Sunday, September 19, 2010 By: shanti dwita

Antwerpen

Seminggu belakangan teman-teman satu kelas bahasa belanda di kampus yang terdiri dari Erasmus awardee (diploma) dan juga Erasmus Mundus awardee (master) sibuk memikirkan rencana berakhir pekan ke Amsterdam. Beberapa yang telah melakukan survey bilang kalau harga tiket PP ke Amsterdam sekitar 39 euro. Setelah berdiskusi melalui facebook dan juga diskusi di kelas, akhirnya rencana tersebut ditunda, karena sulit menemukan penginapan murah di akhir pekan kalau tidak melakukan booking at least satu bulan sebelumnya. Jika ke Amsterdam hanya satu hari dan tidak menginap, rasanya melelahkan, nggak puas dan juga sayang ongkosnya :). Setelah menimbang-nimbang antara mengunjungi Brugge atau Antwerp sebagai opsi lain dalam mengisi weekend, kami semua setuju untuk melakukan city sightseeing di Antwerp.

Hari Sabtu jam 11 siang adalah waktu yang disepakati untuk berkumpul di halte tram depan kampus. Saya bangun kesiangan, jam 7 dan langsung sholat subuh (azan subuh jam 5.30). Suasana rumah sepi karena mungkin teman-teman satu rumah baru pulang dari pub dan sedang lelap-lelapnya tidur. Oya, Jumat malam diadakan gathering party teman-teman sekelas dan setiap orang yang datang wajib membawa makanan khas dari negaranya masing-masing. Saya pun bawa nasi goreng untuk dinner lengkap dengan telur dadar iris tipis, timun serta tomatnya. Tapi karena saya datang telat (undangan jam 8.30 pm dan saya dkk datang jam 9.30), teman-teman sudah telanjur kenyang dengan berbagai macam makanan yang bertebaran di meja makan, akhirnya nasi goreng saya masih sisa separuh. Saya pun kenyang bukan kepalang hanya dengan menyantap hidangan yang dibawa teman-teman turki dan tak kuasa mengambil yang lainnya. Acara kumpul bareng itu pun ditutup jam 12 malam, tapi belum selesai, karena masih ada 'pub time' hingga pagi di sekitar centrum. Untuk acara kedua itu saya nggak ikutan dan lebih memilih tidur nyaman di rumah (itupun masih membuat saya bangun kesiangan!). Oke, kembali ke topik sebelumnya. Jam 10.30 pagi saat saya baru akan mandi, seorang polisi datang ke rumah kami mencari saya. Tapi jangan khawatir, polisi ini hanya ingin memastikan bahwa saya benar-benar tinggal di rumah itu berkaitan dengan aplikasi resident permit saya di Gent. setelah saya punya resident permit, maka saat itu pula saya dianggap legal untuk tinggal dan belajar di Gent.

Jam 11.15 (molor 15 menit), saya dan teman-teman serumah, Esther dan Esteve  (Spanish) sampai di halte tram. Disana sudah menunggu Dagmara (Polish), Leandro (Brazilian), Ramon (Spanish), Alessandro dan Silvia (Italian), Marija (Serbian) dan juga Roland (Hungarian). Kami bersepuluh adalah peserta piknik ke Antwerp edisi Sabtu 18 September. Butuh sekitar 40 menit untuk sampai di Antwerp Centraal train station dari Gent St-Pieters. Selama perjalanan, Dagmara menunjukkan tempat-tempat menarik di Antwerp yang tertulis di buku panduan wisata miliknya. Ada kebun binatang yang termasuk 'tertua' di Eropa, (dengan tiket masuk 11 euro), ada juga museum berlian karena Antwerp adalah juga kota yang terkenal dengan berliannya. Berlian dan Belgia mengingatkan saya pada film Blood Diamond-nya Leonardo di Caprio, tapi saya juga belum yakin kalau berlian-berlian yang ada di Antwerp ini datang dari Afrika seperti yang tergambar di film itu. 

Empat puluh menit berlalu. Setelah melewati terowongan gelap selama kurang labih 1 menit, saya pun mulai melihat warna-warni biru lampu yang terpasang di dinding (bawah tanah) stasiun Antwerp. Marija bilang, stasiun ini adalah yang terindah di Flanders, saingannya ada di Liege (Wallonia), tapi menurutnya tetap masih bagus Central Station Antwerp. Menurut info, stasiun ini dibangun berdasarkan ide dari Louis Delacenserie dan selesai pada tahun 1905. Arsitekturnya memang sangat indah, memiliki detail khas era baroque dengan ukiran plus nuansa emas yang saya rasa juga dimiliki oleh bangunan indah lainnya seantero Eropa.













