Sunday, February 27, 2011 0 komentar By: shanti dwita

Kembali ke Eropa

Sepuluh hari berada di rumah hampir tidak terasa. Rabu, 15 Februari 2011, saya harus kembali ke Eropa. Tujuan saya adalah Dublin, bukan kembali ke Gent, karena dua mata kuliah, dairy science juga nutrition and public health akan saya ambil di Dublin. Saya lupakan sejenak meat science yang sudah saya tinggalkan toh melalui emailnya Prof. Paelinck mengatakan kalau saya bisa ikut ujian susulan sepulang saya dari Dublin. Beruntung memiliki dosen seperti dia, dia salah satu yang saya kagumi karena tutur katanya halus dan sosoknya sangat bijaksana, juga karena dia membuat panggilan baru atas nama saya, dia memanggil saya Dwita. 


Jam 11 siang saya berangkat dari rumah menuju ke bandara Raden Intan karena GA yg akan saya tumpangi dijadwalkan terbang jam 12.15 (meskipun ahirnya delay 30 menit). Saya diantar suami, ibu juga Adis setelah sebelumnya kami berempat  nyekar bersama di makam Bapak. Mawar,melati dan kenanga kami sebarkan di makam Bapak dengan penuh sayang, sambil memanjatkan doa agar Bapak dilapangkan jalannya menuju surga. InsyaAllah, kami semua tenang, karena Bapak orang baik dan jujur, sebuah sikap yang suami saya bilang, akan selalu ia teladani dari Beliau. 


Berat rasanya meninggalkan rumah, meninggalkan orang-orang tersayang untuk kembali belajar di negeri yang jauhnya ribuah mil. Tapi saya harus berangkat, karena saya tahu, Bapak selalu mengharapkan keberhasilan saya. Beliau tidak akan suka jika saya bermalas-malasan dan merajuk. Saya akan berangkat, mencoba menenangkan diri bahwa Ibu akan selalu tegar seperti sikap yang selama ini selalu Ibu tunjukkan di hadapan kami, anak-anaknya. Saya anak Ibu yang terakhir pulang meninggalkan rumah, dan saya tahu rumah akan benar-benar kembali senyap. Saya tak tega, itu yang membuat saya menangis saat menelfon Ibu dari boarding room Soekarno Hatta. Entah mengapa saya menjadi melankolis, karena sebelumnya saya jarang mengkhawatirkan Ibu saya yang selama ini terkesan sulit direngkuh karena beliau pribadi yang kuat. Saya menangis saja, saya biarkan ibu saya tahu kalau saya khawatir, meski saya tahu, ibu paling tidak suka melihat saya menangis. Seperti kejadian saat saya pertama kali menginjakkan kaki di rumah 9 hari sebelumnya. Mata saya masih basah karena dari bandara, saya langsung ke makam Bapak, baru ke rumah, dan begitu melihat Ibu, saya tak tahan untuk berurai air mata. Ibu yang tadinya tenang menyambut saya jadi ikut menangis, padahal suami saya bilang, Ibu selalu tegar dan tak pernah terlihat menangis lagi, bahakan di pemakaman. Benar dugaannya, setegar apapun hati ibu saya, pasti akan rontok jika mendengar anaknya menangis. Saya pun ingin berjanji, tak ingin menangis lagi.


Jam 6 sore saya berada di kabin pesawat, mendapat  kursi di dekat jendela. Saya pun berniat untuk menjamak sholat Maghrib di waktu Isya dan akan melakukannya saat saya transit di Abu Dhabi, ibu kota Negara yang maskapai nasionalnya saya tumpangi. EY 471 pun lepas landas, segera merangkak ke atas langit, semakin tinggi hingga saya lihat di layar, suhu udara di luar mencapai minus 50 derajat. Di sebelah saya duduk seorang laki-laki, dari Indonesia juga, namun saya tidak dalam mood yang baik untuk berbasa-basi bertegur sapa. Tidak ada dialog apapun, namun akhirnya saya tahu bahwa dia akan ke Paris saat melihatnya pindah ke Gate 32 di Abu Dhabi, sementara saya di Gate 33, pindah ke EY45 yang akan membawa saya lebih jauh menuju Dublin. 


