angkutan umum di Indonesia. 

Benar-benar beruntung saya kesana ditemani oleh pak Eddy dan bu Frieda yang sangat mengerti tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi. Meskipun hanya sebagian kecil dari Brugge yang saya lihat, tapi secara garis besar saya tahu bahwa kota ini tepat sekali untuk dijadikan tujuan wisata. Lokasi pertama yang kami lewati adalah Belfort (the belfry tower of Bruges), terletak di Markt (Market square), memiliki tinggi 88 meter dan terdapat 47 lonceng di dalamnya. Konon, kesemua lonceng itu punya bunyi yang khas yang berbeda satu dengan lainnya. Belfry tower ini menjadi salah satu simbol kota Brugge dan terbuka untuk umum. Dengan membayar sejumlah uang (saya tidak tahu pasti), wisatawan bisa naik dan melihat pemandangan seluruh Brugge dari atas. Bu Frieda mengatakan bahwa pondasi yang berada di bawah Belfry Tower ini dialasi oleh kulit sapi (terbayang banyaknya kulit sapi yang terpendam di bawah sana), oleh karena itu setiap tahun Belfry Tower mengalami perubahan kemiringan seperti halnya menara Pisa di Italia.

                                                                       Belfort

Dari Belfort, sambil berjalan, kami melewati banyak sekali kanal. Sabtu itu wisatawan yang datang sangat banyak, dan sebagian besar dari mereka menggunakan perahu (dipandu seorang travel guide) menyusuri kanal-kanal dengan harga tiket 6,9 Euro untuk 30 menit perjalanan.  Karena banyaknya kanal (sungai), maka Brugge juga disebut sebagai Venesia dari Utara (guru bahasa Belanda saya, Erik, bilang, Genoa of the North). Konon, dulu kanal-kanal ini berukuran sangat lebar karena Brugge merupakan kota perdagangan yang dilintasi oleh banyak kapal. Seiring waktu berlalu, perubahan kondisi geografis-pun terjadi dan Brugge tak lagi berada di dekat lautan (jangan tanya kenapa). Wisata perahu ini rasanya hampir sama dengan yang biasa saya temui di Gent, meski di Gent kanalnya lebih sedikit. Harga tiketnya pun hanya beda 0,4 Euro karena untuk berperahu ria di Gent, euro yang perlu dirogoh adalah 6,5 (saya juga belum mencoba sih!).


                                              menyusuri kanal dengan perahu

Karena banyak sekali kanal di Brugge, otomatis jumlah jembatannya juga melimpah. Hampir semua jembatan memiliki bentuk yang sama, yaitu dengan detail lorong-lorong setengah lingkaran di badannya. Ketika saya tanya bu Frieda, jembatan berbentuk seperti ini lekat  sekali dengan suasana romantis. Oleh karena itu, banyak sekali lukisan tentang kota Brugge menampilkan jembatan sebagai objeknya. Di kanal kecil terdapat banyak sekali angsa putih yang merupakan simbol cinta. Angsa selalu setia, kata bu Frieda. Saat pasangannya mati, angsa jantan tidak akan mencari pengganti dan akan betah hidup melajang hingga maut memanggil (saya baru tahu hal ini). Angsa di Brugge diberi tag pada bagian kakinya, mungkin agar tidak hilang sekaligus untuk menghitung populasi angsa di kawasan itu (saya jadi teringat mata kuliah bioper tentang fish tagging and marking). 

                                              jembatan romantis dan angsa setia

Dari kanal, kami berjalan lagi menuju the Brug Square, tempat dimana city hall (kantor pemerintah setempat) berdiri. Brug square dan Markt square sebenarnya sama-sama town square di pusat lota Brugge, tapi ukuran Markt square lebih besar. Jika diperhatikan pada gambar yang saya upload di bawah, ada empat bendera yang terpasang di bangunan balai kota. Yang paling kanan, merah putih dengan singa biru di tengahnya adalah bendera Brugge, disampingnya terdapat bendera kuning dengan singa hitam  yang merupakan bendera Flanders,  lalu ada bendera Belgia (hitam, kuning, merah) dan yang terletak di sebelah kiri adalah bendera Uni Eropa, berwarna biru deengan 12 bintang yang terangkai menjadi sebuah lingkaran. Oya, kalau dilihat dari arsitektur bangunannya, city hall ini memiliki detail ukiran keemasan di dindingnya (setelah saya tanya mbah Google, ternyata arsitektur seperti itu disebut bergaya Renaissance).


