Sunday, September 12, 2010 By: shanti dwita

BRUGGE


Brugge merupakan ibukota dari West Flanders yang terletak di barat laut Belgia. Karena termasuk wilayah Flanders, maka bahasa yang digunakan di daerah ini adalah bahasa Belanda. Sedikit mengulas tentang bahasa, di Belgia terdapat tiga bahasa yang digunakan, yaitu Belanda, Perancis dan Jerman. bahasa Belanda dipakai di wilayah Flanders, Perancis dipakai di Wallonia dan Jerman digunakan oleh 80.000 orang yang bermukim di perbatasan Belgia-Jerman.

Brugge ditetapkan sebagai kota warisan dunia (World Heritage Site) oleh UNESCO sejak tahun 2000. Mungkin kriteria tradisi budaya serta arsitektur kota yang sangat bernuansa abad pertengahan (medievel architecture) yang membuat kota ini dinobatkan sebagai warisan dunia bersama patung Liberty di Amerika, Westminster Abbey di UK, piramid Giza di mesir dan ratusan lokasi-lokasi lainnya di seluruh dunia. 

                                                        bangunan khas Brugge

Memasuki kota Brugge, selain terpampang logo UNESCO, saya disambut dengan bangunan-bangunan yang unik berdinding batu bata merah dengan atap segitiga berdetail gerigi dan cerobong asap. Kata bu Frieda, arsitektur ini mirip sekali dengan yang ada di Belanda, hingga rasanya  melihat Brugge sama seperti melihat Belanda secara umum (kecuali tulipnya mungkin yang tidak bisa ditemukan di Brugge). Di akhir pekan, kota ini sangat ramai dengan wisatawan dari berbagai negara. Hal  itu terlihat dari beragamnya plat nomor mobil yang parkir di sekitar kawasan wisata Brugge. Pak Eddy pun selalu menjawab semua pertanyaan tentang plat nomor yang saya ajukan, misalnya huruf "D" artinya Deutschland/Jerman, "F" untuk France, "PL" untuk Poland dan banyak lagi lainnya. Semua plat nomor kendaraan Eropa memiliki logo/sticker 12 bintang kuning dengan background biru (logo uni Eropa). Untuk mobil dari dalam Belgia sendiri warna platnya merah dengan latar putih, sedangkan dari luar belgia, warna hitam dengan latar kuning, persis seperti plat angkutan umum di Indonesia. 

Benar-benar beruntung saya kesana ditemani oleh pak Eddy dan bu Frieda yang sangat mengerti tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi. Meskipun hanya sebagian kecil dari Brugge yang saya lihat, tapi secara garis besar saya tahu bahwa kota ini tepat sekali untuk dijadikan tujuan wisata. Lokasi pertama yang kami lewati adalah Belfort (the belfry tower of Bruges), terletak di Markt (Market square), memiliki tinggi 88 meter dan terdapat 47 lonceng di dalamnya. Konon, kesemua lonceng itu punya bunyi yang khas yang berbeda satu dengan lainnya. Belfry tower ini menjadi salah satu simbol kota Brugge dan terbuka untuk umum. Dengan membayar sejumlah uang (saya tidak tahu pasti), wisatawan bisa naik dan melihat pemandangan seluruh Brugge dari atas. Bu Frieda mengatakan bahwa pondasi yang berada di bawah Belfry Tower ini dialasi oleh kulit sapi (terbayang banyaknya kulit sapi yang terpendam di bawah sana), oleh karena itu setiap tahun Belfry Tower mengalami perubahan kemiringan seperti halnya menara Pisa di Italia.

                                                                       Belfort

Dari Belfort, sambil berjalan, kami melewati banyak sekali kanal. Sabtu itu wisatawan yang datang sangat banyak, dan sebagian besar dari mereka menggunakan perahu (dipandu seorang travel guide) menyusuri kanal-kanal dengan harga tiket 6,9 Euro untuk 30 menit perjalanan.  Karena banyaknya kanal (sungai), maka Brugge juga disebut sebagai Venesia dari Utara (guru bahasa Belanda saya, Erik, bilang, Genoa of the North). Konon, dulu kanal-kanal ini berukuran sangat lebar karena Brugge merupakan kota perdagangan yang dilintasi oleh banyak kapal. Seiring waktu berlalu, perubahan kondisi geografis-pun terjadi dan Brugge tak lagi berada di dekat lautan (jangan tanya kenapa). Wisata perahu ini rasanya hampir sama dengan yang biasa saya temui di Gent, meski di Gent kanalnya lebih sedikit. Harga tiketnya pun hanya beda 0,4 Euro karena untuk berperahu ria di Gent, euro yang perlu dirogoh adalah 6,5 (saya juga belum mencoba sih!).