Saya berencana mengetik tulisan dengan netbook yang sudah saya turunkan dari kabin. Tulisan tentang lingkungan yang akan saya ikutkan di sebuah blog writing contest yang deadlinenya tinggal menghitung hari. Namun otak saya buntu, tak ada sebaris kalimatpun pun untuk dituliskan meski ide rasaya sudah penuh melayang-layang di angan saya. Ah, saya relakan juga akhirnya kesempatan mengirim karya tulis, apa boleh buat, saya sedang tidak mood. Netbook itu pun akhirnya hanya menjadi penghuni  tempat majalah di bawah folding table saya tanpa sempat di sentuh. Mengisi waktu luang dan menepis kebosanan di perjalanan panjang selama hampir 20 jam, saya menonton Salt-nya Angelina Jolie juga Inception. Sisa waktu lainnya saya pakai untuk tidur dan makan.


Kamis 16 Februari jam 7 pagi, pesawat mendarat di Dublin. Saya hanya bisa menatap siluet kota Dublin melalui lampu-lampu kota yang masih menyala di penghujung malam. Jam 6 pagi di Dublin sama pekatnya seperti jam 5 pagi di Indonesia. Setelah mengambil bagasi, menyelesaikan pengecekan imigrasi dan bersih-bersih di toilet, saya segera mencari pintu keluar dari labirin Dublin International airport (DUB) yang cukup besar. Dublin tidak dingin seperti yang saya angankan, meski saya baru saja datang dari negara tropis dengan suhu 30 derajat celcius. Tentu saya tidak merasa dingin, karena saya mengenakan duvet coat yang tebal, plus sweater juga shawl.  Langit pagi Dublin saat itu begitu berkabut, mungkin jarak pandang hanya 200an meter. Tanahnya juga basah, mungkin semalam hujan turun dan menyisakan kabut serta lembab, namun begitu, saya menikmatinya, meski tak banyak berharap bahwa kota ini akan senyaman Gent. Harapan saya saat itu hanya satu, menemukan teman-teman saya di kampus. Beruntung, karena saat transit di Abu Dhabi, saya sempat browsing jalur bis juga rute yang harus saya tempuh untuk menuju ke kampus DIT (Dublin Institute of Technology) di Kevin Street, tempat saya akan belajar. Saya memutuskan untuk langsung ke kampus dengan backpack juga koper saya, karena di Dublin, saya memang homeless, belum sempat mencari akomodasi apapun untuk saya tinggali. Tujuan saya hanya kampus, karena menurut jadwal yang dikirimkan teman saya via email, akan ada kuliah di hari Kamis jam 10 di ruang G29. 


Sesuai instruksi yang ada di Dublin Bus website, saya menunggu bis 16A dari halte yang berjarak 200 meter dari pintu exit bandara. Di setiap penunjuk arah, terdapat dua bahasa yang digunakan, yaitu Inggris dan juga Irish. Bahasa Irish terasa sangat asing, tidak ada mirip-miripnya dengan bahasa Inggris, seperti halnya bahasa besar lain : France, Spanish dan Portuguese or even Dutch yang sering saya dengar. yang, dan akan turun di Augnier street. Dari Augnier street, google maps menyarankan saya untuk berjalan kaki 200 meter menuju Kevin street. Saya benar-benar buta Dublin, tapi saya tak perduli, saya tidak akan kesasar karena saya percaya tubuh saya punya GPS. Di Dalam bus 16A, saya bertanya pada wanita yang berdiri di sebelah saya, apakan Augnier street masih jauh, karena menurut bus router, waktu tempuh dari airport ke city center adalah sekitar 40 menit. Rupanya, seorang lelaki berumur 60an yang duduk di belakang saya tertarik dengan pembicaraan saya, dan mulai menimpali, juga dua lansia yang duduk di arah barat laut dari tempat saya duduk. Mereka semua berkata bahwa Augnier street hanya beberapa stop dari O’Connel Street, pusat kota Dublin. Lelaki yang di belakang saya, ia menunjukkan ID card-nya juga nomor telefonnya, namanya Gerard. Saya bilang padanya ini hari pertama saya di Dublin setelah perjalanan panjang dari Indonesia. Kami pun ngobrol, dia bercerita kalau semasa mudanya dia bekerja untuk misi perdamaian PBB dan sering dikirim ke daerah konflik seperti Libanon dan Rwanda. Banyak bekas luka tembak dan dia mengeluhkan losing memory yang dideritanya saat ini. Dia bertanya apakah saya Moslem Syiah atau Sunni, saya jawab, saya tidak tahu apa bedanya Syiah dan Sunni, yang saya tahu saya hanya Islam. Memang parah pemahaman sejarah islam saya, meski rasanya suami saya sudah beberapa kali menjelaskan perbedaan mendasar syiah dan sunni, tapi tetap saja tidak ada yang nyangkut di kepala saya. Gerard sangat ramah, wawasannya luas, mungkin memang benar ceritanya tentang misi perdamaian PBB itu. Kami berpisah di O connel street saat ia dan sebagian penumpang lainnya turun. Sebelum turun, dia memberikan nomor telefonnya, just in case saya perlu bantuan, karena ini hari pertama saya datang ke Dublin. Dia mengetuk jendela bis tingkat kuning yang saya naiki sambil melambaikan tangan. Nomor telefonnya hingga kini ada di buku notes biru kuning berlogo Uni Eropa yang selalu saya bawa kemana-mana, namun tidak sekalipun saya coba untuk mengontaknya. Ada rasa cemas, apa benar ia orang baik, meskipun tidak baik rasanya bersuudzon pada orang. Saya jadi teringat Mr. Eddy Murphy yang saya temui di Vrijdag markt, Gent. Ia orang baik, meski baru sekali bertemu dan langsung bertukar nomor telefon. Yah, mungkin suatu saat saya akan mengontak Mr. Gerard dan bertemu dengannya sekali sebelum saya kembali ke Gent. 


