Friday, September 3, 2010 By: shanti dwita

menuju eropa

Akhirnya waktu yang tak terelakkan tiba juga. Selasa, 31 Agustus 2010 saya harus berangkat menjalankan panggilan beasiswa dari Uni Eropa. Berat sekali rasanya pergi meninggalkan orang2 tercinta, tapi sesulit apapun, hidup harus dijalani.

Menuju bandara Soekarno hatta, jalan tol cawang-pluit, pluit-bandara terasa lengang, tidak sampai 30 menit saya menempuh pulomas-bandara. Tiba disana secara kebetulan, mobil yang berhenti di depan mobil (orang tua) saya menurunkan seorang perempuan yang saya kenal dengan baik. Dia Dian, sesama awrdee EM yang pada hari utu juga akan berangkat ke Lisbon, Portugal dengan maskapai Lufthansa. 

Jam 15.00 WIB saya masuk ke area check in di terminal 2 bandara Soetta dengan susah payah, karena saya membawa 2 koper yang beratnya (saya timbang dengan timbangan badan dirumah) sekitar 25 kilo plus satu tas kabin seberat 7-8 kilo. Hal tersulit tentu saat memindahkan koper ke belt pemindai (sensor), untunglah, meskipun badan lemas karena puasa, saya masih bisa juga mengangkatnya. Sore itu entah mengapa penerbangan menuju Abu Dhabi dengan maskapai Etihad Airways penuh. Setelah antri selama satu jam, akhirnya saya sampai juga di meja check-in. Sebelumnya saya tahu kalau koper saya memang overload, tapi berdasarkan info dari teman, saya menyiapkan sejumlah uang Dollar untuk membayar kelebihan tersebut, dengan asumsi saya hanya kelebihan 2 kilo.

Namun semuanya buyar ketika setelah susah payah saya meletakkan koper di penimbangan barang, angka yang tercantum di monitor menunjukkan 29,8 kilo!! Itu berarti saya kelebihan hampir 7 kilo. Petugas mengatakan kalau charge tambahan yang harus saya bayar adalah $35 per kilo nya, so it means that I have to pay 6 x 35x Rp.9200 = Rp. 1.932.000. Sejenak terpikir saya mau bayar saja mengingat semua barang di dalamnya adalah penting untuk survive satu-dua minggu pertama di Ghent, Belgia (tujuan akhir perjalanan saya). Tapi, pikir-pikir, harga tiket saya saja cuma Rp. 8 juta, masa iya saya harus bayar 2 juta untuk bagasi. Akhirnya saya putuskan untuk keluar dari area check in dan menelfon suami agar dibantu menyortir kembali barang-barang yang akan dibawa dan yang akan (dengan berat hati) ditinggalkan.

Satu mantel wool tebal yang berat, satu toples kue nastar dan ring keju (yang rencananya akan saya makan saat Idul fitri sebagai pelipur kerinduan terhadap tanah air dan keluarga di rumah), celana2 jeans, indomie (menyesal sekali meninggalkan indomie, karena di Ghent tidak ada mie, adanya bihun, itupun dengan harga 2,5 euro per bungkus, dibandingkan dengan harga di Lampung yang hanya Rp.2.500. Hiks!), lulur kemasan agak besar (ini juga patut disesali, karena di Ghent suhunya belasan derajat celcius saat saya datang, kulit saya jadi kering dan bersisik, jika beli body cream disini, harganya bisa 5-7 Euro.

