Tuesday, January 4, 2011 By: shanti dwita

Lisbon day 3

Minggu 2 Januari 2011 menjadi hari terakhir saya di Lisbon. Saat saya membuka jendela kamar di pagi hari, kota para pengarung samudera begitu berkabut. Saya berguman bahwa hari itu suhu udara akan lebih dingin dari hari sebelumnya. Agak malas rasanya mengemasi barang karena saya rasa saya telah begitu klik dengan Lisbon, residence, juga teman-teman baru saya. Tapi tentu, saya harus pergi ke Porto karena Seninnya saya akan memulai kuliah di Catolica untuk modul fats and oils. Itinerary untuk hari itu adalah mengunjungi Belem, 6 kilometer dari pusat kota Lisbon, tempat bersejarah dimana banyak pelayar2 kenamaan menarik jangkarnya dan berangkat menemukan "dunia baru". Salah satunya adalah Vasco da Gama yang bertolak menuju India di 1497 melewati Tanjung Harapan di selatan Afrika.

Jam 11 pagi, lewat 1 jam dari jadwal yang telah disusun, kami berangkat dari residence di Quinta das Conchas menuju Cais do Sodre dengan metro dan berganti dengan tram yang akan membawa kami ke Belem.  Kabut terasa makin tebal dan jarak pandang mungkin hanya berkisar 100 meter saat kami tiba disana. Antrian di depan Mosteiro dos Jerónimos yang cukup panjang kemudian menarik minat kami untuk ikut bergabung di dalamnya. Khusus untuk hari Minggu/Dimanche, kawasan monastery itu dibuka secara gratis untuk wisatawan. Setelah antri selama kurang lebih 10-15 menit, saya dan teman-teman langsung masuk ke area hall dengan arsitektur gothik berwarna coklat muda keemasan yang saya akui cukup indah.  Konon, bangunan ini dibuat pada tahun 1502 dan memakan waktu 50 tahun untuk menyelesaikannya, relatif cepat dibandingkan pembangunan Pantheon di Paris. Waktu 50 tahun cukup untuk menuangkan banyak aliran seni pada Jeronimos, hingga bukan hanya Manueline style (sebutan untuk gothik Portugis  style), yang mengilhami  desainnya,  tapi juga Renaissance dan Classical style.  Ukiran-ukiran yang tertoreh di dinding kapur Jeronimos mengingatkan saya pada detil serupa yang saya jumpai di Placa Espanha, Sevilla. Portugis dan Spanyol, sebagai negara tetangga, memang berbagi banyak kesamaan, mulai dari tipikal bangunan hingga makanan. Pohon jeruk berbuah lebat yang merupakan ciri khas Sevilla bisa saya  jumpai di beberapa sudut jalan di Lisbon.

Jeronimos Monastery inside
Jeronimos dari luar dengan backround kabut pekat

Di kawasan monastery, terdapat juga gereja  Santa Maria yang pembangunannya dinakhodai oleh João de Castilho, seorang arsitek Spanyol. Vasco da Gama diyakini sempat berdoa di kawasan monastery dan juga gereja ini sebelum pelayarannya menuju India. Saya sempat masuk ke dalam Santa Maria seusai misa minggu pagi itu, dan saya melihat ada patung Vasco da Gama dalam posisi rest in peace di atas peti mati. Begitu lekatnya image Vasco juga para pelayar Portugis dengan area monastery menjadikan kawasan ini sebagai simbol "Age  of  Discovery" bersama dengan Belem tower (Torre de Belem).

Vasco da Gama di dalam st. Maria

Tak jauh dari Jeronimos, kami menyeberangi underpass menuju Discoveries Monument, sebuah bangunan yang didirikan untuk mengenang 500 tahun pelayaran para pelaut Portugis. Digambarkan di bangunan itu, sebuah kapal besar dengan beberapa 'punggawa'nya, dimulai dari Raja Manuel I, Prince Henry serta pelaut kenamaan seperti Vasco da Gama, Magellan dan Cabral.

Discovery monument

Lima ratus meter berjalan menapaki tepi utara Sungai Tagus, membawa kami berlima ke Torre de Belem, sebuah kastil yang pernah dipakai sebagai benteng saat pasukan Portugis berperang melawan Spanyol yang berniat menduduki Belem. Fungsi tower itu kemudian berubah sebagai mercusuar bagi kapal-kapal yang akan berlabuh di pantai Lisbon. Sama dengan Jeronimos, kastil 4 lantai ini dibangun ala Manueline style di muara Sungai Tagus. Tepat di muara sungai Tagus yang sekarang menjadi bagian dari Pantai Lisbon ini,  ratusan tahun yang lalu  kapal-kapal pelayar Portugis berangkat mengitari bumi.

Torre de Belem- cloudy foggy afternoon

Setelah merasa cukup mengambil beberapa snapshots di kawasan Belem tower, kami bergegas mencari tempat untuk makan siang. Pilihan pun jatuh pada Mc.Donalds dengan paket BigMac berisi burger sapi, kentang serta ice lemon tea  medium seharga 5euro. Saat menikmati burger di kursi luar McD, matahari mulai muncul, gosh! Jam 3 siang. Benar-benar hari berkabut yang sungguh terlalu. Diiringi musik ala indian yang dimainkan oleh "pengamen" berkostum indian lengkap dengan aksesoris tulang dan bulu-bulu, menjadikan makan siang itu cukup menyenangkan. Selesai dengan Mc.D, persinggahan berikutnya adalah Antiga Confeitaria de Belem, sebuah kafetaria di Rua de Belem yang berdiri sejak 1837. Kafe ini menyediakan hidangan khas yang disebut Pasteis de Belem, sebuah tart dengan isi custard manis dan lembut, ditaburi cinnamon bubuk serta gula pasir yang menciptakan aroma yang sangat istimewa. Mencoba sepotong Pasteis membuat saya sangat ketagihan, entah resep kuno macam apakah yang digunakan hingga banyak sekali orang yang mengantri di luar kafe demi mendapatkan sepotong Pasteis.

pasteis bekas gigitan saya :D

Selesai makan pasteis dan berpamitan dengan sahabat-sahabat baru saya di Lisbon, saya kemudian menaiki bus 28 yang akan membawa saya ke stasiun Oriente. Tiga hari di Lisbon yang menyenangkan pun berakhir. Jam 5 lewat tiga menit, kereta Alfa Pendular datang dan saya pun kembali berada di atas kereta yang akan membawa saya kembali ke Porto. Beda dengan intercidade yang saya naiki pada saat berangkat, kereta alfa pendular lebih mewah dengan kecepatan maksimum 220 km/jam, juga dengan gerbong resturant dan tempat duduk yang lebih nyaman. Menonton Legends of the Fall-nya Brad Pitt dari netbook hingga usai membuat perjalanan ke Porto tidak terlalu terasa, karena beberapa saat setelah film usai, saya sudah berada di Villa Nova de Gaia, 1 stasiun dari Porto Campanha, tempat saya akan turun dan menuju Marques.

0 komentar:

Post a Comment