Monday, September 6, 2010 By: shanti dwita

moslem's life in Gent

Saya tinggal di Rabot yang merupakan kawasan pemukiman Turkish di Gent. Tidak sulit untuk menemukan makanan halal disini asalkan cocok dengan rasanya, karena mayoritas makanan yang dijual adalah sejenis kebab. Kemarin, bersama-sama teman satu program saya, (shanti, 27  tahun, married, 1 son), yaitu  Leandro (27 tahun, engaged, Brazil), Edward (Uganda, tapi punya status residen di UK, 29 tahun, unmarried dengan 1 putera), Lydia (dari mana ya? Indonesia juga, 23 tahun, single dan berusaha untuk mendapatkan bule tampan :P) dan juga Alessandro (Italia) kami mengunjungi satu kedai makan a la Turki dengan tulisan WARME TURKS BAKKERIJ di kacanya dan  terletak di Wondelhamstraat.  Leandro yang memilih tempat ini setelah sebelumnya bertanya pada saya apa saya hanya makan makanan halal? dan "yes, I eat only halal food!" Menurutnya rumah makan yang tidak hanya menjual kue (bakery) ini menjual masakan halal dengan harga yang cukup murah dibanding yang lain. Leandro pun bercerita kalau di brazil akan agak sulit menemukan makanan halal, seperti di Gent, dan saya pun mengatakan, ikan dan sayuran akan selalu halal buat saya. Dia pun mengangguk mengerti.

Alessandro adalah yang termuda dengan usia 21 tahun, dia mengambil semacam sarjana teknik di KaHo Sint Lieven., dia tinggal 1 rumah dengan Edward dan kami semua sama-sama dipertemukan di kelas bahasa Belanda . Kembali ke menu, kami semua memesan makanan seperti sandwich yang ukurannya sangat besar, mungkin hampir mendekati 30 cm, berisi daging domba, salad dan juga saus tomat. Khusus untuk saya, tentu ditambah 1 buah green pepper besar agar pedasnya lebih terasa. Sulit sekali makan makanan itu karena saya harus menutup tangkupnya dan makan dalam sekali "hap.. nyam nyam nyam." yang saya dapat adalah isi sandwich saya keluar berserakan di tray.. waks. Untung sang pemilik kedai berbaik hati berinisiatif menata ulang susunan sandwich dan membungkusnya rapi dengan aluminium foil. Setelah berjibaku dengan roti besar itu selama 30 menit, saya menyerah, apalagi melihat Leandro dan Alessandro sudah selesai dan tampak menunggu. Saya pun membungkus kembali roti isi seharga 3,5 Euro itu dan memasukkannya ke tas.

Selesai makan, kami menyusuri jalanan sepanjang 2-3 km (!!) untuk mencari tempat yang bernama 'de kringwinkel'. Ini adalah toko barang bekas yang menjual aneka produk mulai dari furnitur, elektronik, perkakas dapur, perabotan, hiasan-hiasan rumah, mainan anak, buku-buku , sepatu dan juga garment (pakaian, kaus kaki, syal, bed sheet). Edward berniat ke tempat itu untuk membeli mainan anaknya, di Uganda. Dia bersemangat sekali menceritakan kalau di UK, toko semacam ini disebut charity shop, dengan harga yang fantastis murahnya dan meskipun bekas, kondisi barang masih amat layak.
Saya berencana mencari penyaring air, namun saya tidak menemukannya disana. Air kran di Eropa ini sebenarnya bisa langsung diminum tanpa harus dimasak. tapi saya agak kawatir dengan residu mineral seperti klorin, sehingga saya butuh alat untuk menyaringnya. Akhirnya saya membeli container (merk Tupperware, made in Belgium) dengan kondisi yang masih mulus dengan harga 2,5 Euro. Agak mahal memang, tapi saya ingat, di Indonesia saja, barang sejenis harganya bisa mencapai Rp. 80.000 per pieces jadi saya putuskan untuk mengambilnya. 

Perjalanan ke de kringwinkel itu sangat melelahkan, ditambah kondisi saya yang tidak terlalu fit karena sedang flu. Lelah karena selama 5 hari belakangan, sejak tiba dari Indonesia, saya tidak pernah meluangkan waktu panjang untuk beristirahat, dan waktu panjang itu saya pakai untuk jalan-jalan (dengan kaki). 