Jam 9.20 saya tiba di Augnier street, itupun setelah saya berkata pada supir untuk mengingatkan saya saat bus akan berhenti. Saya tidak ingin kesasar karena kuliah sebentar lagi dimulai. Saya tidak ingin ketinggalan lagi kuliah hari ini, karena pasti sulit mengejar ketertinggalan setelah beberapa hari tidak masuk kuliah dan karena biasanya minggu pertama setiap modul pasti full materi. Setelah bertanya sana-sini dan wara wiri bersama koper merah yang untungnya tidak besar, hanya seukuran kabin, saya tiba di bangunan yang katanya adalah DIT Kevin Street. Sebelumnya saat saya bertanya, saya ditunjukkan ke DIT juga, namun bagian rektorat dan pusat administrasi yang ada di Augnier street. Saya segera masuk dan bertanya pada security, dimana ruang G29 karena saya akan ada kuliah di ruang tersebut dengan Prof. Mulvaney. Karena benar-benar buta, saya kembali bertanya pada seorang pegawai disana, besar kemungkinan dia juga seorang dosen di DIT. Dia mengantar saya mencari-cari ruang G29 tapi tidak ketemu karena saya bilang G29 adalah ruang kuliah, sementara ruang kuliah yang ada adalah A29. Dia pun mengajak saya kembali ke depan, sambil bertanya apakah ini hari pertama saya di DIT, mungkin karena dia melihat saya membawa-bawa koper. Saya katakan ya. Dan untunglah, di ujung koridaor saya melihat teman saya Edward, saya pun memanggilnya setelah mengucapkan terimakasih pada Bapak-bapak yang menolong saya mencari G29 tadi. Ternyata, G29 bukanlah ruang kuliah, pantas saja saya tidak berhasil menemukannya. G29 adalah laboratorium food processing yang didalamnya terdapat sederetan kursi dan selalu dipakai Prof. Mulvaney untuk memberikan kuliah pada mahasiswa Erasmus program. 


Prof. Mulvaney, yang akrab dipanggil Michel atau Mike saja merupakan pribadi yang ramah, despite of his irish accent yang susah saya tangkap. Rasanya perlu waktu lebih bagi telinga saya untuk merasa familiar dengan logat Irish. Mike berkata “you’re very welcome to our dairy class”. Mungkin Mike telah mendengar alasan mengapa saya terlambat datang. Dia pun berempati dan menanyakan sedikit tentang bapak saya. Saya katakan beliau meninggal karena kanker dengan suara yang agak trembling, yah, hari pertama di Dublin saat otak dan pikiran saya masih penuh berada di Indonesia.

