Sunday, November 27, 2011 By: shanti dwita

Weekend : mencicipi waterzooi - Belgian gastronomic series

Tinggal sendirian di Mechelen membuat saya semakin autis, miskin interaksi social juga jarang komunikasi dengan orang.  Meski saya sering menyapa  pegawai-pegawai laboratorium tempat saya magang, tentu tak banyak kata yang saya umbar, sebatas “Hi, Hello, Good morning, Smaakelijk, Bye, See you tomorrow, Have a nice weekend!” Cenderung repetitive seperti itu, karena semua sibuk, terlebih saat makan siang bersama di dining room, mereka akan memakai bahasa Belanda. Sejauh ini teman baru yang ramah adalah Tina, Belgian petite girl dengan rambut blonde yang bicara bahasa Belanda,  Pruno, petite size Belgian man (kira-kira 172cm ideal), PhD student yang bicara bahasa Perancis karena dia dari Brussels, dan juga Myriam, Belgian girl dengan badan tinggi dan rambut coklat pendek yang baru pulang dari Ethiopia. Beberapa yang saya anggap lebih autis dari saya adalah cewek Polandia yang sama sekali tidak pernah menyapa, biarpun bertemu berhadap-hadapan di depan freezer minus 80 derajat di basement, juga saat berada satu ruang di autoclave lantai 1, di jalan, di tempat parkir, di stasiun, atau dimanapun. Hah, mungkin dia picky dalam berteman, buktinya dia bisa sangat talk-active saat ngobrol dengan bule2 lain di lab.

Oke, lupakan tentang rutinitas lab yang menjemukan, dan kembali ke masalah saya dan autism saya. Weekend pertengahan November lalu sudah saya habiskan dengan nonton drama Jepang dan Korea, tanpa beringsut sedikitpun dari lantai 4 student house tempat saya tinggal. Pergerakan hanya sebatas toilet, dapur dan shower room. Weekend minggu ini saya ingin membuat sedikit kemajuan, setelah menyadari betapa menyedihkannya mengurung diri di kamar, menangis dan tertawa sendirian saat emosi diaduk-aduk oleh hal sesepele film Korea . Tapi tetap…… tiga judul film berhasil saya khatamkan dalam waktu 12 jam: Humming, A millionaire’s first love dan juga The Classic. Judul-judul itu saya dapat setelah berkosultasi dengan kaskus dan juga prof. google. Tak lebih dari tiga, karena saya telah menyusun agenda yang cukup menjanjikan, berwisata kuliner di Brussels, window shopping di Nieuwstraat, dan ditutup dengan pengajian KPMI Belgia plus makan malam bersama di KBRI.

Sabtu siang ba’da Zuhur saya berjalan kaki menuju Mechelen Nekkerspoel, sejenak memberi cuti pada sepeda lipat super mini, membiarkan ia beristirahat di parkiran gedung housing bersama puluhan sepeda besar lainnya. Jadwal kereta yang tercantum di website SNCB (B-Rail) menjanjikan kereta IR akan datang di spoor 4 jam 13.31 dan tiba di Central Station Brussels 23 menit kemudian. Saya sengaja tidak makan siang, menyisakan ruang perut yang sudah saya kapling-kapling untuk typical Belgian dish semacam steam mussels dengan fries.
Dari stasiun, tujuan saya adalah Galeries Royal Hubert di rue de marche aux herbes  yang didaulat sebagai the most beautiful covered galleries in Europe. Terletak  tak sampai 200 meter dari stasiun, hanya butuh waktu 5 menit bagi orang dengan langkah kaki pendek-pendek seperti saya untuk mencapainya. Dibangun di 1847, Royal Hubert masih tampak mempesona, terlebih seperti saat saya lihat siang tadi, dengan hiasan bola-bola ala lampu disko berwarna emas dan ratusan lampu-lampu kecil benderang yang menghidupkan nuansa natal. Ya, di akhir November semua kota di Eropa sedang bersukaria menyambut natal, ditandai dengan berdirinya booth-booth yang menjual dekorasi natal di pusat kota. Brussels sendiri memusatkan Christmas marketnya di area Grotemarkt, hanya 1 blok dari Royal Hubert.  

