Friday, September 10, 2010 By: shanti dwita

Lebaran sendu


Gema takbir membahana di kedutaan RI Jumat pagi waktu Brussels. Mata saya berkaca-kaca dan selalu begitu saat takbir itu berkumandang. Entah mengapa, rasanya hari itu saya begitu melankolis. Saya tidak sedang teringat akan ibadah puasa saya yang bulan ini banyak bolongnya karena alasan biologis, saya juga tidak sedang teringat akan tilawah aquran saya yang minim selama Ramadhan ini. Lalu apa yang harusnya saya tangisi? Ya, sebuah hal manusiawi yang memang hanya ada pada jiwa seorang manusia. Rasa sepi di tengah hingar bingar ratusan orang yang bertegur sapa dan saling bersalaman sambil menikmati aneka hidangan khas nusantara.  Rasa hampa saat harus tersenyum riang kala lensa kamera menjerat. Saya pun mendapati bahwa apa yang ada di dalam foto tak pernah nyata. Tidakkah orang tahu duka, cemas, sedih dan takut yang tersembuyi di balik wajah seorang yang sedang tertawa ‘pura-pura bahagia’ di dalam satu foto? Itu yang saya alami. 

Sungguh saya menangis mendengar doa di akhir khutbah karena saya teringat orang-orang tercinta yang berada jauh, belasan ribu kilometer jaraknya dari tempat saya duduk sambil mengangkat tangan. Bukan sedang menangis haru atas doa tentang kemajuan bangsa Indonesia yang sedang dipanjatkan Bapak ustadz di depan sana. Sungguh saya berlinangan air mata karena hati saya pedih tak bisa mendekap mereka dengan hangat, tak bisa merasakan renyahnya canda tawa, tak bisa menenangkan gundah si kecil yang terus bertanya pada ayahnya “dimana ibu?”

Angin dingin membuat saya gemetaran di sana. Memasuki akhir musim panas dengan suhu 16-17oC bukan perkara mudah bagi indera tubuh saya yang sedang susah payah beradaptasi. Dingin itu membuat saya sadar, saya jauh. Melihat orang-orang yang hilir mudik dengan sepatu boots hangat serta coat tebal membuat saya ingat, saya tidak di Indonesia. Mendengar banyaknya orang bercakap-cakap dengan bunyi “R” yang samar, membuyarkan lamunan saya tentang lebaran yang biasa saya alami bersama keluarga. Mereka bicara bahasa Belanda, Perancis, Inggris, apapun itu.  Saya pun yakin, saya benar-benar jauh. 

Lontong, opor ayam, rendang, sayur lodeh, sambal goreng hati-kentang, asinan, telur bacem, kerupuk jala, bakso, nastar, lapis legit, cendol, wajik, kacang mede, semua ada. Disajikan dengan kemurahan hati kedubes RI di Brussels secara cuma-cuma  untuk semua warga Indonesia yang hadir disana Jumat pagi 10 September. Sepuluh hari lebih meninggalkan Indonesia belum membuat saya terlalu rindu pada semua makanan itu, namun, seketika pesawat lepas landas, saya merasa begitu rindu pada mereka semua, saya merasa begitu cemas, akankah saya mampu bertahan? Jika iya, maka akan seberapa lama? 

Sekarang saya jauh. Saya mulai begitu ingin tahu. Apa sebenarnya yang membuat saya bahagia di dunia ini? Saya meminta agar Allah mengabulkan doa saya agar saya diterima menjadi pengajar di universitas negeri untuk menenangkan hati orangtua tercinta. Permintaan itu diluluskan, saya pun dikirim 400km jauhnya dari ‘rumah’ untuk mengambil surat kelulusan saya itu. Lalu, saya berdoa lagi untuk mendapatkan beasiswa di Eropa. Doa saya pun lagi-lagi didengar, dan disinilah saya sekarang, 13000 km mendekati utara bumi jauhnya dari Indonesia. “Maka nikmat Allah yang manakah yang engkau dustakan?”  Sungguh, nikmat itu melimpah. Tapi berlebihankah jika sekarang saya meminta (lagi lagi dan lagi), “Ya Allah, kirimkan suami dan anakku kesini agar aku bisa tenang dan bisa merasa tidak takut akan apapun, kecuali pada-Mu?”

ending
"Do you know where you're going to? Do you like the things that life is showing you? Where are you going to? do you know?
Do you get what you're hoping for? When you look behind you there's no open door. What are you hoping for? Do you know?"
(Diana Ross - Do You Know)

6 komentar:

Nayarini said...

mudah2an mereka bisa segera menyusul ya :-) supaya belajarnya tenang

shanti dwita said...

makasih mbak rini

odjie said...

semangat shan..cuma beberapa bulan ini,anggap aja plesiran sambil ngumpulin foto2 luar negeri.hehehe

shanti dwita said...

apaa?? bulan katamu?? tidaaaaakk.. gw 2 tahun teman, tapi juni-lebaran 2011 kayaknya gw mudik ke lampung.. Oke, gw semangat selalu kok.. Makasiihh banyak zi:P

odjie said...

ya kan 2 tahun itu 24 bulan juga kan shan:)


kalo lu ke negara mana aja sih shan??

shanti dwita said...

haa.. 24 bulan ya?? gw kira 6 bulan.. hiks. lama.
Gw januari ke portugal, abis itu ke irlandia, jerman, dan mungkin tahun terakhir di Madrid (kalo jadi dapet pembimbing di Institute del Frio), kalo nggak, ya hunting tempat penelitian lain, entah dinegara mana.. :P
Masih panjang zi jalannya menuju MSc :(

Post a Comment