                                              menyusuri kanal dengan perahu

Karena banyak sekali kanal di Brugge, otomatis jumlah jembatannya juga melimpah. Hampir semua jembatan memiliki bentuk yang sama, yaitu dengan detail lorong-lorong setengah lingkaran di badannya. Ketika saya tanya bu Frieda, jembatan berbentuk seperti ini lekat  sekali dengan suasana romantis. Oleh karena itu, banyak sekali lukisan tentang kota Brugge menampilkan jembatan sebagai objeknya. Di kanal kecil terdapat banyak sekali angsa putih yang merupakan simbol cinta. Angsa selalu setia, kata bu Frieda. Saat pasangannya mati, angsa jantan tidak akan mencari pengganti dan akan betah hidup melajang hingga maut memanggil (saya baru tahu hal ini). Angsa di Brugge diberi tag pada bagian kakinya, mungkin agar tidak hilang sekaligus untuk menghitung populasi angsa di kawasan itu (saya jadi teringat mata kuliah bioper tentang fish tagging and marking). 

                                              jembatan romantis dan angsa setia

Dari kanal, kami berjalan lagi menuju the Brug Square, tempat dimana city hall (kantor pemerintah setempat) berdiri. Brug square dan Markt square sebenarnya sama-sama town square di pusat lota Brugge, tapi ukuran Markt square lebih besar. Jika diperhatikan pada gambar yang saya upload di bawah, ada empat bendera yang terpasang di bangunan balai kota. Yang paling kanan, merah putih dengan singa biru di tengahnya adalah bendera Brugge, disampingnya terdapat bendera kuning dengan singa hitam  yang merupakan bendera Flanders,  lalu ada bendera Belgia (hitam, kuning, merah) dan yang terletak di sebelah kiri adalah bendera Uni Eropa, berwarna biru deengan 12 bintang yang terangkai menjadi sebuah lingkaran. Oya, kalau dilihat dari arsitektur bangunannya, city hall ini memiliki detail ukiran keemasan di dindingnya (setelah saya tanya mbah Google, ternyata arsitektur seperti itu disebut bergaya Renaissance).


                                                                  city hall

Selain city hall, di sekitar center juga terdapat museum Salvador Dali . Saya agak familiar dengan nama ini karena di SMA guru kesenian saya mengajarkan bermacam-macam aliran lukisan dan nama-nama pelukis yang terkenal dari berbagai masa, mulai dari  medievel (pertengahan), renaissance, romantic dan lain sebagainya. Tidak hanya lukisan yang ada di dalam museum, tapi juga karya seni lainnya, seperti patung. Bu frieda bilang, di Brugge terdapat karya asli Michael Angelo berupa patung, namun beliau tidak bisa mengantar saya melihatnya karena waktu yang semakin sore.

Bu frieda pun kemudian mengajak saya menyusuri jalanan terkecil yang ada di Brugge (kalau di Indonesia biasa di sebut gang) yaitu de Garre. Jalan ini jalan buntu, di tembok-tembok yang kami lewati banyak terpasang pamflet dan diujung jalan terdapat sebuah restauran yang saya lupa namanya. Oleh karena itu, setelah dengan sengaja menemui "dead end" kami pun berputar balik dan kembali melewati jalanan dengan lebar satu meter itu.