mengenang Bapak


Tempat pertama yang saya datangi begitu menginjakkan kaki di Bandar Lampung  adalah makam Bapak. Saya tidak pulang ke rumah, masih dengan sepatu kets juga jaket tebal yang akhirnya saya tanggalkan, saya menuju kesana. Melihat makam merah dengan bunga-bunga bertebaran dan pasak kayu yang bertuliskan nama Bapak, saya merasa begitu terlambat. Saya tidak pernah lagi melihat Bapak setelah 31 Agustus jam 2 siang saat saya meninggalkan Cempaka Putih menuju Cengkareng dan kemudian terbang ke Belgia. Saat itu Bapak tidak ikut mengantar, karena baru pulang dari kemoterapi yang kesekian kalinya di RSCM. Saya masih ingat kaos yang dipakai Bapak hari itu, polo shirt putih dengan stripes abu-abu dan tidak pernah menyangka bahwa itu kali terakhir saya mencium tangan Bapak. Ada perasaan yang tak tergambar saat melihat kayu dengan nama Bapak yang terpahat disana, seolah memaksa saya untuk sadar bahwa bapak telah pergi, pindah ke alam lain yang lebih abadi. Meski hingga sekarang saya merasa Bapak masih ada, karena saya memamng tidak pernah meliat Beliau koma di rumah sakit, tidak melihat bagaimana beliau wafat, dan tidak mengantarkan saat beliau diberangkatkan ke tempat peraduannya yang terakhir. Saya hanya mendengar dari ibu mertua saya kalau wajah Bapak bersih saat berpulang, dan saya tidak bisa membayangkan bagaimana wajah bersih itu, karena di angan saya, hanya ada wajah Bapak semasa Beliau hidup. 


Mengenang beliau seperti nostalgia. 22 Februari 2011 semestinya menjadi hari ulang tahun beliau yang ke 62. Saya tidak pernah melakukan apa-apa di 22 Februari, hanya ingat, ketika 22 Februari 2006 saya diwisuda di IPB dan didaulat untuk memperikan kata sambutan mewakili wisudawan di auditorium FPIK, saya bilang, kelulusan saya saya persembahkan untuk Bapak saya yang hari ini sedang berulang tahun. Mungkin itu hal manis yang sempat saya utarakan, diikuti tepuk tangan dari teman-teman yang ada disana. Harusnya, lebih banyak lagi hal baik yang saya lakukan untuk membanggakan hati Bapak, karena saya tau, dibalik diamnya, Bapak sangat memperhatikan anak-anaknya. Meski tidak pernah ada kata pujian untuk setiap keberhasilan kecil yang saya buat di bangku sekolah, tapi saya tau Bapak senang. Ingat saat saya mendapat hadiah di SD dulu karena nilai matematika di NEM saya mencapai batas atas, 10.00, Bapak dipanggil maju ke depan, bersama beberapa orang tua lain yang anaknya juga mendapat nilai 10.00, orang tua lain langsung mencium anaknya, tapi tidak dengan Bapak saya. Beliau santai saja, tapi saya yakin, beliau pasti bangga. 


Bapak saya, saat muda, suka makan enak. Dan entah kenapa, saya yang paling sering diajak saat makan diluar. Mulai dari makanan Padang hingga gulai dan tongseng, semua Beliau suka. Hobby makan ini juga yang akhirnya menurun ke saya, karena sejak kecil, saya selalu bersaing makan banyak dengan Bapak, dengan porsi yang sebesar porsi beliau. Hingga sekarang, semua teman yang kenal dekat dengan saya pasti tau kalau saya pemakan segala. Pernah saya dijuluki Recycle Bin sewaktu kuliah, karena daya tampung perut saya seolah unlimited untuk menampung kelebihan porsi di piring teman-teman saya. Ya, mungki sulit dipercaya, karena badan saya tidak besar untuk ukuran orang yang doyan makan. Namun sejak mendalami makanan di bangku kuliah, saya menjadi lebih selektif (kadang-kadang). Bertahun-tahun saya berusaha mengurangi gula, karena mbah putri saya (alm) menderita diabetes, dan konon, diabetes diturunkan ke generasi lanjut, meski hingga sekarang setiap saya memeriksa gula darah, hasilnya selalu normal, sekitar 80-90. Bapak saya juga, setahun terakhir dinyatakan mengidap diabetes, namun itu lebih sebagai efek samping dari rusaknya pancreas Bapak yang digerogoti kanker. Mbah putri saya pun akhirnya meninggal karena kanker nasofaring. Berdasarkan riwayat keluarga yang seperti itu, ibu saya meminta saya untuk berhati-hati memilih makanan. Namun saya tak takut, kalupun nantinya saya sakit, ya, itu sudah karena takdir, meskipun saya tetap menjaga agar saya tidak sakit. 