Saya pun kembali ke meja check in setelah mengantri kembali. Juga begitu halnya dengan Lydia, teman satu program yang nantinya akan terus bersama-sama saya menempuh studi di berbagai universitas di Eropa sesuai tujuan dari Erasmus Mundus itu sendiri. Di check in yang kedua ini, saya sudah ikhlas, berapapun charge yang akan dikenanakn, saya bayar. Tidak ada lagi rencana untuk membongkar ulang, karena betul-betul menguras waktu mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 16.20 WIB. Counter check ini pun akan segera ditutup karena boarding sudah akan dimulai jam 17.00. Saya mengambil antrian di barisan lain, bukan di tempat petugas yang pertama tadi. Di penimbangan yang kedua ini berat kopernya sudah berkkurang jauh menjadi 24,5 kg, itupun setelah 1 jaket kulit (bukan kulit asli) yang beratnya 700 gram sengaja saya keluarkan dan saya tenteng di tangan.Mungkin karena boarding segera dimulai, sang 'mas' penjaga counter pun membebaskan saya dari segala bentuk charge (padahal berat tas kabin saya juga berlebih, 8,8 kg, sedagkan yang diperbolehkan adalah 7kg). Alhamdulillah..uang USD 50 ku aman.

Menyadari boarding semakin dekat, saya pun bergegas sholat Ashar bersama suami. Sedih rasanya mendengarkannya meminta saya menjaga kesehatan dan agar saya baik-baik di negeri orang. Selesai sholat, saya pun berpamitan dengan ibu dan mas (kakak) yang juga ikut megantar. 

Perpisahan di bandara ini tidak terlalu menyediihkan seperti kejadian siang sebelumnya, saat saya berpamitan pada ibu mertua dan berkata "bu,, aku titip adis ya".. Kata-kata 'titip' itu yang sontak meluluhlantakkan hati,sungguh tak tega melihat wajah kecilnya yang sedang tertidur itu berada disana dan jauh dari dekap ibunya. Tapi sekali lagi, walaupun pahit getir, hidup harus dijalani. Bismillah. Pun juga yang dikatakan ibu saya saat di bandara "ikhlaskan, dan pasrahkan" Allah tak akan pernah lalai menjaga Adisku, karena sesungguhnya Dia adalah sang Maha Pemelihara".. Kata-kata itulah yang saya jadikan penguat hati hingga kini, meskipun kadang berat.. berat dan berat sekali rasanya..

Tidak seperti penerbangan dalam negeri yang sering sekali delay, penerbangan ini sangat tepat waktu, bahkan cenderung terburu-buru. Padahal saya masih berencana buka puasa di boarding gate dengan makan sus coklat almond dan sebotol lemon water. apa daya, si lemon water ditahan di pintu depan karena volumenya lebih dari 100ml. Sang petugas yang menahan berkata, saya bisa ambil lagi lemon water saya itu ditempatnya jika waktu berbuka tiba. Tepat jam 17.53 waktu jam saya, saya pun (bersama Lydia) nekad keluar untuk mengambil kembali minuman dan menghabiskannya di tempat sebelum masuk kembali ke boarding gate. Waktunya sangat mendesak, kami hampir tidak diizinkan karena pesawat akan segera tinggal landas. Satu botol lemon water dan sebotol air mineral saya tenggak habis dalam waktu kurang dari 1 menit (rasanya kembung, tapi sangat melegakan haus yang menggila saat bongkar-muat-angkat koper tadi). Kami berdua pun langsung masuk ke pesawat dan duduk sesuai nomor kursi. kami sama-sama dapat di posisi isle (dekat gang). 

Pesawat itu berisi banyak sekali bule. Bule-bule pria yang melihat kami kesusahan menanikkan tas di kabin (indeed, dengan tinggi 1,5 m) tanpa diminta langsung berdiri dan membantu.
Hal itu juga yang membuka percakapanku dengan pria tua bernama Michael yang duduk disebelahku. "you're too small" katanya. "Yeah,we height only one and a half meter, so it's very difficult to put it there"