Royal Hubert Galleries terdiri dari 3 bagian, Galeries de la Reine (the Queen's Gallery), Galerie du Roi (the King's Gallery) dan Galerie des Princes (the Princes' Gallery). Di sepanjang galeri, terdapat banyak toko, diantaranya toko tas Delvaux dan Longchamp, beberapa café, juga toko coklat yang cukup sering disinggahi turis mancanegara. Mohon saya jangan dihitung sebagai turis, karena saya immigrant legal temporal.
Tujuan saya ke Royal Hubert bukan untuk belanja, bukan juga untuk hunting foto, tapi lebih spesifik untuk makan. Sudah beberapa kali sebenarnya saya melewati deretan rumah makan di dekat King’s gallery, terakhir melangkahkan kaki di Rue des bouchers, nama jalanan itu, adalah saat saya dan teman-teman berburu patung Jeanneke Pis sepulang sholat Idul Adha (idenya seperti manneken Pis— patung anak laki-laki kecil yang sedang pipis--  tapi yang ini berjenis kelamin perempuan).  Saat itu saya sempat melirik papan menu yang di jajarkan di depan rumah makan, yang juga di tunjuk-tunjuk oleh pelayan rumah makan yang siaga berdiri di pinggir jalan untuk menggiring tamu masuk dan membeli hidangan yang mereka tawarkan. Ada paket menu Belgian dish seharga mulai dari 12 euro. Papan-papan menu itulah yang menyeret kaki saya, juga menstimulasi otak saya untuk sekedar mencicip hidangan khas Belgique, di jalanan yang sama, 20 hari kemudian.

Ada banyak sekali rumah makan di Rue des bouchers (French) alias Beenhouwersstraat (Dutch). Hampir semuanya menyediakan beberapa meja di teras untuk pelanggan yang ingin menikmati makanan sambil menikmati lalu-lalang orang yang melintas di jalanan yang tidak terlalu lebar. Menu yang disajikan beragam, mulai dari Belgian dishes dengan mussels sebagai menu andalan, Spanish dengan seafood paella-nya, hingga Italian dengan pasta-nya. Meja-meja di luar tampak tertata rapi, dengan serbet yang terlipat serta piring saji dan ornament bunga. Saya suka suasananya yang terletak di pusat kota, dengan terrace roof warna merah-hijau dan bohlam-bohlam kuning  memancarkan warna tungsten yang berkesan hangat. Saya belum pernah makan di fine dining restaurant, dan saya rasa apa yang ditawarkan di Rue des Bouchers masih sangat jauh dari kategori fine dinning, cukup dibilang casual dining dengan predikat “decent atau fair” saja. Setidaknya setelah membaca beberapa review di trip advisor, saya tau bahwa banyak turis yang merasa tidak puas dengan berbagai alasan, mulai dari harga yang mahal, pelayan rumah makan yang bertampang seperti mafioso, hingga layanan rumah makan yang kurang memuaskan. Membaca komentar salah seorang trip advisor user tentang mafioso ini membuat saya membayangkan squidward di kartun favorit saya –spongebob squarepants. Berhidung besar dan bergaris wajah keras, meski sudah tersenyum ramah seramah-ramahnya untuk menggaet tamu, aura seram-nya masih terasa.

Seorang pelayan rumah makan menyapa saya siang itu “Assalamualaikum.. Would you like to eat, we have seat inside for you..” Ya, selalu begitu. Setiap kali saya (perempuan asia pendek, kulit coklat dan berkerudung) lewat sana, pelayan-pelayan pasti menyapa dengan Assalamualaikum, sebuah trik jitu untuk menarik minat wisatawan dari Malay-Indonesia, atau Turki, dan Timur Tengah. Ucapan salam itu juga keluar dari mulut pelayan yang berwajah arab, dengan rambut hitam klimis, sehingga saya pun tak ragu menjawab “Waalaikumsalam”. Setelah menolak tawaran dari beberapa rumah makan, saya akhirnya menerima pinangan dari Le beouf qui rit, tak jauh dari ujung jalan yang bersentuhan dengan Reine Koninginne (king) gallery.  Tertulis di teras mereka bahwa ada menu seharga 12euro yang bisa saya coba.

