Friday, November 18, 2011 By: shanti dwita

Durbuy : The smallest town in the world

Hari Jumat di akhir Oktober saya chatting dengan beberapa teman di Gent lewat Facebook inbox. Yah, sejak tinggal di Mechelen, saya selalu komunikasi dengan teman-teman pelajar Indonesia di Gent lewat Fb, mailing list atau sms. Akan terasa menyenangkan jika di Mechelen ada mahasiswa Indonesia juga, tapi rasanya saya hanya sendiri di kota ini, satu-satunya warga Indonesia yang pernah saya temui adalah Bu Aik. Pertemuan dengan beliau juga terjadi secara kebetulan saat kami sama-sama menunggu bus di halte Veemarkt. Pagi itu saya hendak menuju tempat magang saya di Sint-Katelijne Waver, 6km dari Mechelen. Bu Aik menuliskan alamat dan nomor telefonnya di tissue dengan terburu-buru karena bis nomor 7 yang ditunggunya datang. Sejak itu kami belum pernah bertemu lagi, mungkin saya harus segera menyusun agenda weekend saya untuk menyempatkan main ke rumah bu Aik. Selama ini setiap weekend saya selalu plesir, seringnya ke Gent dan Brussels, jarang sekali berada di Mechelen.

Ngomong-ngomong soal plesir, dalam chat saya dengan teman di Gent, saya akhirnya memutuskan untuk nimbrung dengan group mahasiswa Food Tech – VLIR di Universiteit Gent yang berencana mengunjungi Durbuy. Sebenarnya ada rencana juga untuk main ke Lille, Prancis esok Sabtunya, tapi saya batalkan karena saya rasa trip ke Durbuy tampak lebih promising. Saya sama sekali tidak pernah dengar tentang Durbuy sebelumnya, hingga teman saya bilang bahwa Durbuy adalah the world’s smallest city. Setelah Googling, dan melihat gambar sudut-sudut kota Durbuy di internet, saya tertarik juga, dan langsung memutuskan untuk ikut.

Sabtu siang jam 10 saya tiba di Sint Pieters, mampir sebentar ke tempat tinggal lama saya di Gent untuk mengambil surat, karena alamat residence card juga bank account saya masih menggunakan alamat lama. Jam 11.00 saya kembali ke Sint Pieters, bertemu dengan dua teman Indonesia dan satu teman program VLIR dari Filipina. Kami menumpang kereta IC jurusan Eupen dan berhenti di Liege sambil menunggu kereta lain yang akan membawa kami ke Barvaux, stasiun SNCB terdekat dari Durbuy.  Mungkin hari itu kami kurang beruntung. Kereta yang menuju Barvaux hanya lewat dua jam sekali dan yang terakhir baru saja lewat. Waktu yang cukup panjang untuk menunggu kereta yang baru akan datang pukul 2.15 saya habiskan dengan duduk di kedai kebab yang ada di seberang stasiun Liege. Sebenarnya saya tidak lapar, tapi saya ingin numpang sholat disana, karena paling tidak, penjualnya kan orang Turki, dia pasti akan maklum jika melihat perempuan muslim seperti saya sholat di salah satu bangku di kedainya. Selesai memesan durum kebab (saya nggak suka kebab dengan roti), saya ke toilet untuk wudhu dan segera duduk di pojok kedai agar tak mencuri perhatian pengunjung lain. Saat saya sedang sholat, pelayan kedai datang ke meja saya mengantarkan durum pesanan saya dan kemudian meletakkannya di meja. Selesai sholat, dia bilang pada saya dengan bahasa Perancis plus bahasa isyarat bahwa saya salah menghadap kiblat. “Yaa.. saya sholat menghadap kemana saja, mas, nggak punya kompas soalnya, but anyway, makasih ya..” ujar saya.

Duduk-duduk di depan stasiun Liege yang berdiri megah dengan warna putih dan pilar sirkular di sekelilingnya, cuaca cerah, kami pun tergoda untuk membatalkan rencana ke Durbuy, dan berfikir untuk keliling Liege saja. Saya bilang pada mereka bahwa di Liege ada outlet Mango yang menjual produk-produk Mango dengan harga super miring. Namanya perempuan, begitu mendengar produk branded harga miring, mereka semua langsung bersemangat. Mereka bilang lain kali mereka akan datang lebih pagi untuk wisata belaja di Liege, tapi kali ini baiknya kami tetap pada tujuan utama, Durbuy.