Michael adalah seorang Dutch yang cinta Yogyakarta. Dia sudah melanglang Indonesia selama 1 tahun belakangan (sejak 2009). Statusnya cerai, punya anak yang sudah besar-besar dan memberinya cucu. Di Indonesia, dia punya 2 anak angkat, satunya adalah aktor (tapi maaf michael, saya kurang paham aktor mana yang kamu maksud, coz pelafalannya mungkin beda) dan satunya seorang wanita muslim seperti saya. Dua anak angkat ini adalah anak dari pacar Michael. banyak bergaul dengan orang Indonesia, terlebih muslim, Michael tahu sedikit banyak tentang Islam, meskipun agamanya sendiri adalah Katholik, lalu pindah ke Kristen. Dia tidak bisa bahasa Indonesia, dia suka gudeg dan suka makan pakai tangan. Dia tahu juga kalau puasa bisa menyehatkan namun mengkritisi karena di acara buka puasa, makanan-makanannya sangat berlimpah seperti pesta prasmanan, dan dia fikir itu berlebihan. Well, banyak hal yang akan saya tuliskan tentang Michael ini.

Saat pesawat mulai take off dan beranjak menjauhi daratan, dia bilang, "kalo kita jatuh, kamu akan kembali ke Allah, dan saya akan kembali ke Tuhan saya".. Hupp.. saya tentu tidak pernah berharap untuk jatuh. Tapi anehnya, dia tahu saya Islam, tapi dia menyarankan saya untuk minum wine, katanya wine bagus untuk kesehatan. Bayi-bayi di Eropa biasa diberi sesendok wine, wine melancarkan peredaran darah dan membuat badan hangat" Nampak sekali kalau dia memang wine maniac (he2), Sepanjang perjalanan dari jakarta ke abu dhabi,tidak segelaspun dia minum air putih. Dia hanya minta wine dan beer pada si pramugari, padahal saya bolak balik minta air putih dan jus. Air putihnya bermerek Al-Ain, sepertinya ini adalah nama tempat di Uni Emirat, dan jusnya berlabel "ECNOR" dan semuanya tanpa pemanis. Pilihan rasanya banyak, ada apel, jeruk, nanas, tomat. Pertama saya memesan jus apel, wakks. manis dan segar sih, tapi saya tidak suka. 

Menu makan malam saat itu adalah Indonesian foods, ada keredok, ayam marinade dengan kacang panjang, ikan (kalau di sunda mungkin namanya pepes atau pesmol, tapi yang saya makan ini tidak spicy, ikannya juga lembek), serta roti, saus sambal, dan butter merk elle vire. Dua jam sebelum take off, saya dapat makanan lagi, yaitu mie instan seduh(seperti pop mie) dengan merk nissin dan minuman. namun saya tidak menghabiskannya karena kekenyangan.

Penerbangan kelas coral ekonomi di Etihad ini dilengkapi hiburan yang membuat perjalanan tidak membosankan. Ada monitor layar sentuh yang berisi banyak pilihan, mulai dari entertainment (video, audio, TV), berita, peta perjalanan dan lain sebagainya. Detail perjalannan yang sedang ditempuh juga bisa ditampilkan, ketinggian, kecepatan, suhu diluar, posisi di atas bumi, arah kompas dll. Jika penumpang belum memilih, maka yang otomatis terdengar dari audio adalah lantunan ayat-ayat suci AlQuran dengan nada yang sangat indah. Lantunan ini saya pilih saat saya akan beranjak tidur dimulai dari surat Ar-Rahman, ketika saya bangun, suara yang terdengar sudah berganti menjadi Al-fatihah.

Sampai di Abu Dhabi saya segera mencari mushola untuk menjamak takhir sholat maghrib dan Isya. Musholanya bersih, dan sama seperti di indonesia, ada tulisan "DILARANG TIDUR". Selama 3 jam transit, saya menghabiskannya dengan melihat-lihat souvenir shop dan memutuskan membeli gantungan kunci bergambar onta bertuiskan Abu Dhabi seharga 30 AED (1 AED = Rp.2.500) = Rp. 75.000. Lydia membeli magnet kulkas dengan harga sekitar 27 AED.

