Tuesday, January 4, 2011 By: shanti dwita

Lisbon day 2

Kali pertama saya makan di Chinese restaurant adalah di Sintra, perbukitan indah di barat laut Lisbon. Itu pun bukan karena kesengajaan, namun lebih sebagai pelarian setelah lebih 1 jam menunggu bus 434 yang seharusnya membawa saya dan teman-teman EM ke Moorish Castle (Castelo dos Mouros) dan Pena Palace. Terletak tepat di depan Sintra tourism office, 100 meter berjalan kaki dari stasiun, Chinese resto  dengan bangunan merah berdetail khas negeri tirai bambu ini tampak begitu menggoda saat dingin terasa menusuk. Kami berenam, saya, mbak Dian, Elias, Avit, Bayes dan Sherdrov pun masuk dan memesan menu lengkap untuk 6 orang. Tak ada yang spesial dari menu hari itu karena hampir semua sudah pernah saya coba di Indonesia. Tak perlu menunggu lama, seorang pelayan bermata sipit yang mungkin direkrut untuk benar2 menambah aura China datang ke meja kami. Diawali dengan chicken soup panas sebagai appetizer, serta aneka hidangan lain seperti nasi goreng, mie goreng, Peking duck, ayam masak almond, udang asam manis, udang cah jamur, dan hotplate ayam saus bawang putih, kami berenam makan dengan bersemangat. Bagi saya, the best part was chicken with garlic sauce, benar-benar tasty! Untuk dessert, mereka menyuguhkan buah leci dengan sirup. Untuk keseluruhan menu yang benar2 bikin nampol itu, kami berenam membayar 52 euro.

Dari Chinese resto, meskipun tertutup kabut tipis, kami bisa melihat Castelo dos Mouros yang berada di atas bukit. Bangunan batu yang berdiri kokoh itu seolah merayu kami untuk segera mendatanginya. Tapi sayang, hari itu, 1 Januari, bus 434, satu-satunya bus yang bisa membawa para wisatawan lagsung ke Mouros tidak beroperasi. Kami pun sepakat untuk berjalan kaki tanpa tau pasti jarak yang harus kami tempuh. Dan dimulailah "pengembaraan" dengan tema "Castle hunting" dengan jumlah peserta di garis start 6 orang. Dua puluh menit pertama terasa sangat menyenangkan karena di kiri kanan ada banyak scene indah yang bisa difoto. Pun saat memasuki kawasan souvenir shop, yang membuat saya teringat pada kios-kios di dalam kawasan wisata Tangkuban Perahu, semua begitu menakjubkan mata. Tipikal jalanan yang berbatu, berbentuk kotak-kotak kecil dan disusun menyerupai puzzle seolah melengkapai nuansa Sintra yang juga disebut sebagai UNESCO's World Heritage Site. Tipe jalanan seperti ini  hampir sama seperti yang ada di Belgia, namun ukuran batu yang digunakan lebih kecil dan permukaannya lebih rata.