Finally… kami tiba juga di Barvaux, stasiun kecil, bahkan lebih kecil dari stasiun kereta di Untung Surpati, Labuhan Ratu dekat rumah saya di Bandar Lampung. Tidak ada loket yang menjual tiket, jadi penumpang yang naik dari Barvaux bisa membeli tiket langsung ke kondektur-nya. Dari Barvaux menuju Durbuy, kami naik TEC service, yang kalau di daerah Flanders (Belgia utara), layanan transportasi macam ini dijalankan oleh DeLijn. TEC yang kami naiki tidak berwujud bus seperti yang ada di kota-kota Wallonia lain semisal Charleroi atau Aarlon. Mungkin karena Durbuy kota kecil, TEC nya juga hanya berupa minibus dengan kapasitas penumpang maksimal 20 orang. Sepanjang perjalanan yang berliku, dengan pemandangan padang rumput juga sapi-sapi gemuk, bapak supir yang sudah sepuh memutarkan lagu-lagu romantic macam How Deep is Your Love-nya Take That. Suasana kota kecil yang memang hanya cocok untuk refreshing mulai terasa. Beberapa tempat wisata yang menyuguhkan wisata adventure seperti kayaking, horse riding, ataupun cycling. Saya juga sempat melihat arena Go-kart, patut di coba untuk yang suka duduk di belakang kemudi.

Turun di halte TEC, saya langsung bisa menikmati suasana autumn khas provinsi Luxembourg di Wallonia, dengan daun warna-warni, merah, kuning, coklat, hijau dan oranye.. langit biru serta hamparan rumput yang masih hijau. Berbeda dengan kontur Flanders yang rata, di Wallonia mata saya cukup tersegarkan dengan pemandangan bukit-bukit dengan pepohonan di hutan Ardennes yang mulai meranggas. Tepat di gerbang kota  jembatan kayu dengan railing berwarna putih yang membentang di atas Ourthe river seolah mengucapkan selamat datang dan member jalan pagi para turis untuk melihat lebih jauh ke setiap sudut kota Durbuy. Di tepian Ourthe river, berdiri tegak bangunan yang menjadi landmark kota Durbuy – Castle of the Counts of Ursel, dibangun oleh keluarga Ursel di abad 11.

Ourthe river dengan Ursel Castle-nya

Di seberang kastil, berdekatan dengan Church of Durbuy, ada La Falize, seberti bukit yang terbelah dengan guratan-guratan sirkular menyerupai annual ring di sisik ikan teleostei. Ha… entah mengapa saya menganalogikan La Falize dengan sisik ikan, bukan dengan pola cambium di pohon berkayu keras yang juga sama-sama membentuk pola tahunan, mungkin karena saya mantan anak ikan di IPB dulu.

Durbuy memang mendapat predikat kota terkecil di dunia, dan mereka masih menggunakan slogan itu untuk menarik minat para wisatawan. Menilik kembali sejarahnya, Durbuy mulai disebut sebagai kota terkecil sejak tahun 1331. Namun saya tak yakin bahwa julukan itu masih valid hingga sekarang, mengingat di tahun 1977, Durbuy mengalami pelebaran wilayah dengan menggaet beberapa village di sekitarnya untuk masuk ke dalam wilayah administratif kota Durbuy. Well, meski tidak terbukti sebagai kota terkecil, saya tetap tidak masalah jika Durbuy tetap berbangga hati menyebut dirinya kota terkecil di dunia.

sudut kota Durbuy

Menyusuri jalanan Durbuy tidak akan membutuhkan waktu lama. Satu hingga satu setengah jam mungkin akan cukup untuk mengeksplor seluruh kota. Sebagai kota medieval- abad pertengahan-, bangunan-bangunan tua di Durbuy di dominasi oleh warna abu-abu batu alam ala Ardennes. Di sepanjang jalan utama (yang meski disebut jalan utama namun ukurannya tidak terlalu lebar, hanya cukup untuk dua mobil kecil saja), banyak terdapat café dan restaurant yang layak di coba. Atmosfir yang terbentuk secara keseluruhan setelah berjalan ke sudut-sudut kota Durbuy adalah relaxing, bukan tipikal kota yang cocok untuk para workaholic, karena semuanya serba santai dan slow moving.

0 komentar:

Post a Comment