Nostalgia lain, ada, tentang catur, bulutangkis dan juga karate. Sejak kecil sudah tampak bahwa saya berbakat untuk tomboy. Suka memanjat pohon dan main di sawah dengan teman-teman kakak saya. Karenanya saat saya bertanya tentang ekskul apa yang akan saya pilih di SMP, Bapak bilang, saya ikut karate saja. Saya langsung diajak ke toko Sabang di Raden Intan, dibelikan baju karate. Saat teman-teman dekat saya yang ikut ekskul tari bersiap pulang ke rumah, saya sibuk disuruh lari keliling lapangan sepulang sekolah jam 4 sore untuk pemanasan sebelum latihan. Ah, tak ada teman dekat yang mau ikut karate, tapi, saya jalani juga ekskul itu selama setahun sebelum akhirnya saya bosan dan pindah ke ekskul lain. Saat ujian kenaikan tingkat di GOR wayhalim yang membuat kulit saya mengelupas karna terbakar matahari dari pagi hingga sore, bapak juga menunggui saya, meski tidak sepanjang hari. Setelah ujian itulah, saya menyatakan berhenti dari karate, saatnya belajar karena di kelas 2 SMP saya ditawari untuk ikut aktifitas yang lebih ilmiah dan nerdy.  Untuk catur dan bulutangkis, sejak SD bapak mengajari saya 2 olahraga ini. Saya sering tanding melawan Bapak dan menang, meski saya tau, Bapak pasti pura-pura kalah, tapi seringnya saya yang kalah dalam 2-3 langkah dan dipaksa memutar otak agar tidak kalah dan tidak salah dalam menggerakkan bidak catur. Saya suka dua olahraga ini, dan hingga sekarang, rasanya saya masih punya partner untuk berlatih, yaitu dengan suami saya. 


 Suami juga anak saya, sedikit-sedikit membawa perubahan di rumah Bapak yang sempat senyap, karena anak-anak Bapak tidak ada yang tinggal di Bandar Lampung. Dia suka mengobrol, Bapak juga suka mengobrol, meskipun dengan saya Beliau tidak membicarakan masalah politik, olahraga, bengkel, mobil, ikan dan hal-hal yang saya tidak paham. Dengan suami saya, Beliau mengobrol banyak, dan saya senang melihat Bapak tidak kesepian karena punya teman bicara. Anak saya Adis, sangat lengket dengan Bapak, selalu ingin pergi dengan Bapak, tidur dengan Bapak. Semuanya. Ke bengkel, ke bank, ke sekolah, bahkan saat bapak belum pensiun, Adis sering diajak Bapak ke tempat kerjanya. Hingga akhirnya penghujung 2009, bapak sakit dan lebih sering berada di Jakarta untuk berobat. Adis mulai terbiasa dengan ketiadaan yang kung-nya. Hal menyedihkan yang saya dengar adalah, saat Bapak wafat, dan Adis mulai tahu apa artinya meninggal, Adis berkata “Ayah, kenapa dokter di Jakarta jahat, Yang kung meninggal, nggak kaya dokter di Lampung yang baik”. Mungkin si kecil itu berfikir, selama Bapak keluar masuk RS di Lampung, Bapak selalu pulang, namun saat di rawat di Jakarta, Bapak tidak pulang lagi. Adis kecil ikut berjalan kaki mengantarkan jasad bapak ke pemakaman. Sepulang dari pemakaman, menurut cerita ibu mertua saya, Adis menatap kamar bapak, dan bilang kalau ia mau tidur disana. Ada dialog yang saya lupa namun seingat saya, ibu bilang, perkataan Adis sepulang dari pemakaman membuat orang yang mendengarnya terenyuh. 


Di ruang sholat, saya masih melihat koper Bapak yang baru di pakai saat menunaikan ibadah haji di penghujung 2010. Ada baju putih yang sengaja di beli seragam dengan Adis sebagai oleh-oleh dari tanah suci. Rencananya, baju yang kembar itu akan mereka pakai saat pergi Jumatan, karena Adis memang sering diajak Bapak ke Masjid setiap Jumat. Namun rencana tinggallah rencana, baju puti milik Bapak tidak pernah terpakai karena sepulang haji, kondisi Bapak drop setelah melewatkan rangkaian kemoterapi selama beberapa bulan. Melaksanakan ibadah haji untuk seorang dengan kanker stadium 4 adalah berkah dari Allah, dan selama beberapa bulan, Bapak lebih merelakan kemoterapinya terputus daripada membuang kesempatan untuk menunda berhaji tahun lalu. Dan keputusan itu memang benar adanya, karena umur Beliau memang tidak pernah sampai untuk musim haji 2011.
Saturday, February 26, 2011 5 komentar By: shanti dwita