Bandara Abu Dhabi International ini sangat mewah, that's what Michael had told me before. Semua pegawai (penting) laki-laki mengenakan gamis panjang warna putih dan kain penutup kepala plus bando bulat diatasnya, seperti tipikal khas orang arab yang sering digambarkan. Pegawai perempuannya mengenakan gamis dan jilbab panjang warna hitam. Untuk pegawai seperti satpam, pemeriksa barang, serangam yang dipakai adalah layaknya orang biasa.

Waktu 3 jam berlalu, dan sekitar pukul 2.30 pagi wakti UAE, saya naik ke Etihad Airways tujuan Brussels dengan nomor penerbangan EY57. Oh no, di dalam satu pesawat ini saya adalah the only one who wear jilbab/veil/head cover, terbayang bagaimana nanti menjadi minoritas disana. But it's okay, Saya cukup pede dan sudah siap mental untuk diperhatikan, asal jangan diperlakukan semena-mena saja dan dituduh yang tidak2. Michel sempat bilang, kalo jilbab seperti yang saya pakai ini masih oke di Eropa, yang sering dipermasalahkan adalah yang mengenakan cadar dan berpakaian hitam-hitam. Mereka seringkali dijadikan kambing hitam dan sering juga dikira mengutil (shoplifting) di area perbelanjaan.

Terfikir bahwa saya harus puasa hari ini, saya pun meminta sang pramugari untuk memberi saya sarapan lebih awal karena saya mau puasa (saya lihat di daftar menu, sepertinya omelet, salad buah dan susu akan mengenyangkan),. sang pramugari berkata itu sulit, karena jam sarapan adalah jam 7 pagi,tapi dia akan mengusahakan dan terlebih dahulu memeriksa waktu imsyak. Untuk sementara, seperti penumpang lainnya yang juga mendapatkan snack di jam 3 pagi, saya memesan chicken sandwich dan segelas jus tomat. Yang terbayang di benak saya tentang jus tomat adalah manis dan segar seperti yang rutin saya buat setiap pagi dirumah untuk Adis, tapi jus yang ini... ASIN dan kental, saya baca di labelnya NO Sweetener, pantas! Dengan menahan nafas, saya pun minum jus tomat itu dengan bayangan, siapa tahu ini adalah the only makan sahur yang mungkin saya dapatan.

Benar saja, hingga saya tertidur dan matahari berkilauan di jendela pesawat, saya tidak mendapatkan omelet idaman. Hiks. Jam 7 pagi, aroma omelet itu menari-nari di kabin pesawat, yah, it was breakfast time dan saat sang pramugara (laki-laki, saya fikir dia orang indonesia, karena wajahnya mirip mario lawalatta) menanyakan saya mau sarapan apa, saya bilang, "No. I am not eating my braekfast" dan dia pun berlalu.. saya pun menghibur diri dengan menonton "Little Miss Sunshine" dari monitor, sambil sesekali mengecek info penerbangan. Jam 7 pagi, saya sudah berada di atas daratan rumania-hongaria, dan sekitar 45 menit akan mendarat di Brussels, suhu udara di luar 0 derajat celcius. Tentu rendah, karena saya masih berada 10.000 m diatas bumi.

Jam delapan kurang, 1 September 2010 saya  tiba di Brussels (Bruxelles), udara dingin, saya merasa mulut saya mengeluarkan kabut saat saya bernafas. Mendadak saya menjadi begitu haus, tapi saya tahan, kaeran saya berpuasa. Ketika suhu rendah, kelembaban rendah, secara otomatis rasa haus itu datang. Hal berat yang harus kami lakukan setelah keluar dari pengecekan passport adalah MENGAMBIL KOPER dari luggage belt dan membawanya turun ke lantai satu menuju stasiun yang akan membawa kami ke Sint Pieters di kota Ghent. 