                                  Centraal Station
Antwerpen



Hawa dingin sangat terasa ketika saya beranjak keluar dari stasiun dan teman saya yang bule asli Eropa pun mengamini hal tersebut, bahkan ia merasa lebih kedinginan dibanding saya. Kata dagmara nggak heran kalau saya tidak terlalu merasakan dingin, karena panas keluar dari tubuh terutama dari bagian kepala, dan saya memakai kerudung. "So, should I put my shawl on my head just like you?' katanya sambil tertawa. Pertanyaan lain muncul dari Marija, apakah semua orang di Indonesia pakai kerudung? kenapa kamu pakai sedang Lydia nggak? Well, ya, di Indonesia pake kerudung udah hal biasa, dan soal Lydia, "we're different, I am moslem and she's catholic".. Maria dan Dagmara pun seolah mengerti dan berkata "ya,Okay, it makes sense!"     

Dari stasiun kami menuju ke pusat kota Antwerp (Grote Markt) dengan berjalan kaki selama setengah jam. Jalan kaki adalah hal yang harus saya biasakan disini, bahkan untuk jarak 3 km saya HARUS sanggup dan tidak boleh mengeluh. Saya jadi ingat di Indonesia dengan mudah saya menemukan ojek, hingga jalan kaki 500 meter pun rasanya malas. Perjalanan menuju centrum itu sama sekali tidak terasa, karena di kiri kanan jalan terdapat banyak sekali toko dengan brand-brand yang cukup terkenal di Indonesia seperti Zara, Massimo dutti, Esprit, Mango, Fossil, st Oliver, Bershka dan sejumlah lainnya yang nyaris tidak terekam di memori. Orang-orang di Antwerp ini lebih beragam, berbagai ras dari belahan bumi rasanya ada disini. Antwerp juga merupakan tujuan wisata utama di Belgia, dengan perdagangan dan pelabuhannya yang ramai. Sebenarnya Antwerp tidak terletak di tepi pantai, tapi ia punya kanal besar yang bisa dilalui kapal-kapal dan bermuara di laut utara. Antwerp juga kota mode, tak heran kalau banyak perempuan (dari segala umur) yang tampil modis dengan boot, stocking, jacket dan shawl yang terlihat fit di tubuh mereka.Yang juga menarik dari para pejalan kaki di pusat kota ini juga adalah bahwa mereka semua tertib berlalu lintas. ya, pejalan kaki juga harus manut dengan lampu merah. Kalau lampu untuk pejalan kaki masih merah, meski jalanan sepi dan tak ada tram/bus/mobil yang melintas, mereka pun tidak akan menyebrang. Oleh karena itu, setiap ada lampu merah, rombongan pejalan kaki ini pun menyemut di sudut jalan, dan ketika lampu hijau, mereka bergerak cepat seperti tawon yang sarangnya diusik. Entah kenapa, saya suka sekali melihat hal seperti ini.

                                                                lampu merah


                                                                    bubar.. jalan!!

Di tengah perjalanan, saya melihat ada toko yang menjual coklat deengan tulisan "The Chocolate Line, Paleis of de Meir". Ini pasti bukan toko biasa karena bangunannya besar dan terdiri dari beberapa lantai. saya pun mengajak teman-teman untuk masuk sejenak. Dan benar saja, toko ini tak hanya menjual coklat, tapi juga punya banyak patung yang terbuat dari coklat (tentu dengan tulisan 'Don't touch!") dan juga dengan peragaan proses pembuatan coklat dan cafe teras di bagian tengah gedung untuk menikmati segelas cokelat panas.



                        
                                               beberapa patung coklat di the chocolate line

Berjalan lagi seelama beberapa menit, saya menemukan telapak tangan raksasa yang teronggok di tepi jalan (?). Itu adalah patung telapak tangan. Mengapa ada patung telapak tangan? Ini semua ada kaitannya dengan cerita asal muasal kota Antwerp (seperti halnya asal usul batu menangisnya Malin Kundang mungkin). Alkisah, ada seorang pemuda gagah berani bernama Brabo yang berkelahi melawan raksasa jahat dan berhasil memotong telapak tangannya dan melempar telapak tersebut (dan jatuhnlah telapak tangan tersebut disana, di depan saya. Eits jangan dipercaya, saya bercanda tentang hal yang ada di dalam kurung ini). Dalam bahasa Belanda, melempar telapak tangan tersebut diistilahkan sebagai "hand werpen" dan jadilah nama Antwerpen itu hingga sekarang.  (Antwerpen = bahasa Belanda, Antwerp = bahasa Inggris). Cerita asal usul nama Antwerp ini saya dengar dari dosen fisika di kampus tempat saya belajar,  Toon van Den Abeele, yang kebetulan ditugaskan memberikan cerita tentang sejarah Belgia. Pak dosen bilang, setelah dia pensiun, dia mau menjadi Tour Guard. Hmm.. Nice idea!