6 Februari 2011


Perjalanan panjang Brussels-Jakarta 6-7 februari belum lagi selesai. Saya duduk di kursi besi bandara soekarno hatta, menunggu pagi tiba, saat pesawat yang akan membawa saya ke Bandar Lampung dijadwalkan terbang. Cemas pasti saya rasakan, ini kali pertama saya tidur di bandara di Indonesia, sebelumnya saya tidur di Charleroi, Belgia dan aman, karena memang bandara itu hidup 24 jam. Terpikir betapa was-wasnya tidur di sini, tapi saya tak punya pilihan lain. Pesawat SQ966 yang membawa saya dari Changi, Singapura, baru landing jam 8 malam. Saya cek di counter Garuda, pesawat ke Bandar Lampung terakhir terbang jam 5 sore. Sambil menunggu pagi, saya membuka laptop dan mulai mengingat apa yang saya alami hingga saya kembali pulang menghirup udara di tanah air.

Minggu 6 februari cuaca gent lumayan hangat, 10 derajat, bukan -4 seperti hari-hari sebelumnya. Saya terbangun jam 5 pagi, saat alarm berbunyi menyuruh saya bangun. Agak blank karena saya baru tidur jam 3, hanya 2 jam, itu pun bukan karena saya mengantuk, namun lebih untuk menjaga kondisi agar tidak tumbang, karena saya tahu, saya harus terus terjaga sepanjang hari untuk menyelesaikan paper juga presentasi, sekaligus belajar untuk ujian dadakan di hari Senin, sesuai rencana saya. Saya memang berniat pulang Selasa pagi, setelah berhari-hari menangis sendirian di kamar membayangkan Bapak yang kondisinya semakin memburuk di Cipto.

Kepanikan itu dimulai Jumat siang CET (central Europe time), sepulang kuliah. Seperti biasa saya menelfon suami, anak, ibu dan bapak saya untuk menanyakan kabar. Tapi sore itu, ponsel ibu juga bapak tidak bisa dihubungi, akhirnya saya hanya mendengar berita dari suami, kalau siang tadi dengan nada panik ibu saya menelfon bu nuning, ibu mertua saya, minta ditemani karena nafas Bapak tersendat. Saya yang sudah seumur hidup menjadi anak ibu tentu tahu kalau ibu saya yang tenang dan tegar, tak akan pernah tergetar suaranya, jika tidak dalam kondisi benar-benar takut. Entah kenapa saya benar-benar merasa sakit dan tak henti menangis saat mendengar ibu saya cemas. Ini pasti sesuatu yang besar, ini bukan hal biasa yang bisa saya kesampingkan. Saya shock, karena paginya (tengah malam CET), saya masih bicara dengan Bapak, meskipun di setiap pembicaraan suara saya selalu bergetar dan mata saya selalu basah, berkata bahwa Bapak pasti akan sembuh dan berkumpul lagi dengan saya di rumah, seselesainya saya dari kuliah di Eropa. Jumat itu rasanya air mata saya hampir habis, hingga saya tidur dan bangun dengan mata bengkak di Sabtu dini hari. Saya sadar bahwa saya harus pulang. Untuk bisa pulang, tentunya saya harus segera mengerjakan semua tugas yang deadlinenya masih 9 hari kedepan, menghubungi Prof. Paelinck agar saya bisa ujian di hari Senin, bukan di hari Kamis seperti yang telah dijadwalkan, juga menyelesaikan presentasi  tentang meat tenderization.

Sabtu dini hari CET, pagi waktu Indonesia, Bapak sedang sarapan, tidak mau bicara dengan saya, masuk akal, karena mungkin Beliau tidak mau mendengar saya menangis sesenggukan di telfon, ah, saya menyesal menjadi anak yang begitu cengeng. Tapi saya cukup tenang karena ibu bilang, pagi itu Bapak terlihat lebih baik dari kemarin. Saya pun tenang mengerjakan tugas dan mendoktrin otak saya dengan kata-kata “HARUS SELESAI”. Saya tidak tidur, masih di depan netbook, hingga malam, sambil terus berkontak dengan keluarga, juga sambil membaca jurnal, mengetik paper, menyunting, mengedit..aaahh…otak saya panas, namun, ya… HARUS SELESAI. Sekitar Isya CET, Mas Aji, kakak saya mengirimkan pesan lewat sms, minta saya berdoa karena Bapak demam tinggi dan tidak sadarkan diri, harus segera dipindahkan ke ICU. Saya benar-benar panik dan minta suami saya untuk segera berangkat ke Jakarta dini hari itu juga. Disaat yang sama, saya juga segera menghubungi Prof. Paelinck via email, berkata bahwa saya ingin ujian Senin pagi, hingga Selasa-nya saya bisa pulang ke Indonesia untuk menengok Bapak. Saya begadang malam itu, teman-teman di flat yang tahu kondisi saya ikut menemani juga menenangkan, mereka berkata, Bapak akan baik-baik saja. Jam 1 pagi CET, 7 pagi di Indonesia, saya bicara dengan Ibu saya, suaranya tenang, menyarankan saya sholat, berdoa dan membaca Yasin.. tangis saya pun berhenti mendengar suara Ibu yang tenang, saya percaya Bapak akan membaik lagi pagi ini, saya bilang pada Ibu saya, Bapak harus tunggu saya, saya akan pulang hari Selasa dan menengok Bapak. Saya kemudian kembali mengerjakan tugas hingga jam 3 pagi CET (9 pagi WIB), saat saya sadar, saya belum tidur seketika-pun selama 22 jam terakhir.. Saya pun berusaha menutup mata sebentar, hingga beberapa menit kemudian saya benar-benar terlelap..