                                                                  city hall

Selain city hall, di sekitar center juga terdapat museum Salvador Dali . Saya agak familiar dengan nama ini karena di SMA guru kesenian saya mengajarkan bermacam-macam aliran lukisan dan nama-nama pelukis yang terkenal dari berbagai masa, mulai dari  medievel (pertengahan), renaissance, romantic dan lain sebagainya. Tidak hanya lukisan yang ada di dalam museum, tapi juga karya seni lainnya, seperti patung. Bu frieda bilang, di Brugge terdapat karya asli Michael Angelo berupa patung, namun beliau tidak bisa mengantar saya melihatnya karena waktu yang semakin sore.

Bu frieda pun kemudian mengajak saya menyusuri jalanan terkecil yang ada di Brugge (kalau di Indonesia biasa di sebut gang) yaitu de Garre. Jalan ini jalan buntu, di tembok-tembok yang kami lewati banyak terpasang pamflet dan diujung jalan terdapat sebuah restauran yang saya lupa namanya. Oleh karena itu, setelah dengan sengaja menemui "dead end" kami pun berputar balik dan kembali melewati jalanan dengan lebar satu meter itu.

                                                                   de Garre

Sebelum memasuki de Garre, saya  juga sempat membeli beberapa kartu pos (akhirnya dibelikan oleh Pak Eddy karena uang saya 20 Euro dan si pemilik toko menolak uang besar). Salah satu kartu pos bergambar kincir angin seperti yang ada di Belanda. Saat itu saya tidak tahu apa bahasa Inggrisnya kincir angin, pun tidak tahu nama lokasi tempat kincir angin itu berada tapi saya ingin sekali melihatnya. Akhirnya, saya keluarkanlah si kartu post dan menunjukkannya pada Pak Eddy.. "Ooh..you wanna see the windmill?" Saya pun mengangguk. Pak eddy yang baik hati  bersedia mengantar, namun karena letaknya agak jauh dari pusat keramaian Brugge, kami harus kembali ke tempat parkir dan mengendarai mobil menuju kesana.  Setelah 10 menit berkendara, kami sampai di kincir angin yang bernama The Bonne-Chiere. Kincir itu dibangun di atas sebuah gundukan tanah serta rumput hijau yang sangat indah. Itu kali pertama bagi saya melihat sebuah kincir angin. Benar-benar seperti sedang berada di Belanda. Di sekitar windmill, terdapat taman (mungkin lebih tepat disebut lapangan rumput agak luas) dengan jalanan sempit tepi kanal yang dinaungi rindangnya pepohonan. Di area rumput tadi saya melihat banyak orang bermain anggar, mungkin sebuah klub anggar sedang latihan rutin. Di jalanan yang sempit saya juga menyaksikan banyak orang berlalu lalang dengan berbagai aktifitas, ada yang bersepeda, berjalan bersama anjing, duduk di bangku, yah..sepertinya mereka semua menikmati hari sabtu yang cerah di Brugge. Benar-benar cerah, dan entah mengapa saya menjadi suka sekali cuaca cerah dengan matahari hangat. Mungkin karena di Gent selalu dingin, berangin dan lumayan sering hujan.

                                                     The Bonne-Chiere Windmill

Di kanal yang cukup besar (masih di area windmill), rombongan yacht (perahu pribadi) akan melintas. Seperti halnya kereta api yang akan lewat, sirine pun berbunyi dan sejenak kemudian jembatan yang tadinya rebah dengan santainya pun mulai terangkat. Mobil dan sepeda yang akan melintas menyeberangi kanal agaknya harus  berhenti sementara hingga rombongan yacht habis. Sebenarnya tepat di depan rumah tempat saya tinggal di Gent juga ada jembatan sejenis yang juga akan terangkat saat ada perahu yang akan lewat. Saya sempat melihatnya sekali dari jendela namun tak perrnah ingin memotretnya. Tapi lain dengan yang saya lihat di Brugge ini, saya memotretnya dengan senang hati.