Perjalanan pertama saya ke Brussels bersama Lydia sebenarnya bertujuan untuk melihat Manneken Pis. Saya baca di internet kalau kota yang menarik untuk dikunjungi di belgia ini adalah Brussels dan Brugge. Akhirnya tanpa pikir panjang, kami langsung mencari cara menuju Brussels, tentunya dengan banyak bertanya pada orang lokal. Menuju stasiun Sint Pieters, Gent, kami menggunakan Tram, seperti bis kota, tapi berjalan di atas rel di dalam kota. Harga tiketnya 2 Euro bila membeli di atas bus, dan 8 Euro/10 trips bila membeli di toko koran. Saya dan Lydia sama-sama sudah memiliki kartu tram untuk 10 trip tadi sehingga kami hanya perlu memasukkannya ke dalam mesin di dalam tram dan otomatis saldo 8 euro di kartu tadi akan dikurangi.

Tiba di Sint Pieters, kami  tampak bingung membaca papan perjalanan kereta yang menggunakan bahasa Belanda. tapi kemudian kami tahu kalau 'Vertrek' itu artinya keberangkatan. Di sela kebingungan, seorang gadis Turki cantik berkerudung, kata Lydia mirip Anne Hathaway, menghampiri saya dan berkata "how can I help you" sambil menjabat tangan saya. Mungkin dia melihat saya juga memakai kerudung dan tampak kebingungan sehingga ia tergerak untuk menolong. Namanya Hacer Gonul, seorang Turkish namun berdomisili di China, dan sedang belajar di Gent University tapi saya lupa bertanya tentang program yang ia ambil. Dia pun mengarahkan kami ke platform tempat kereta ke Brussels akan berhenti. Hari itu dia juga berencana ke Brussels untuk mengunjungi teman. Kami bicara banyak, dan diapun bercerita tentang pengalamannya ke Perancis, Belanda, Jerman, serta kota-kota di dalam Belgia sendiri. Ia merekomendasikan untuk mengunjungi Belanda, tapi tidak demikian halnya dengan Paris, karena semuanya mahal dan sangat crowded. Untuk belanja, ia berkata Brussels lebih murah dibanding Ghent. Well, kalau begitu, kami menuju ke arah yang tepat. kami pun turun di Brussels Central sesuai petunjuk dari semua orang yang kami tanya, termasuk Hacer.

Perjalanan ke Brussels hari itu tidak membuat kami berhasil menemukan Manneken Pis ataupun Grand Place. Tapi kami berdua pulang dengan membawa sepasang sepatu boots baru dengan harga 10 Euro. Saya membeli  ankle boots yang tanpa hak, warna putih, sangat nyaman dipakai. Sepulang dari Brussels, kami berdua duduk di kursi-kursi yang kami kira adalah tempat pemberhentian tram yang akan menuju ke Rabot. Saat sedang serius menunggu tram yang tidak datang-datang di depan kami, seorang pria Turki yang wajahnya lebih dominan ke bule ( I bet, he is also Moslem) menghampiri saya dan menanyakan saya mau kemana. saya bilang ke Rabot, dan dia pun menjelaskan kalau tempat saya menunggu ini bukanlah jalur tram. Untuk naik tram saya harus menyeberang dan menunggu di sudut jalan, katanya sambil menunjuk satu arah. Astaga, kenapa saya begitu bodoh, sudah jelas di tempat saya menunggu ini tidak ada rel tram, tapi saya masih menunggu. Mungkin itu juga yang ada di benak pria tadi sebelum ia sengaja menghampiri saya dan menawarkan bantuan.