Masuk ke dalamnya, saya bertemu dengan sekelompok turis manula asal jerman, sekitar 8 orang, juga 4 pria yang saya tidak tahu asalnya, tapi saya yakin mereka pasti turis juga. Si pelayan berkemeja biru, celana hitam dengan tinggi sekitar 178 cm membawakan list menu untuk saya, masing-masing dengan harga 12 euro dan 18 euro. Ada berbagai pilihan appetizer, main course dan dessert yang bisa saya pilih. Tak lupa, ia pun mengarahkan saya untuk memilih menu yang halal, karena ia juga seorang muslim. Dia tidak merekomendasikan Belgian beef stew yang dimasak dengan beer, juga tidak dengan menu lain yang dimasak dengan wine. Menelusuri setiap nama masaka, saya sama sekali tidak tertarik dengan apa yang tertulis di daftar 12euro, karena untuk main course, hidangan yang ditawarkan adalah jenis pasta dan daging. Melirik menu 18euro, saya akhirnya memilih Mussels gratin untuk appetizer, Waterzooi untuk main course, juga dessert yang akan dipilihkan oleh pihak rumah makan. Menu yang saya inginkan sebenarnya, steam mussels atau mosselsoep dengan fries tidak ada di daftar, either di 12e ataupun di 18e, mungkin ada di daftar menu yang lebih mahal, dengan harga 26-50an euro.

Hidangan pertama datang, beberapa kerang hijau dengan satu cangkang, mungkin sekitar 12 ekor, disusun satu persatu diatas tray, disiram saus tomat yang sudah di simmer dengan basil, ditaburi keju parut dan kemudian dipanggang dengan oven. Saya tidak tau resep aslinya, tapi mungkin itu cara yang akan saya gunakan untuk membuat resep serupa, berdasarkan petunjuk dari indra pengecap saya. Saat mencoba makanan (seringnya masakan Indonesia), biasanya saya langung bisa menebak komposisi yang digunakan, meskipun tidak selalu 100% akurat. Oke, karena ini rumah makan, saya pun akan makan dengan pisau dan garpu, lupakan makan dengan cara “muluk”, meskipun pasti itu yang akan saya lkukan jika saya ada dirumah, menganalogikan mussels gratin dengan balado kerang pedas yang dimakan dengan nasi hangaaatt.. kyaaaaa… Pisau di tangan kanan saya arahkan untuk menyayat roti padat bulat dengan gandum putih di tangan kiri, letakkan roti sejenak di keranjang, colek butter dengan pisau, oleskan ditengah sayatan roti, letakkan pisau, dan segera lumat roti dengan kedua tangan. Ahh.. harusnya saya cuek saja, meski saat itu beberapa pengunjung lain mulai berdatangan dan rumah makan mulai penuh. Dua perempuan di sisi kiri saya dan pasangan Perancis (setidaknya si perempuan ramah menyapa saya dengan berkata bonjour) di sebelah kanan saya. Ya, tak perlu menghiraukan mata mereka yang mungkin diam-diam memperhatikan anehnya cara makan saya.