                                                            jembatan terangkat

Sebelum mengakhiri perjalanan, pak eddy dan bu frieda menunjukkan satu tempat lagi yang cukup terkennal di Brugge, yaitu the Beguinage. Beguinage adalah kompleks gereja tua, dengan bangunan berwarna putih, tidak tinggi, dengan kusen-kusen hitam dan cerobong asap. Gerejanya sendiri terbuat dari bata yang tidak diplester dan tampak sangat sederhana. Di kawasan ini banyak sekali peringatan bahwa pengunjung tidak boleh membuat keriuhan, walhasil semua wisatawan tampak mengecilkan volume suaranya saat bercakap-cakap. Suasana hening yang tercipta benar-benar membangkitkan aura "tua" pada kompleks ini, dan mungkin saja dugaan saya bahwa bangunan ini berumur 1000 tahun benar adanya. Oya, mungkin ada yang bertanya, mengapa harus hening? "karena para biarawati tinggal di area ini, jadi tidak boleh berisik", kata bu Frieda.


                                                               the Beguinage

yahh..  selesai sudah perjalanan saya di Brugge sabtu itu. Sangat menyenangkan mengenal pasangan pak Eddy dan Bu Frieda yang begitu baik pada 'orang asing yang baru dikenal' seperti saya. Saat mengantar saya kembali ke Ghent, beliau pun berkata akan mengundang saya untuk makan bersama mereka di Aalter bulan Oktober nanti, sepulangnya mereka dari liburan di Spanyol.


Pak Eddy dan bu Frieda

Selasa lalu saat sedang berjalan sambil membaca peta mencari Friday Market (Vrijdag Markt) di Ghent, seorang lelaki paruh baya memanggil saya dan bertanya "dari Indonesia ya?". Saya pun berhenti dan mencari sumber suara. Wajahnya lebih mirip orang dari Asia Timur, dengan mata sipit, berkacamata, berpakaian rapi dan menggunakan tas ransel.  "iya, Bapak juga dari Indonesia?"tanya saya. "Saya pernah di Indonesia, di situbondo." Bahasa Indonesia bapak yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai "Eddy Murphy" ini tidak terlalu lancar. Ia bukan orang Indonesia, tapi merasa dekat karena memiliki darah Indonesia dari nenek buyutnya. Ayah Pak Eddy seorang Dutch, ibunya Thailand, kakeknya berdarah Indonesia-Belanda-Mandarin. Puluhan tahun lalu pak Eddy pernah tinggal di Jakarta dan bekerja di Garuda Indonesia sebelum akhirnya melanglang ke Jawa Timur. Kewarganegaraannya saat ini adalah Belanda, namum berdomisili di Aalter, 20 km dari Ghent ke arah barat laut.Sebelum berpisah, ia pun meminta nomor telefon saya dan berjanji akan menelfon saya secepatnya. Oya, tentu, dia pun dengan baik hati menunjukkan dimana letak toko makanan Asia "san wah" yang sedang saya cari.

Satu jam setelah berpisah, pak Eddy menelfon saya dan menawarkan untuk berjalan-jalan ke Brugge. Tentu ia menawarkan karena di pertemuan satu jam sebelumnya saya berkata bahwa saya mahasiswa baru dan belum kemana-mana. Saya dapat informasi dari website bahwa tujuan wisata utama di Belgia ini adalah Brussels dan Brugge, saya sudah beberapa kali ke Brussels namun belum sekalipun ke Brugge. itu sebabnya mengapa Pak Eddy menelfon dan menawarkan untuk pergi bersama istrinya ke Brugge di akhir pekan. "You'll be very happy to see my Lady Di". Ia menyebut istrinya ibu Frieda, my lady Di. Well..