RS. Cipto Mangunkusumo, cerita ibu dan ibu nuning
Sebenarnya sejak hari Kamis, Bapak sudah minta pulang ke Lampung. Tidak ingin pindah ke RSUP. Sardjito di Jogja yang hampir selengkap RSCM  dan dikelilingi keluarga dekat, hanya ingin pulang ke Lampung, karena disanalah rumah Bapak. Ibu, suami saya, dan mas saya bilang, Iya, Bapak boleh pulang ke Lampung kalau sudah bisa duduk. Mata saya berkaca-kaca saat ibu nuning bilang, melihat Bapak berjuang keras di tempat tidurnya untuk bisa duduk, demi bisa pulang ke Lampung. Ahh, sebegitu besarnya keinginan untuk pulang, hingga suami saya selalu menenangkan saya saat saya cemas dan takut “Bapak pasti sembuh yang, kamu ngga usah takut, keinginan sembuh Bapak itu masih besar”, katanya. Dan suami saya  memang benar-benar meresapi kalimatnya sendiri, dia begitu optimistis, seoptimis saat dia menyetir Lampung-Jakarta mengantarkan Bapak untuk dirawat di Cipto pertengahan Januari saat beliau mengeluhkan pinggang dan lehernya yang sakit. Dia fikir, Bapak pasti akan pulang, seperti kunjungan rawat inap sebelum-sebelumnya. Begitu optimis, sehingga ia selalu bilang ke ibu saya, ia akan datang, menjemput Bapak dan pulang ke  Lampung.

Sabtu pagi, selesai sarapan, suami saya menelfon Bapak (setelah sebelumnya saya menelfon dari Belgia tapi bapak tidak bicara). Ibu nuning bilang, suara Bapak lantang saat bicara dengan Adis, sama sekali tidak terdengar lemah. Adis bertanya “Eyang kung udah makan? Makan yang banyak ya yang kung..”“Sudah, Tatam (panggilan Bapak untuk Adis) juga makan yang banyak ya, biar sehat..” kata Bapak.. Makin lama suara Bapak makin lemah, dan ponsel itu pun diletakkan begitu saja di meja, mungkin semua tenaga beliau sudah dipakai untuk bicara dengan Adis di telefon.. Sejak itu, Bapak tidak bicara banyak. Adis orang terakhir yang diajak bicara dengan jelas sama Bapak.

Sabtu malam, Bapak panas tinggi dan nafasnya tersendat. Kanker pancreas yang diderita bapak telah menyebar ke tulang, hingga beliau tidak bisa duduk di tempat tidur selama seminggu terakhir, dan sejak Jumat, paru-paru Bapak sudah mulai terinfeksi dan dipenuhi cairan. Ibu dengan sabar mengompres Bapak yang malam itu demam tinggi. Dokter menyarankan Bapak dipindah ke ICU, namun ICU di Cipto penuh, hingga harus mencari opsi ke rumah sakit lain di Jakarta. Sementara, semua peralatan yang diperlukan dipindahkan ke ruangan Bapak di kelas 1, namun tidak ada ventilator. Untuk membantu pernafasan, digunakan bulb yang saya sendiri tidak tau bagaimana bentuknya. Sepanjang malam, Ibu dan Mas saya bergantian mengoperasikan bulb untuk membantu nafas Bapak. Bapak tidak juga sadarkan diri hingga pagi, dan dokter pun memanggil Ibu dan Mas Aji, sememntara bu nuning menggantikan memompa nafas Bapak. Dokter berkata, semua keputusan ada di tangan keluarga, apakah Bapak akan terus “dipaksa” bertahan dengan bantuan alat, atau diikhlaskan sesuai kemampuan fisik Bapak, karena memang sudah tidak ada peluang untuk membaik. Bu nuning yang tengah memompa nafas Bapak melihat Ibu dan Mas Aji menangis setelah bicara dengan dokter, tanpa tahu apa-apa. Ia terus memompa hingga dokter mendekat dan mulai melepaskan semua alat yang menempel di tubuh Bapak. Dan saat itulah, Minggu jam 9 pagi WIB, 3 dini hari CET, Bapak berulang ke Rahmatullah, benar-benar di saat yang sama ketika saya menutup mata untuk tidur sejenak di kamar kost saya di Gasmeterlaan.

