Wednesday, November 16, 2011 By: shanti dwita

Berlin

Satu dari kota-kota di Eropa yang ingin sekali saya kunjungi adalah Berlin, selain Paris dan Roma. Rencana itu terwujud Sabtu pagi 12 November , saat saya menginjakkan kaki di ZOB messe nord bersama ketiga teman dari Gent.  Udara dingin menggeliatkan badan saya seolah terkena temperature-shock setelah 12 jam berada di bus yang cukup hangat, jelas hangat karena kaki saya saya jejakkan di heater bus selama perjalanan.  Memenuhi insting untuk menghangatkan diri, kami berempat menuju ruang tunggu terminal yang pagi itu sarat penumpang yang berdatangan dari berbagai kota di Eropa, mayoritas berasal dari Eropa Timur. Di depan saya duduk seorang ibu-ibu tua yang sama sekali tidak ramah, ia duduk di atas heater namun barang-barangnya dijejerkan di dua bangku kosong di sisi saya. Saat seorang teman hendak duduk, ia pun dengan bersungut-sungut  beranjak dari heater dan membereskan barangnya di satu kursi, lalu menduduki kursi lainnya. Walhasil, teman saya batal duduk di sebelah saya.  Perawakannya kecil, rambutnya panjang, hitam kemerahan, berkulit keriput, suara serak. Aihh…

Di sisi kiri, masih di depan saya,ada seorang backpackers dari Kanada yang wajahnya mirip Clark di serial Smallville a.k.a Superman. Dia juga tiduran di atas heater yang panjangnya sekitar 2 meter. Sungguh suhu dingin membuat semua orang ingin mendekat ke heater. Andaikata heater itu bisa dilipat, mungkin saya akan meletakkannya di saku dan membawanya kemanapun saya pergi. Yaa.. ini November, saat dimana suhu daratan Eropa (kecuali Spanyol dan Portugal) berkisar 0 sampai 5 derajat, bahkan bisa sampai minus 5 saat malam. Menarik mengikuti pembicaraan turis kanada dengan seorang pria dari Rumania yang ada di depannya,  juga ketika seorang pria Rumania lainnya membuka pembicaraan dengan ibu-ibu tua di depan saya tadi. Meski saya tidak tahu bahasa Rumania atau Jerman, saya bisa menangkap maksud pembicaraan mereka, karena seperti pemain-pemain bola di Lega Calcio yang sering menggunakan isyarat tangan, si ibu tadi juga banyak menggunakan tangannya untuk bicara. Ia dari Sophia, Bulgaria, dan saat itu sedang dalam misi menawarkan barang dagangannya ke lelaki Rumania yg tinggi besar..  Senang rasanya mendengarkan berbagai bahasa, sebenarnya saya ingin menambah kemampuan berbahasa saya, namun rasanya otak saya akan hang… rasanya cukup bagi saya untuk belajar bahasa jawa Kromo Inggil saja dan menurunkannya ke anak cucu, supaya bahasa daerah tercinta itu tidak punah termakan modernisasi.. Ah.. saatnya mencari orang yang bisa mengajari saya bahasa Jawa halus J

Setelah 2,5 jam berada di halte, kami memutuskan untuk menuju hostel, karena layanan hostel baru dimulai pukul 10 pagi. Di luar jendela, matahari hangat mulai memunculkan sosoknya. Alhamdulillah sekali karena menurut perkiraan cuaca, untuk tiga hari kedepan, matahari akan bersinar cerah, meski suhu dingin mencapai minus tidak mungkin bisa dihindari. Berbalut coat abu2 tua tebal, tanpa sarung tangan, saya berjalan menuju S-bahn station, dengan ransel berisi baju dan makanan untuk survive di Berlin. Dua halte terlewati sejak kami naik dari Messe Nord ICC, menumpang S42 menuju Halensee. Hostel die etage tempat kami akan menginap terletak tiga ratus meter dari stasiun suburban railway Halensee. Sebenarnya banyak hostel dengan rate kepuasan pelanggan diatas 90% yang ditawarkan berbagai website dengan lokasi yang lebih strategis, namun kami memilih hostel ini dengan pertimbangan harga murah, ada female dorm, juga ada dapur. Kejutan lainnya.. ada free towel dan juga free padlock and key untuk loker (Jadi teringat trip ke Stockholm saat saya harus membayar extra untuk bedsheet, padlock dan juga towel L--).

Oke.. urusan hostel selesai, saatnya petualangan Berlin dimulai. Dengan bermodalkan small group ticket seharga 15 euro per 24 jam untuk 5 orang, kami bebas berkeliling Berlin dengan menggunakan semua mode transportasi yang tersedia, mulai dari bis, tram, Underground metro (U-bahn) juga suburban railway (S-bahn).  Untuk itinerary hari pertama, kami berempat memutuskan untuk mengunjungi Postdam, 25 km di barat daya Berlin metropolitan. Sebagai tujuan wisata, Postdam disebut sebagai world heritage site terbesar di Jerman, dengan beberapa bagunan bersejarah berarsitektur rococo yang sempat dijadikan tempat tinggal  German’s royal family (Kerajaan Prussian/Borussia) di abad 18. Definisi tentang Postdam memang tak pernah salah, saya hany bisa berdecak kagum melihat bangunan-bangunan tua yang masih tegak berdiri dengan indahnya. Beberapa yang saya ingat adalah Bandenburger  Tor, gerbang besar yang hamper serupa dengan Brandenburger Tor besar di Berlin kota,  lengkap dengan one pointer clock yang berada di ujung jalan Brandenburger strasse. Saat kami duduk-duduk menghalau dingin sambil menikmati bekal (bekal saya 1 cheese burger, 1chicken burger McD, sebotol air putih juga pisang—langsung habis seketika—bahasa alaynya lapar sangadh), jam besar  berwarna keemasan itu berdenting, menunjukkan jam satu siang. Senagnyaa.. right time, right place!