Sabtu siang jam 12, Pak Eddy berada di depan rumah saya untuk menjemput. Saya pun segera turun dan mendapati seorang wanita cantik mirip Lady Diana duduk di dalam mobil. Ya, saya pun tahu mengapa pak Eddy menyebut bu Frieda sebagai 'my lady Di". Ia cantik dan sangat ramah. Ibu Frieda ini seorang Dutch, warna matanya biru keabuan dengan rambut pirang, tubuh tinggi dan potongan rambut  seperti Lady Diana. Pernikahan dengan pak Eddy tidak memberinya anak, namun pak Eddy memiliki beberapa dari pernikahan sebelumnya. Orangtua bu Frieda adalah seorang biologist dan adiknya adalah seorang professor. Pak Eddy menyebut ibu mertuanya sebagai 'walking library' karena kegemarannya membaca buku dan pengetahuannya yang luas akan banyak hal. Bu Frieda sendiri berbakat dalam hal bahasa, ia menguasai Inggris, Perancis, Belanda, Jerman dan sedikit sekali Indonesia. Saat saya puji tentang kemampuan bahasanya, dengan rendah hati beliau berkata " Eddy (pak eddy) bisa lebih banyak lagi (bahasa asing). Bu Fri (that's the way pak eddy treats her) tidak tinggal di Ghent, tapi tau nama-nama jalan yang ada  di ibu kota Flanders Timur ini. Setelah saya tanya, ternyata di waktu muda, ia pernah melakukan kegiatan keagamaan (semacam pelayanan mungkin ) yang membuatnya menyusuri setiap jalanan di Ghent dan mengingat dengan baik semua nama jalan itu hingga sekarang.
Perjalanan ke Brugge memakan waktu 30-40 menit lewat jalan tol, dan 20 menit jika menggunakan kereta api. Pak Eddy tidak langsung melewati tol (highway) karena ia akan mampir sejenak di rumahnya di Aalter untuk berganti pakaian dan menurunkan barang-barang yang ada di bagasi mobilnya. Ia tadi mengenakan  kaos putih dengan gambar kepulauan Indonesia, dengan senang ia menunjukkan bagian punggung kaosnya pada saya sebelum saya naik ke dalam mobil.  Perjalanan ke Aalter ini ditemani oleh pemandangan peternakan sapi dan ladang jagung di luar jendela mobil. Bu Frieda bilang, jagung yang ditanam disini bukanlah jagung untuk konsumsi manusia, tapi untuk ternak. Bicara tentang jagung, pak eddy dan bu frieda mengingat tentang kebiasaan orang Indonesia makan jagung rebus atau jagung bakar. Hal yang rasanya sama sekali tidak ada di sini, karena kebanyakan orang di Belgia mengkonsumsi jagung pipilan dalam kaleng. Oya, saat saya bilang jagung juga biasa dibuat bakwan jagung, mereka sangat antusias, seolah bernostalgia dengan Indonesia. Dalam hati saya pun berjanji untuk membawakan mereka bakwan jagung andai saya punya kesempatan untuk berkunjung ke Aalter (dengan selamat dan tidak kesasar tentunya).

Setelah melewati ladang jagung, kami masuk kembali ke jalan raya dan berbelok ke arah perumahan. Rumah-rumah di Aalter ini sangat berbeda dengan yang biasa saya lihat di Ghent. Mayoritas hanya terdiri dari satu lantai dengan taman, garasi dan sekitar 3 kamar tidur. Rumah pak Eddy dan bu Frieda kecil tapi sangat nyaman. Semua perabotan, taplak meja, sarung bantal dan banyak lagi barang-barang yang merupakan produk IKEA (produsen perlengkapan rumah tangga asal Swedia). Wow! Selain produk IKEA, hal yang khas lainnya adalah souvenir-souvenir dari berbagai belahan bumi ada di sana. Ada keramik porselen dari China, gantungan gajah dari Thailand, patung monyet dari Spanyol, lukisan dari danau toba dan banyak lagi. Mereka berdua memang senang berjalan-jalan. Awal tahun 2010 ini mereka ke Malaysia dan berjemur di suhu 40oC hingga kulit pak Eddy menghitam dan temannya menjulukinya Eddy Murphy.
                                             pak Eddy dan bu Frieda di ruang tamunya
                                                    
Pak Eddy dan bu Frieda telah menjelajah Eropa dengan mobil Volkswagen milik mereka. Negara yang belum mereka kunjungi adalah Irlandia, dan negara yang sangat mereka sukai adalah Swedia (mungkin IKEA tadi berkaitan juga dengan hal ini). Swedia adalah tempat yang nyaman, dan disana pula pak Eddy pernah bekerja sebagai journalist. Bulan September ini mereka berdua berencana berjalan-jalan ke Spanyol, menempuh jarak sekitar 2000 km selama 22 jam. Pak eddy menerangkan, bahwa semua warga di Eropa bisa berjalan-jalan dari satu  negara ke negara lain dengan bebas, tanpa pengecekan apapun di perbatasan. Hal ini mengingatkan saya pada pernyattaan Erik (guru bahasa Belanda di kampus) bahwa para pemerintah setiap negara sedang merintis pembentukan sebuah negara kesatuan Eropa (kurang lebih seperti itu).