Selesai dengan mussles gratin, tak perlu menunggu lama, pelayan yang saka kira berasal dari Maroko  tadi segera membereskan meja dan mengisinya dengan piring, sendok dan garpu yang baru, tak ada pisau kali ini, karena main course yang akan tiba adalah waterzooi yang full kuah. Waterzooi adalah makanan khas dari Gent, awalnya dbuat dengan menggunakan bahan dasar ikan, namun saat ini waterzooi dengan ayam menjadi lebih popular, seperti apa yang sedang saya nikmati. Kuah panas berwarna putih kekuningan segera saya seruput dengan menggunakan sendok, untuk mencicipi bagaimana sensasi rasa yang pertama kali disampaikan reseptor lidah untuk disimpan di memori otak saya. Full kaldu ayam, seperti mencicip rebusan daging ayam dengan volume 1:1, satu ekor ayam dengan 1 liter air, gurih, creamy dan pas asinnya, saya sukaa.  Di suapan kedua, saya ikut menyertakan irisan dada ayam yang super empuk, namun tidak hancur dengan serat-serat daging masih melekat sempurna. Di suapan berikutnya, saya tidak ingat lagi yang keberapa, yang jelas puluhan suap hingga kuah, daging ayam, wortel, leeks (seperti daun bawang tapi ekstra jumbo), kentang bulat kecil yang tidak dikupas, brokoli dan juga presley hampir habis. Di akhir perjuangan saya menghabiskan semangkok waterzooi, saya pun menyerah, dan menyisakan sepotong ayam yang tak sanggup lagi saya habiskan, secara… saya nggak terlalu suka ayam. Actually, fish will be better, sayang tidak dicantumkan dalam menu 18euro, hanya ditawarkan di prime list dengan harga 30euro per porsi.



Kekenyangan dengan waterzooi, saya butuh rehat sejenak dengan memainkan game dari ponsel sebelum memakan dessert yang  berupa wafel dengan siraman gula palm. Maklum, saya satu-satunya tamu yang datang sorangan untuk makan disana, lainnya berdua, berempat atau berenam. Tapi saya enjoy saja, toh memang niatnya adalah untuk memanjakan perut dan membuat weekend lebih produktif, setidaknya setelah makan disana saya jadi punya materi untuk ditulis di blog. :D Makan-makan selesai, bill datang setelah saya minta, dan untuk ketiga makanan itu plus segelas orange juice, saya membayar 21euro. Cukup mahal untuk mahasiswa yang datang dengan beasiswa seperti saya, namun untuk pengalaman, saya lebih setuju dengan quote yang pernah saya baca di web, seorang traveler bilang “save memories, not money!” Benar-benar wow, tapi ya, kalau bisa saya ingin sedikit mengubahnya menjadi “save memories and money!” setidaknya itu benar-benar  “saya banget”. Ingin mengumpulkan uang untuk menjelajah dunia maha luas yang telah diciptakan Allah dengan sempurnanya, melihat midnight sun di lintang tinggi mendekati kutub, menginjakkan kaki di bulir-bulir pasir gurin di Timur tengah, tapi juga ingin membesarkan anak-anak saya dengan fasilitas yang cukup agar mereka lebih berbahagia dari saya. InsyaAllah!

6 komentar:

Anonymous said...

halal ya?

shanti dwita said...

ng... kerangnya mudah2an halal, kalau daging ayamnya saya nggak yakin.. karena disini jarang banget ada rumah makan yang ada tulisan halalnya, kecuali kebab turki :)

Anonymous said...

hehe, kerang sih insya Allah halal kcuali proses masaknya aneh2.. klo ga yakin mending lebih berhati2 aja hehe

shanti dwita said...

makasiih... :)

H-kim said...

Halo bu dosen.. masa sie bu jadi autis di awalnya.. btw klo di sana ramah dengan warga indo-malay alhamdulillah brarti bangsa mrk msh ada respek dgn kita.. btw memang linkungan di sana pendiem semua kali bu.. kos walau 1 lab blm tentu kenal..
btw cayo bu, msh bnyk drama korea yg seru loh..

shanti dwita said...

yang ramah pelayan rumah makan doang kim, biar jd tertarik untuk makan disana. Secara umum sih orang2 Eropa baik2, cuma beberapa aja yang kadang judes sama orang muslim, soalnya yaaaaa.. gitu deh, gw juga sebel, banyak pengemis yang pake krudung ngglosor di stasiun atau di pinggir2 jalan..bikin image orang muslim jd ngga banget..

Post a Comment