                                                            telapak tangan raksasa

Akhirnya, sampailah saya di balai kota Antwerp. Setelah sebelumnya melewati "cathedral of our lady", sebuah katedral tua dengan tinggi 123m yang juga identik dengan kota Antwerp. Oya, karena kedinginan, kami pun sempat mampir sejenak (menghangatkan badan) di dalam Panos, kedai yang menjual aneka roti, sandwich, pizza dan sejenisnya. Saya pun memesan sepotong kecil vegetable pizza dengan harga 2,5 euro yang cukup panas hingga saus merah diatasnya meleleh. Sangat menggoda di siang hari yang dingin. Kembali ke balai kota, berbeda dengan balai kota di Gent atau Brugge ataupun Brussels, di balaikota Antwerp ini  terdapat banyak sekali bendera, rasanya bendera semua negara di Eropa ada disini. Tepat di depan balaikota terdapat patung Brabo dan air mancur. Di patung ini terukir sang pemuda sedang melempar tangan si raksasa dengan gagahnya (?). Karena patung ini sedikit banyak mengandung cerita historis asal usul Antwerp, maka banyak sekali wisatawan yang berpose di depannya, termasuk saya.


                               cathedral of our lady dan balaikota Antwerp (patung brabo)

Belum lengkap rasanya berkunjung ke Anwerp tanpa mengunjungi museum bahari dan juga castle "het steen/the stone" di tepi kanal Scheldt (scheldt river). Beraneka macam kapal ada disini dan tepat di depan castle, terpasanglah jangkar besar yang menandai bahwa Antwerp adalah kota pelabuhan, tempat jangkar-jangkar kapal ditancapkan. Castle-nya cukup indah dipandang, meski rasanya kalah senior dibandingkan dengan Castle of the Counts di Gent. Karena lebih muda, castle ini terasa nyaman untuk disinggahi. Terdapat juga jembatan kayu yang menghubungkan The Stone dengan bangunan lainnya (saya tidak tahu namanya dan juga tidak kesana karena jauh). Di sepanjang tepian jembatan  kayu terdapat teropong untuk melihat jauh ke seberang sungai meski rasanya tidak ada yang menarik di depan sana selain pepohonan dan juga gedung bertingkat. Untuk menggunakan teropong, cukup memasukkan koin 50 sen dan teropong pun siap digunakan.


                                                     jangkar raksasa dan the stone

Sebelum mengakhiri perjalanan, kami bersepuluh pun mampir di kedai minuman dan memesan coklat panas (padahal kalau di Gent, teman-teman saya ini selalu memesan bir, mungkin hawa dingin memaksa mereka untuk berpaling sementara dari minuman kegemaran mereka :P). Dengan habisnya coklat di dalam cangkir plus sepotong spekulaas renyah, maka berakhir pulalah city sightseeing di kota Anywerp Sabtu itu. Kami pun pulang menggunakan kereta IC seperti halnya saat berangkat. Saya menggunakan kartu GoPass yang saya beli seharga 50 euro untuk 10 kali perjalanan ke seluruh Belgia. Setiap kali perjalanan (one way), saya harus menuliskan hari, tanggal, tempat asal dan tujuan di kartu GoPass tersebut dan kebetulan perjalanan pulang ke Gent dari Antwerp itu adalah perjalanan saya yang kesembilan. Mungkin hari itu sudah ditakdirkan menjadi hari terakhir saya menggunakan GoPass karena sungguh di luar dugaan, petugas pengontrol tiket meminta saya menunjukkan kartu identitas. Daann.. kena kau! Ketahuan kalau umur saya 27 tahun, saya pun diminta untuk memberikan alamat di Gent plus diwajibkan membayar denda atau membiarkan kartu GoPass saya disita. Saya memilih opsi ketiga. Kartu GoPass ini sebenarnya ditujukan untuk mereka yang bermur 25 tahun atau kurang. Untuk yang berusia di atas itu, kartu yang harus dibeli adalah RailPass dengan harga 70 sekian euro (mahhaaalll). Ya, setidaknya hari itu saya dapat pelajaran berharga. Yang pertama, belilah tiket reguler untuk plesir di akhir pekan karena biasanya ada diskon, apalagi untuk yang berjarak dekat seperti Gent-Antwerp atau Gent-Brussels (9 euro belum diskon). Kedua, pakailah GoPass or even RailPass untuk perjalanan jauh yang tarifnya mahal, seperti misalnya dari Gent ke Liege atau daerah-daerah lain di Wallonia. Pelajaran pun selesai.



0 komentar:

Post a Comment