                                minum teh di restauran china, de lange muur (de long wall)

                                                        di the Beguinage, Brugge

(bersambung ke Brugge)

Friday, September 10, 2010 6 komentar By: shanti dwita

Lebaran sendu


Gema takbir membahana di kedutaan RI Jumat pagi waktu Brussels. Mata saya berkaca-kaca dan selalu begitu saat takbir itu berkumandang. Entah mengapa, rasanya hari itu saya begitu melankolis. Saya tidak sedang teringat akan ibadah puasa saya yang bulan ini banyak bolongnya karena alasan biologis, saya juga tidak sedang teringat akan tilawah aquran saya yang minim selama Ramadhan ini. Lalu apa yang harusnya saya tangisi? Ya, sebuah hal manusiawi yang memang hanya ada pada jiwa seorang manusia. Rasa sepi di tengah hingar bingar ratusan orang yang bertegur sapa dan saling bersalaman sambil menikmati aneka hidangan khas nusantara.  Rasa hampa saat harus tersenyum riang kala lensa kamera menjerat. Saya pun mendapati bahwa apa yang ada di dalam foto tak pernah nyata. Tidakkah orang tahu duka, cemas, sedih dan takut yang tersembuyi di balik wajah seorang yang sedang tertawa ‘pura-pura bahagia’ di dalam satu foto? Itu yang saya alami. 

Sungguh saya menangis mendengar doa di akhir khutbah karena saya teringat orang-orang tercinta yang berada jauh, belasan ribu kilometer jaraknya dari tempat saya duduk sambil mengangkat tangan. Bukan sedang menangis haru atas doa tentang kemajuan bangsa Indonesia yang sedang dipanjatkan Bapak ustadz di depan sana. Sungguh saya berlinangan air mata karena hati saya pedih tak bisa mendekap mereka dengan hangat, tak bisa merasakan renyahnya canda tawa, tak bisa menenangkan gundah si kecil yang terus bertanya pada ayahnya “dimana ibu?”

Angin dingin membuat saya gemetaran di sana. Memasuki akhir musim panas dengan suhu 16-17oC bukan perkara mudah bagi indera tubuh saya yang sedang susah payah beradaptasi. Dingin itu membuat saya sadar, saya jauh. Melihat orang-orang yang hilir mudik dengan sepatu boots hangat serta coat tebal membuat saya ingat, saya tidak di Indonesia. Mendengar banyaknya orang bercakap-cakap dengan bunyi “R” yang samar, membuyarkan lamunan saya tentang lebaran yang biasa saya alami bersama keluarga. Mereka bicara bahasa Belanda, Perancis, Inggris, apapun itu.  Saya pun yakin, saya benar-benar jauh. 

Lontong, opor ayam, rendang, sayur lodeh, sambal goreng hati-kentang, asinan, telur bacem, kerupuk jala, bakso, nastar, lapis legit, cendol, wajik, kacang mede, semua ada. Disajikan dengan kemurahan hati kedubes RI di Brussels secara cuma-cuma  untuk semua warga Indonesia yang hadir disana Jumat pagi 10 September. Sepuluh hari lebih meninggalkan Indonesia belum membuat saya terlalu rindu pada semua makanan itu, namun, seketika pesawat lepas landas, saya merasa begitu rindu pada mereka semua, saya merasa begitu cemas, akankah saya mampu bertahan? Jika iya, maka akan seberapa lama? 

Sekarang saya jauh. Saya mulai begitu ingin tahu. Apa sebenarnya yang membuat saya bahagia di dunia ini? Saya meminta agar Allah mengabulkan doa saya agar saya diterima menjadi pengajar di universitas negeri untuk menenangkan hati orangtua tercinta. Permintaan itu diluluskan, saya pun dikirim 400km jauhnya dari ‘rumah’ untuk mengambil surat kelulusan saya itu. Lalu, saya berdoa lagi untuk mendapatkan beasiswa di Eropa. Doa saya pun lagi-lagi didengar, dan disinilah saya sekarang, 13000 km mendekati utara bumi jauhnya dari Indonesia. “Maka nikmat Allah yang manakah yang engkau dustakan?”  Sungguh, nikmat itu melimpah. Tapi berlebihankah jika sekarang saya meminta (lagi lagi dan lagi), “Ya Allah, kirimkan suami dan anakku kesini agar aku bisa tenang dan bisa merasa tidak takut akan apapun, kecuali pada-Mu?”

