Monday, December 27, 2010 By: shanti dwita

Hari Ibu

Saya lupa, entah untuk berapa lama saya menyandang status sebagai ibu. Satu hal yang saya ingat, saya nggak mendapatkan ucapan "Selamat hari ibu" dari suami di 22 Desember tahun ini. Mungkin karena saya jauh, mungkin juga karena pada hari itu mereka berdua sedang sakit hingga sama sekali nggak kepikiran untuk memberi ucapan. Satu hal yang saya ingat, di hari itu suami saya menelfon "Yang, kalo Adis demam 37.5 Valisanbe-nya dikasih ngga? Dosisnya? Berapa kali sehari?" Empat bulan terpisah dari mereka belum cukup membuat saya lupa tentang merawat anak dikala demam. Bahkan dosis obat serta jam memberikannya saya masih ingat. Satu-satunya yang bisa saya lakukan saat itu adalah menelfon sesering mungkin untuk mengecek perubahan suhu badan Adis dan mempercayakan sepenuhnya perawatan Adis pada sang ayah. Dia  memang laki-laki, tapi dia sangat bisa diandalkan dalam merawat anak kami. Dia sibuk bekerja dari pagi hingga malam, tapi selalu punya waktu untuk memastikan Adis sudah makan, bahkan selalu menyempatkan untuk menyuapi setiap pagi sebelum berangkat kerja. Adis bukan anak yang doyan makan, bahkan mbak-nya kadang menyerah dan bilang "Adisnya ngga mau makan, Bu". Saat-saat seperti itu, Adis biasanya bilang "Adis maunya disuapin ibu atau Adis mau disuapin ayah aja.." Otomatis, saat saya tidak ada bersama mereka seperti saat ini, hanya dialah yang bisa diandalkan untuk membuat Adis mau makan.

Masih lekat dalam ingatan bagaimana kami berdua melewati hari-hari bersama dulu, saat Adis masih berbentuk embrio yang meringkuk dengan nyamannya dalam perut saya. Dia, suami saya, paham betapa letihnya saya menjadi ibu rumah tangga, dengan setumpuk pekerjaan mulai dari masak, mencuci piring, menyetrika hingga membersihkan seluruh rumah, setiap hari. Dia pun oke saja ketika saya minta bantuan untuk menangani urusan cuci baju. Ketika bayi kami lahir, pekerjaan saya semakin menumpuk seolah 24 jam sehari tidak cukup untuk melakukan semua aktifitas. Saat itu, dia juga tidak diam saja meski saya tau dia lelah bekerja. Dia terjaga di malam hari dan mau mengganti popok. Saat bayi Adis rewel tanpa henti, dia bersedia untuk menimangnya hingga tangisnya usai. Hingga kini, saya masih ingat bagaimana dia duduk tertidur sangking lelahnya membantu menjaga Adis sepanjang malam dan juga ingat kalau saat itu saya memandangnya sambil tersenyum.

Menjalankan tugas sebagai ibu menurut saya tidak berat (selama ada suami yang membantu meringankannya). Kalau toh saya sebagai perempuan, ditakdirkan untuk memiliki rahim dan dijadikan perantara untuk seorang manusia baru lahir ke dunia, itu sudah lumrah terjadi. Bukan hal yang perlu dijadikan pamrih karena saya memang ikhlas menjalani hal itu. Mungkin perasaan ini juga dimiliki oleh ibu lainnya. Kalau ada ibu yang marah dan berkata "dasar kau anak durhaka, tidak tahu apa bagaimana ibumu mengandung dan melahirkan... bla bla", saya pun akan merasa kalau dia tidak ikhlas atas takdirnya sebagai perempuan. Mengandung dan melahirkan tidaklah berat, saya justru ingat bagaimana saya menikmatinya. Jika orang bilang melahirkan itu antara hidup dan mati, saya justru tidak pernah berfikir bahwa saya akan mati saat melahirkan. Suami saya justru yang paranoid setengah mati melihat saya yang kesakitan. Hingga dengan konyolnya dia berdoa, jika memang dia dihadapkan pada pilihan, dia ingin saya yang tetap hidup. "Honey, I'll just be alright!" 

Satu hal yang digaris bawahi dari pemikiran saya tadii (dari sudut pandang saya sebagai seorang ibu) : mengandung dan melahirkan itu sudah kodrat, tidak perlu dijadikan beban untuk anak hingga harus merasa berhutang budi pada ibunya. Hal terpenting sebenarnya adalah proses mengasuh dan memberikan kasih sayang, menurut saya itu hal termulia yang bisa diberikan seorang ibu pada anak-anaknya. Untuk hal ini, saya merasa sangat kerdil, hingga tak pantas rasanya disebut sebagai seorang ibu. Saya memang sangat memperhatikan kesehatan dan kebersihan Adis. Memasakkan makanan kesukaannya, mengatur jadwal minum susu, memberikan vitamin/suplemen, membutkan jus dan seterusnya yang berhubungan dengan kecukupan kalori dan gizi. Tapi semua itu tidak kontinyu, tidak setiap saat saya ada disisinya untuk melakukan hal itu, tidak punya bayak waktu juga untuk mengajaknya bermain dan belajar. Lalu? Siapa yang selalu ada di sisi Adis dan nggak pernah meninggalkannya? Jawabannya : suami saya! 

Beruntung memiliki seorang yang penyayang seperti dia. Saya tersenyum saat beberapa waktu lalu dia bilang  baru selesai mengajak Adis main layang-layang, juga saat dia bercerita membawa Adis turut serta dan menjadikannya supporter saat ia bermain futsal dengan teman-temannya. Tidak bisa dipungkiri kalau sebagian besar peran ibu telah diambil alih olehnya saat saya tak ada. Sangat nyata bahwa hidup yang dijalaninya tanpa saya disisinya begitu sulit, seperti halnya mobil yang kehilangan satu rodanya. Dia ibu dan juga ayah terbaik untuk Adis. Yang bisa saya lakukan adalah berdoa, agar setiap kesedihan dan kesusahan yang mereka berdua rasakan saat ini akan digantikan dengan kebahagiaan yang tak terkira. Akhirnya, jika seorang ibu begitu dianggap mulia hingga layak diberikan sebuah "hari ibu", maka sayapun akan memberikan ucapan "selamat hari ibu" pada suami saya. Meskipun dia tidak mengandung dan melahirkan, tapi perannya dalam memberikan kasih sayang, melebihi peran saya sebagai ibu biologis. "Selamat hari Ibu, honey!"




0 komentar:

Post a Comment