                                                                   de Garre

Sebelum memasuki de Garre, saya  juga sempat membeli beberapa kartu pos (akhirnya dibelikan oleh Pak Eddy karena uang saya 20 Euro dan si pemilik toko menolak uang besar). Salah satu kartu pos bergambar kincir angin seperti yang ada di Belanda. Saat itu saya tidak tahu apa bahasa Inggrisnya kincir angin, pun tidak tahu nama lokasi tempat kincir angin itu berada tapi saya ingin sekali melihatnya. Akhirnya, saya keluarkanlah si kartu post dan menunjukkannya pada Pak Eddy.. "Ooh..you wanna see the windmill?" Saya pun mengangguk. Pak eddy yang baik hati  bersedia mengantar, namun karena letaknya agak jauh dari pusat keramaian Brugge, kami harus kembali ke tempat parkir dan mengendarai mobil menuju kesana.  Setelah 10 menit berkendara, kami sampai di kincir angin yang bernama The Bonne-Chiere. Kincir itu dibangun di atas sebuah gundukan tanah serta rumput hijau yang sangat indah. Itu kali pertama bagi saya melihat sebuah kincir angin. Benar-benar seperti sedang berada di Belanda. Di sekitar windmill, terdapat taman (mungkin lebih tepat disebut lapangan rumput agak luas) dengan jalanan sempit tepi kanal yang dinaungi rindangnya pepohonan. Di area rumput tadi saya melihat banyak orang bermain anggar, mungkin sebuah klub anggar sedang latihan rutin. Di jalanan yang sempit saya juga menyaksikan banyak orang berlalu lalang dengan berbagai aktifitas, ada yang bersepeda, berjalan bersama anjing, duduk di bangku, yah..sepertinya mereka semua menikmati hari sabtu yang cerah di Brugge. Benar-benar cerah, dan entah mengapa saya menjadi suka sekali cuaca cerah dengan matahari hangat. Mungkin karena di Gent selalu dingin, berangin dan lumayan sering hujan.

                                                     The Bonne-Chiere Windmill

Di kanal yang cukup besar (masih di area windmill), rombongan yacht (perahu pribadi) akan melintas. Seperti halnya kereta api yang akan lewat, sirine pun berbunyi dan sejenak kemudian jembatan yang tadinya rebah dengan santainya pun mulai terangkat. Mobil dan sepeda yang akan melintas menyeberangi kanal agaknya harus  berhenti sementara hingga rombongan yacht habis. Sebenarnya tepat di depan rumah tempat saya tinggal di Gent juga ada jembatan sejenis yang juga akan terangkat saat ada perahu yang akan lewat. Saya sempat melihatnya sekali dari jendela namun tak perrnah ingin memotretnya. Tapi lain dengan yang saya lihat di Brugge ini, saya memotretnya dengan senang hati.

                                                            jembatan terangkat

Sebelum mengakhiri perjalanan, pak eddy dan bu frieda menunjukkan satu tempat lagi yang cukup terkennal di Brugge, yaitu the Beguinage. Beguinage adalah kompleks gereja tua, dengan bangunan berwarna putih, tidak tinggi, dengan kusen-kusen hitam dan cerobong asap. Gerejanya sendiri terbuat dari bata yang tidak diplester dan tampak sangat sederhana. Di kawasan ini banyak sekali peringatan bahwa pengunjung tidak boleh membuat keriuhan, walhasil semua wisatawan tampak mengecilkan volume suaranya saat bercakap-cakap. Suasana hening yang tercipta benar-benar membangkitkan aura "tua" pada kompleks ini, dan mungkin saja dugaan saya bahwa bangunan ini berumur 1000 tahun benar adanya. Oya, mungkin ada yang bertanya, mengapa harus hening? "karena para biarawati tinggal di area ini, jadi tidak boleh berisik", kata bu Frieda.


                                                               the Beguinage

yahh..  selesai sudah perjalanan saya di Brugge sabtu itu. Sangat menyenangkan mengenal pasangan pak Eddy dan Bu Frieda yang begitu baik pada 'orang asing yang baru dikenal' seperti saya. Saat mengantar saya kembali ke Ghent, beliau pun berkata akan mengundang saya untuk makan bersama mereka di Aalter bulan Oktober nanti, sepulangnya mereka dari liburan di Spanyol.


2 komentar:

Nayarini said...

jadi seperti homestay student nih, nemu orang tua angkat hehehe...lucky you!

shanti dwita said...

hehe.. iya mbak, jodoh kayaknya sama bapak yang satu itu, orangnya baik banget.. :P

Post a Comment