ending
"Do you know where you're going to? Do you like the things that life is showing you? Where are you going to? do you know?
Do you get what you're hoping for? When you look behind you there's no open door. What are you hoping for? Do you know?"
(Diana Ross - Do You Know)
Monday, September 6, 2010 2 komentar By: shanti dwita

moslem's life in Gent

Saya tinggal di Rabot yang merupakan kawasan pemukiman Turkish di Gent. Tidak sulit untuk menemukan makanan halal disini asalkan cocok dengan rasanya, karena mayoritas makanan yang dijual adalah sejenis kebab. Kemarin, bersama-sama teman satu program saya, (shanti, 27  tahun, married, 1 son), yaitu  Leandro (27 tahun, engaged, Brazil), Edward (Uganda, tapi punya status residen di UK, 29 tahun, unmarried dengan 1 putera), Lydia (dari mana ya? Indonesia juga, 23 tahun, single dan berusaha untuk mendapatkan bule tampan :P) dan juga Alessandro (Italia) kami mengunjungi satu kedai makan a la Turki dengan tulisan WARME TURKS BAKKERIJ di kacanya dan  terletak di Wondelhamstraat.  Leandro yang memilih tempat ini setelah sebelumnya bertanya pada saya apa saya hanya makan makanan halal? dan "yes, I eat only halal food!" Menurutnya rumah makan yang tidak hanya menjual kue (bakery) ini menjual masakan halal dengan harga yang cukup murah dibanding yang lain. Leandro pun bercerita kalau di brazil akan agak sulit menemukan makanan halal, seperti di Gent, dan saya pun mengatakan, ikan dan sayuran akan selalu halal buat saya. Dia pun mengangguk mengerti.

Alessandro adalah yang termuda dengan usia 21 tahun, dia mengambil semacam sarjana teknik di KaHo Sint Lieven., dia tinggal 1 rumah dengan Edward dan kami semua sama-sama dipertemukan di kelas bahasa Belanda . Kembali ke menu, kami semua memesan makanan seperti sandwich yang ukurannya sangat besar, mungkin hampir mendekati 30 cm, berisi daging domba, salad dan juga saus tomat. Khusus untuk saya, tentu ditambah 1 buah green pepper besar agar pedasnya lebih terasa. Sulit sekali makan makanan itu karena saya harus menutup tangkupnya dan makan dalam sekali "hap.. nyam nyam nyam." yang saya dapat adalah isi sandwich saya keluar berserakan di tray.. waks. Untung sang pemilik kedai berbaik hati berinisiatif menata ulang susunan sandwich dan membungkusnya rapi dengan aluminium foil. Setelah berjibaku dengan roti besar itu selama 30 menit, saya menyerah, apalagi melihat Leandro dan Alessandro sudah selesai dan tampak menunggu. Saya pun membungkus kembali roti isi seharga 3,5 Euro itu dan memasukkannya ke tas.

Selesai makan, kami menyusuri jalanan sepanjang 2-3 km (!!) untuk mencari tempat yang bernama 'de kringwinkel'. Ini adalah toko barang bekas yang menjual aneka produk mulai dari furnitur, elektronik, perkakas dapur, perabotan, hiasan-hiasan rumah, mainan anak, buku-buku , sepatu dan juga garment (pakaian, kaus kaki, syal, bed sheet). Edward berniat ke tempat itu untuk membeli mainan anaknya, di Uganda. Dia bersemangat sekali menceritakan kalau di UK, toko semacam ini disebut charity shop, dengan harga yang fantastis murahnya dan meskipun bekas, kondisi barang masih amat layak.
Saya berencana mencari penyaring air, namun saya tidak menemukannya disana. Air kran di Eropa ini sebenarnya bisa langsung diminum tanpa harus dimasak. tapi saya agak kawatir dengan residu mineral seperti klorin, sehingga saya butuh alat untuk menyaringnya. Akhirnya saya membeli container (merk Tupperware, made in Belgium) dengan kondisi yang masih mulus dengan harga 2,5 Euro. Agak mahal memang, tapi saya ingat, di Indonesia saja, barang sejenis harganya bisa mencapai Rp. 80.000 per pieces jadi saya putuskan untuk mengambilnya. 