Jam 5 pagi saya bangun dengan sejumlah pesan muncul di layar netbook saya yang masih menyala, dari suami saya yang intinya, saya harus segera pulang. Belum sempat membaca semua pesan, ia pun menelfon, hati saya menduga-duga sepanjang pembicaraan, hingga akhirnya tangisnya pecah dan berkata bahwa Bapak sudah nggak ada. Hati saya pilu, lalu berubah seperti mati rasa dengan otak yang kosong. Ia dalam perjalanan pulang kembali ke Lampung untuk menyiapkan pemakaman Bapak, berdua dengan Adis. Mobil yang ia bawa dengan niat menjemput Bapak yang memang ingin pulang ke Lampung, akhirnya pulang tanpa membawa apa-apa. Keoptimisannya buyar, angan-angannya sebatas khayalan, Bapak tidak pernah pulang kembali ke rumah.
Saya menelfon ibu saya, menangis, ibu saya suaranya tetap tenang. Tidak meminta saya pulang sama sekali, hanya minta saya untuk berdoa dan mengatakan kalau Bapak sudah ada di tempat yang terbaik di sana. Seperti inikah harusnya menjadi sosok ibu, berusaha tegar dan menenangkan tangis anak-anaknya? Saya tak yakin kalau saya mampu begitu. Kelamaan, saya merasa ibu saya tak tahan mendengarkan saya menangis, lalu ia berkata, “mau ngomong sama bu nuning?” tapi saya dengar ibu nuning juga nggak mau bicara dengan saya. Akhirnya pembicaraan terputus. Benar kata suami saya, sekuat dan setegar-tegarnya ibu saya, jika didengarkan pada tangis anaknya, ia akan kembali rapuh. Maka ia minta saya untuk tak lagi menangis di depan ibu saya, kelak ketika saya tiba di Indonesia.

Hari minggu itu, saya kembali ke Indonesia. Saya diantar oleh Sajid dan Dwi hingga ke Brussels airport, hingga saya tak punya waktu untuk menangis di jalan, meskipun di kereta air mata saya beberapa kali menetes meski sudah saya tahan sebisa mungkin. Perjalanan panjang yang menguras airmata, saya tak peduli dengan teman sebangku yang melihat saya menangis menghadap keluar jendela Lufthansa yang membawa saya terbang dari Brussels menuju Frankfurt. Juga tidak peduli keramaian saat mata saya kembali basah di Terminal 2 Changi airport. Saya hanya merasa terlalu sedih, karena tidak akan pernah lagi melihat Bapak. Bapak sudah dimakamkan Senin pagi, di saat yang sama saya berada ribuan meter diatas langit Turki. hati saya miris saat melihat layar navigasi di SQ yang menunjukkan peta Asia Tenggara dengan warna terang sedangkan belahan bumi Eropa dengan warna gelap. Sudah pagi di Indonesia, Bapak pasti sudah diberangkatkan. Saya sadar, saya tidak perlu ditunggu untuk apapun. Bapak tidak perlu menunggu untuk dimakamkan, Malaikat tidak perlu menunggu saya hingga hari Rabu atau Kamis untuk memanggil Bapak kembali pada Allah, juga tidak perlu menunggu hingga saya pulang membawa gelar MSc. Ini adalah moment terbaik, karena Bapak telah terlepas dari sakitnya, yang telah Beliau lalui bertahun-tahun dengan rasa sabar tanpa pernah merasa lelah, apalagi berkeluh kesah. Selamat jalan Bapak, saya tetap anak kesayangan Bapak dan akan tetap jadi anak kesayangan. Mohon maafkan semua kesalahan, saya yakin Bapak akan melihat dan mendengar saya dari alam sana.