Dua hari setelah hari itu, kami berencana kembali menuju Brussels, kali ini untuk mengunjungi KBRI dan ikut berbuka puasa di sana. Buka puasa masih jam 20.30 pm, tapi kami sengaja berangkat dari Gent jam 11 siang. Di Sint Pieters, kami kembali bertemu dengan seorang wanita muslim berkerudung yang juga terlebih dahulu tersenyum pada saya. Dia membawa stroller dan gadis kecil berumur 15 bulan di dalamnya. Namanya Lina, seorang Afghan. Ketika sampai di platform atas, kami pun mendapai bahwa pintu kereta ke Brussels baru saja ditutup dan dalam beberapa detik kereta akan melaju. Yah.. kami pun harus pasrah menunggu hingga ke menit 57 ketika kereta berikutnya akan kembali datang. Lina tampak panik mendapati bahwa ia ketinggalan kereta. Ia bilang kalau ini kali pertama baginya ke Brussels mengunjungi sang paman dan sebelum ia pergi, ia sudah meminta pamannya memperkirakan waktu kedatangannya di Brussels dan menjemput di stasiun. Dengan tertinggal kereta, berarti semuanya akan kacau, apalagi cell phone miliknya tidak bisa digunakan. Melihatnya begitu panik, saya pun menawarkan diri meminjaminya ponsel saya (yang saat itu sudah saya ganti dari provider Proximus ke BASE, jadi tarif bicaranya lebih murah). Ia menerimanya dengan senang hati dan mulai menyalin nomor pamannya yang ada di kertas ke ponsel. Selesai bicara, ia berniat menbayar saya untuk pulsa yang telah ia pakai dengan pertimbangan bahwa kami sama-sama pelajar di perantauan. Saya bilang tidak perlu sungkan, saya ikhlas menolongnya.

                                                             Lina and her Lil daughter

Menunggu kereta hingga ke menit 57 membuat kami kembali duduk di ruang tunggu dan mengobrol disana. Saat sedang mengobrol, seorang gadis Maroko berkulit putih dengan rambut hitam ikal datang menghampiri saya dan langsung menyapa. "you're from Indonesia?" Ia terlihat antusias dan bersemangat sekali. Saat itu dia menghampiri sambil minum satu gelas kopi/cokelat panas (saya tidak yakin) dan ia pun tanpa diminta lagsung menjelaskan bahwa ia seorang muslim, tapi sedang datang bulan, jadi tidak berpuasa. Namanya Sarah, ia datang dengan setumpuk buku (seingat saya, itu buku-buku ekonomi). Ia bertanya banyak sekali, kenapa orang Indonesia tidak berbahasa Belanda padahal pernah dijajah, saya jawab kaum oma2 dan opa2 mungkin bisa, tapi untuk generasi sekarang lebih banyak yang mahir bahasa Inggris, saya juga cerita kalau setelah Belanda, Indonesia masih dijajah juga oleh jepang. Ia bertanya lagi, Indonesia jauh dari jazirah arab, tapi kenapa penduduknya banyak yang muslim. saya jawab, Islam masuk ke Indonesia melalui perdagangan di abad ke 11 (not really sure about that), dengan adanya kerajaan Samudera Pasai, pedagang muslim dari India dan Arab pun berdatangan dan mulai menyebarkan agama. Yah, setidaknya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaannya yang datang bertubi-tubi itu saya bisa menggambarkan negara saya Indonesia ini meskipun sedikit dan dengan wawasan saya yang terbatas. Sarah sangat talk-active, sehingga waktu menunggu kereta pun rasanya cepat sekali berlalu.
                                                                                                 
Well, dari cerita di atas, secara umum, kehidupan muslim di Belgia itu memang tidak dipandang sebelah mata. banyak komunitas muslim, kata guru bahasa belanda saya, Erik, di Brussels, dan mereka menggunakan bahasa Arab. Meski demikian, ia mengingatkan saya untuk berhati-hati, karena mungkin tidak semua orang punya pandangan yang sama terhadap kehidupan multikultural dan tentang saling menghargai satu sama lain. Meski sebenarnya tujuan dari beasiswa Erasmus Mundus itu sendiri adalah memberi kesempatan pada orang-orang dari berbagai penjulu dunia dengan kultur, ras dan agama berbeda untuk merasakan pendidikan berkualiatas di Eropa. Edward teman saya, seorang Ugandan berkulit hitam, ketika saya minta komentarnya tentang hal ini, mengatakan, "tanamkan di hati, kamu ada disini untuk gelar Master, jangan pedulikan yang lain, selama kamu tidak berbuat salah (ia menyebutnya misbehave) kamu tidak perlu kuatir"



 


2 komentar:

Nayarini said...

suka cerita-ceritanya :-) sayangnya dulu pas kuliah EM aku masih malas menulis hehe...tetap cerita ya

shanti dwita said...

iya mbak rini.. maacihh

Post a Comment