Perjalanan ke de kringwinkel itu sangat melelahkan, ditambah kondisi saya yang tidak terlalu fit karena sedang flu. Lelah karena selama 5 hari belakangan, sejak tiba dari Indonesia, saya tidak pernah meluangkan waktu panjang untuk beristirahat, dan waktu panjang itu saya pakai untuk jalan-jalan (dengan kaki). 

Perjalanan pertama saya ke Brussels bersama Lydia sebenarnya bertujuan untuk melihat Manneken Pis. Saya baca di internet kalau kota yang menarik untuk dikunjungi di belgia ini adalah Brussels dan Brugge. Akhirnya tanpa pikir panjang, kami langsung mencari cara menuju Brussels, tentunya dengan banyak bertanya pada orang lokal. Menuju stasiun Sint Pieters, Gent, kami menggunakan Tram, seperti bis kota, tapi berjalan di atas rel di dalam kota. Harga tiketnya 2 Euro bila membeli di atas bus, dan 8 Euro/10 trips bila membeli di toko koran. Saya dan Lydia sama-sama sudah memiliki kartu tram untuk 10 trip tadi sehingga kami hanya perlu memasukkannya ke dalam mesin di dalam tram dan otomatis saldo 8 euro di kartu tadi akan dikurangi.

Tiba di Sint Pieters, kami  tampak bingung membaca papan perjalanan kereta yang menggunakan bahasa Belanda. tapi kemudian kami tahu kalau 'Vertrek' itu artinya keberangkatan. Di sela kebingungan, seorang gadis Turki cantik berkerudung, kata Lydia mirip Anne Hathaway, menghampiri saya dan berkata "how can I help you" sambil menjabat tangan saya. Mungkin dia melihat saya juga memakai kerudung dan tampak kebingungan sehingga ia tergerak untuk menolong. Namanya Hacer Gonul, seorang Turkish namun berdomisili di China, dan sedang belajar di Gent University tapi saya lupa bertanya tentang program yang ia ambil. Dia pun mengarahkan kami ke platform tempat kereta ke Brussels akan berhenti. Hari itu dia juga berencana ke Brussels untuk mengunjungi teman. Kami bicara banyak, dan diapun bercerita tentang pengalamannya ke Perancis, Belanda, Jerman, serta kota-kota di dalam Belgia sendiri. Ia merekomendasikan untuk mengunjungi Belanda, tapi tidak demikian halnya dengan Paris, karena semuanya mahal dan sangat crowded. Untuk belanja, ia berkata Brussels lebih murah dibanding Ghent. Well, kalau begitu, kami menuju ke arah yang tepat. kami pun turun di Brussels Central sesuai petunjuk dari semua orang yang kami tanya, termasuk Hacer.

Perjalanan ke Brussels hari itu tidak membuat kami berhasil menemukan Manneken Pis ataupun Grand Place. Tapi kami berdua pulang dengan membawa sepasang sepatu boots baru dengan harga 10 Euro. Saya membeli  ankle boots yang tanpa hak, warna putih, sangat nyaman dipakai. Sepulang dari Brussels, kami berdua duduk di kursi-kursi yang kami kira adalah tempat pemberhentian tram yang akan menuju ke Rabot. Saat sedang serius menunggu tram yang tidak datang-datang di depan kami, seorang pria Turki yang wajahnya lebih dominan ke bule ( I bet, he is also Moslem) menghampiri saya dan menanyakan saya mau kemana. saya bilang ke Rabot, dan dia pun menjelaskan kalau tempat saya menunggu ini bukanlah jalur tram. Untuk naik tram saya harus menyeberang dan menunggu di sudut jalan, katanya sambil menunjuk satu arah. Astaga, kenapa saya begitu bodoh, sudah jelas di tempat saya menunggu ini tidak ada rel tram, tapi saya masih menunggu. Mungkin itu juga yang ada di benak pria tadi sebelum ia sengaja menghampiri saya dan menawarkan bantuan.