jalanan di Sintra

Lepas dari Sintra kota, kami mulai mendapati jalanan sunyi, beraspal halus yang lazim dilalui bus menuju kastil. Di tepi kanan dan kiri adalah hutan dengan lembah yang melandai serta beberapa bangunan tua yang berjarak sekitar 100m satu sama lain. Semakin kami mendaki ke atas, semakin jarang bangunan yang kami temui. Hal yang cukup menenangkan adalah bahwa bukan hanya kami wisatawan kesorean yang nekat berjalan kaki, ada beberapa wisatawan lain yang juga jalan kaki, meski mereka berjalanan ke arah yang berlawanan, dengan kata lain, kembali ke kota. Beberapa dari mereka bilang bahwa gerbang kastil ditutup, sehingga mereka tidak punya pilihan lain selain kembali. Hm... beberapa dari kami pun mulai goyah, dan berniat balik badan. Namun, Elias, teman dari Ethiopia bilang, "Plis, don't waste it, kita sudah jalan kaki 1 jam lebih, saya ngga mau balik sebelum nemuin kastil!" Yaa, alasannya masuk akal juga, mungkin dalam beberapa saat lagi kami akan sampai. Namun, plang-plang di tepi jalan yang menunjukkan angka 9,2 agak menggoyahkan hati kami. Dua ratus meter berjalan, angka itu berubah menjadi 9. Apakah itu berarti kami masih harus berjalan 9 km lagi menuju gerbang Mouros? Tidaaaaakkk.... Andaikata kontur jalannya rata, tidak menanjak, tidak dingin, tidak gerimis juga tidak menjelang senja, mungkin kami berenam akan bersama-sama sampai di puncak. Kenyataannya? Dua dari kami, Bayes dan Sherdrov mengundurkan diri dan memilih pulang ke Lisbon.  Tersisalah 4 orang penuh determinasi yang bertekad bulat menemukan pintu gerbang kastil, hanya pintu gerbangnya saja karena diyakini 100% bahwa kastil Mouros ditutup 1 Januari. Singkat kata, kami berempat, four musketeers, sampai di pintu masuk. Seekor kucing hitam tua menyambut kami, ya, hanya kucing, bukan penjaga loket yang siap menerima 14 euro dari tiap wisatawan yang hendak menikmati indahnya pemandangan Lisbon dari puncak Mouros. Tak ingin merasa sedih, kami pun membuat foto-foto konyol dan tertawa terbahak-bahak hingga lelah seolah sirna.

Castelo dos Mouros, gambar diambil dengan extra zoom 
setelah menempuh 1/3 perjalanan (intinya : masih jauuh)


Di dalam kereta yang akan membawa kami pulang ke Lisbon, kami semua tertidur. Tampaknya 4 jam berjalan kaki cukup membuat kami merasa "sedikit" lelah meskipun belum berhasil membuat kami berencana menyudahi perjalanan. Tiba di Rossio, stasiun dalam kota Lisbon, kami kemudian berencana untuk makan malam di Bangla Restaurant, rumah makan dengan menu khas Asia Selatan. Mbak Dian bilang, kari ayam dan roti chapatinya benar-benar enak. Bangla resto ini berada di kawasan Martim Moniz, tempat yang diyakini "rawan bahaya" karena banyaknya penduduk migran yang berdiam disini. Memasuki kawasan Martim Moniz, kesan yang tampak adalah gelap, kotor dan tidak terawat. Di kanan-kiri jalan banyak migran yang berdiri mengobrol, umumnya mereka berasal dari China, India dan sekitarnya serta Afrika. Di jalanan ini pula, grocery shop yang menjual bumbu-bumbu Asia berada. Teman saya Avit membeli bumbu Briyani, dan bilang di pertengahan Januari dia akan memasak masakan Bangladesh dan mengundang kami semua. Sayang, tanggal itu saya sudah berada di Porto. Ajakan makan malam bersama juga datang dari teman2 EM, untuk Minggu malam, 2 Januari di rumah makan khas Nepal. namun kembali saya sesalkan, karena minggu malam saya pasti sedang di atas kereta menuju Porto. *sigh

Rumah makan khas Bangladesh yang kami datangi menyajikan menu-menu khas Asia Selatan yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Yang familiar bagi saya hanya Chapati, Pharata, Curry juga Nasi Biryani karena keempat makanan itu bisa didapat di Indonesia. Tak mau berspekulasi, akhirnya makanan itu juga yang saya pesan disana karena di buku menu tidak ada definisi setiap dishes dan sang pelayan juga tidak bisa bahasa Inggris. Satu piece roti chapati hangat plus kari kambing full spices pun segera saya nikamati. Rasanya tak beda jauh dengan yang pernah saya buat di Gent saat sedang getol-getolnya bereksperimen masakan. Itu tandanya, saya bisa disetarakan dengan koki rumah makan ini kan? Agak menyesal juga memesan kari kambing, meskipun saya akui rasanya lezat walau tidak sepedas yang saya angan-angankan. Mustinya saya memesan makanan lain yang benar-benar khas Bengali. Mudah2an ada lain waktu untuk mengunjungi Bangla resto dimanapun, bahkan jika memungkinkan saya ingin mencicipinya di tempat asalnya, Bangladesh. Oya, untuk 1 pc chapati juga semangkuk kecil lamb curry, saya membayar hampir 9 euro. Hiks.. mahaaaall.
 

0 komentar:

Post a Comment