Pagi itu kami dijemput oleh dwi, awardee EM 2009 yang sedang bermukim di Leuven untuk penelitian tesisnya. Untunglah, ada yang membantu meringankan urusan angkat-angkat koper ini. Oleh dwi, kami disarankan untuk membeli kartu Go Pass, kartu ini seharga 50 Euro, bisa dipakai untuk 10x trips menggunakan kereta ke seluruh kota di Belgia. Go pass hanya berlaku untuk orang yang berumur kurang dari 25 tahun. Kalau untuk dewasa, saya lupa pastinya, mungkin sekitar 8-10 euro sekali jalan. Tentu saya nggak mau rugi, meskipun umur saya 27 tahun, saya nekat juga membeli Go Pass, dan ternyata... diberi tuh. Mungkin karena kebetulan saya tidak diminta menunjukkan passport.

Dari Brussels International kami menuju utara ke kota Ghent. Kota pelajar terbesar di Flanders. Belgia, menurut bahasanya dibagi tiga daerah, yaitu daerah berbahasa Belanda di utara (Flanders), berbahasa perancis (Wallonia) di selatan dan daerah berbahasa Jerman di dekat perbatasan Jerman. Michael bilang kalau orang Flanders dan Wallonia agak kurang rukun tentang beberapa hal.Ya, mungkin nanti saya akan melihatnya sendiri.

Di stasiun Sint Pieters tidak ada eskalator yang menuju kebawah, semuanya menuju ke atas. walhasil, saya lagi-lagi harus bekerja keras. Berdua dengan lydia, saya menggotong koper2 itu sekuat tenaga, meskipun kadang limbung dan rasanya mau jatuh. Dwi melihatnya sebagai hal yang unik, dan ia pun merekamnya. Hingga sekarang saya belum melihat rekaman itu, mungkin sekali saya terlihat cupu.

Dari Sint Pieters kami naik taksi menuju kampus. Menemui pelaksana program SEFOTECH.NUT di KaHo Sint Lieven. Saat itu semuanya ada,tapi mereka sedang sibuk, jadi tidak bisa bicara banyak. Kami pun diarahkan untuk menemui Bie van de Casteele, yang mengatur masalah akomodasi. Dia memberi kami kunci dan Monika mengantar kami ke gasmeterlaan 50, tempat tinggal kami selama 4 bulan ke depan. Sayapun menuju lantai 3 (2+) untuk melihat kamar. Poor me! Kunci kamar saya tidak cocok, saya pun harus kembali (jalan kaki) ke kampus unuk menukar kunci. I was very very exhausted at that time and eventually, I decided to break my fasting with a glass of cold lime soda dan sepotong kue keju (asin) buatan dwi..

Jalan kaki ke kampus melewati pemukiman turki sangat melelahkan (karena kaki saya lecet kena sepatu, sepatu yang saya pakai adalah wedges yang memang tidak sesuai untuk jalanan berbatu (seperti paving block, tapi lebih kuat, besar dan disusun jarang-jarang). Rasa sakit itu yang mebuat saya sama sekali tidak excited. Dwi mengajak kami jalan-jalan ke centrum (pusat perbelanjaan di Ghent, jaraknya sekitar 1 km), meskipun sakit, saya tetap paksakan untuk jalan kaki kesana, karena saya bertekad untuk mendapatkan sepasang sepatu kets baru dan segera mengakhiri penderitaan saya bersama wedges hitam ini. (tadinya saya berniat membawa airwalk putih saya di Lampung, tapi lagi-lagi karena bagasi terbatas, saya terpaksa melewatkannya).

Sekedar informasi, saat itu saya sama sekali belum sempat mandi, saya tampak capek dan kucel. Seingat saya, terakhir saya mandi di Jakarta, 31 Agustus jam 1 siang, dan baru mandi kembali 1 September jam 6 sore waktu Ghent (plus perbedaan waktu 5 jam. Total = 34 jam..tapi ya sudahlah, udara dingin membuat saya tidak keringatan dan tidak bau.

0 komentar:

Post a Comment