Dua hari setelah hari itu, kami berencana kembali menuju Brussels, kali ini untuk mengunjungi KBRI dan ikut berbuka puasa di sana. Buka puasa masih jam 20.30 pm, tapi kami sengaja berangkat dari Gent jam 11 siang. Di Sint Pieters, kami kembali bertemu dengan seorang wanita muslim berkerudung yang juga terlebih dahulu tersenyum pada saya. Dia membawa stroller dan gadis kecil berumur 15 bulan di dalamnya. Namanya Lina, seorang Afghan. Ketika sampai di platform atas, kami pun mendapai bahwa pintu kereta ke Brussels baru saja ditutup dan dalam beberapa detik kereta akan melaju. Yah.. kami pun harus pasrah menunggu hingga ke menit 57 ketika kereta berikutnya akan kembali datang. Lina tampak panik mendapati bahwa ia ketinggalan kereta. Ia bilang kalau ini kali pertama baginya ke Brussels mengunjungi sang paman dan sebelum ia pergi, ia sudah meminta pamannya memperkirakan waktu kedatangannya di Brussels dan menjemput di stasiun. Dengan tertinggal kereta, berarti semuanya akan kacau, apalagi cell phone miliknya tidak bisa digunakan. Melihatnya begitu panik, saya pun menawarkan diri meminjaminya ponsel saya (yang saat itu sudah saya ganti dari provider Proximus ke BASE, jadi tarif bicaranya lebih murah). Ia menerimanya dengan senang hati dan mulai menyalin nomor pamannya yang ada di kertas ke ponsel. Selesai bicara, ia berniat menbayar saya untuk pulsa yang telah ia pakai dengan pertimbangan bahwa kami sama-sama pelajar di perantauan. Saya bilang tidak perlu sungkan, saya ikhlas menolongnya.

                                                             Lina and her Lil daughter

Menunggu kereta hingga ke menit 57 membuat kami kembali duduk di ruang tunggu dan mengobrol disana. Saat sedang mengobrol, seorang gadis Maroko berkulit putih dengan rambut hitam ikal datang menghampiri saya dan langsung menyapa. "you're from Indonesia?" Ia terlihat antusias dan bersemangat sekali. Saat itu dia menghampiri sambil minum satu gelas kopi/cokelat panas (saya tidak yakin) dan ia pun tanpa diminta lagsung menjelaskan bahwa ia seorang muslim, tapi sedang datang bulan, jadi tidak berpuasa. Namanya Sarah, ia datang dengan setumpuk buku (seingat saya, itu buku-buku ekonomi). Ia bertanya banyak sekali, kenapa orang Indonesia tidak berbahasa Belanda padahal pernah dijajah, saya jawab kaum oma2 dan opa2 mungkin bisa, tapi untuk generasi sekarang lebih banyak yang mahir bahasa Inggris, saya juga cerita kalau setelah Belanda, Indonesia masih dijajah juga oleh jepang. Ia bertanya lagi, Indonesia jauh dari jazirah arab, tapi kenapa penduduknya banyak yang muslim. saya jawab, Islam masuk ke Indonesia melalui perdagangan di abad ke 11 (not really sure about that), dengan adanya kerajaan Samudera Pasai, pedagang muslim dari India dan Arab pun berdatangan dan mulai menyebarkan agama. Yah, setidaknya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaannya yang datang bertubi-tubi itu saya bisa menggambarkan negara saya Indonesia ini meskipun sedikit dan dengan wawasan saya yang terbatas. Sarah sangat talk-active, sehingga waktu menunggu kereta pun rasanya cepat sekali berlalu.
                                                                                                 
Well, dari cerita di atas, secara umum, kehidupan muslim di Belgia itu memang tidak dipandang sebelah mata. banyak komunitas muslim, kata guru bahasa belanda saya, Erik, di Brussels, dan mereka menggunakan bahasa Arab. Meski demikian, ia mengingatkan saya untuk berhati-hati, karena mungkin tidak semua orang punya pandangan yang sama terhadap kehidupan multikultural dan tentang saling menghargai satu sama lain. Meski sebenarnya tujuan dari beasiswa Erasmus Mundus itu sendiri adalah memberi kesempatan pada orang-orang dari berbagai penjulu dunia dengan kultur, ras dan agama berbeda untuk merasakan pendidikan berkualiatas di Eropa. Edward teman saya, seorang Ugandan berkulit hitam, ketika saya minta komentarnya tentang hal ini, mengatakan, "tanamkan di hati, kamu ada disini untuk gelar Master, jangan pedulikan yang lain, selama kamu tidak berbuat salah (ia menyebutnya misbehave) kamu tidak perlu kuatir"