Brandenburger Tor Postdam
One pointer Clock-- Postdam

Dingin semakin menusuk, entah suhu berapa yang jelas saya merasa menyesal sekali meninggalkan sarung tangan kulit saya di Belgie. Jari-jari serasa membeku dan tak ada pilihan lain selain mampir ke H&M, hunting sarung tangan untuk emergency situation seperti ini. Setelah mengubek2, pilihan jatuh pada sarung tangan rajut seharga 6 euro, nggak murah memang, tapi lumayan, saya suka modelnya yang cuma menutupi separuh jari, jadi jari-jari saya yang setengah beku masih bisa lincah jepret foto sana sini.

Dari H&M, saya dan teman-teman berjalan melewati Dutch quarter, sambil mencari halte bis yang akan membawa kami ke Sanssouci, maskot kota postdam, yang disebut-sebut sebagai Versailles-nya Jerman. Yah.. meski demikian,saya skeptis, Sanssouci  tak akan seindah istana Versaillesnya Louis XIV di Prancis yang serba emas. Kami turun di end terminus halte, yaitu Postdam Universite – New Palace. Di halaman new palace, di bangku panjang, kami berempat menjamak sholat zuhur dan ashar, jangan bayangkan sholat dengan sajadah terbentang, cukup bisa duduk tenang di bangku saja sudah cukup. Ahh.. lagi-lagi, kalau urusan ibadah, Indonesia tetap tempat favorit, kapan saja, dimana saja, mushola tersedia, lengkap dengan mukena, sajadah dan tempat wudhu.  Episode new palace selesai, berlajut dengan episode jalan kaki menuju Orangerie Castle (Orangerie Schloss), Neue Kammern (bangunan dengan kincir angin ala Belanda) hingga akhirnya berhenti di Sanssouci.  Sebenarnya masih banyak objek yang ingin kami kunjungi, namun winter time yang membuat hari lebih pendek memaksa kami mengakhiri traveling di jam 4.30 sore, saat hari mulai gelap, dan dingin makin menggigit… plus kondisi badan yang perlu di recharge karena belum tidur nyenyak dengan badan lurus di atas kasur empuk dan duvet hangat sejak meninggalkan Gent Jumat kemarin. Sebagai penutup perjalanan, kami berempat makan malam di AsianGourmet- Postdam Hauptbahnhof. Saya memesan menu nomor 37c yang berisi tumisan rindfleisch (beef) dengan sayur-sayuran, disajikan dengan noodle seharga 5,5 euro.
Orangerie
Sanssouci

Perjalanan hari kedua dimulai jam 9 pagi. Kami menjelajah Berlin barat mengunjungi Charlottenburg, dengan menumpang S-Bahn ring 41 menuju Westend. Dari stasiun kami berjalan kaki menyusuri Sophie-Charlottenstrasse, menembus jalanan berkabut. Beberapai helai daun kering yang jatuh di trotoar tampak berbalut es. Charlottenburg, hampir sama dengan sanssoucci di Postdam,  merupakan istana dengan style baroque-rococo dengan domonasi warna tembok kuning cerah dan kubah hijau. Dipesan oleh istri raja Borussia Friedrich I, Sophie Charlotte, sebagai tempat tinggal pribadinya dan tentu dari sinilah nama  Charlottenburg berasal. Meninggalkan istananya ratu Charlotte, menuju U-bahn station di Richard Wegner platz, saya sempat memotret Kaiser-Wilhelm-Gedächtniskirche- gereja protestan yang dijadikan salah satu tujuan wisata di Berlin. Saya tidak berjalan lebih dekat, karena menurut saya bangunan tersebut kurang menarik, saya lebih terobsesi untuk segera mencapai Checkpoint Charlie agar bisa ikut free walking tour jam 11.00.


Charlottenborg

.
Checkpoint Charlie bisa diakses melaui U-Bahn line 6 (U6) dengan halte terdekat Kochstrasse. Keluar dari underground tunnel, saat mencapai puncak escalator, saya bisa melihat Checkpoint Charlie museum di sudut jalan antara Friedrich street dengan Koch street. CC menjadi tempat yang popular karena merupakan point perbatasan antara Russia-US saat Berlin masih terbagi dua- Berlin timur dengan Russian army dan berlin barat dengan US army. Ketika tembok Berlin runtuh pada 1988, otomatis, checkpoint Charlie juga dihancurkan.

Checkpoint Charlie


Sebagai meeting point dari berbagai macam tour untuk wisatawan, Charlie tampak sangat crowded Beberapa orang berpakaian tentara US dengan kamp tiruan serta karung-karung pasir siap dijadikan objek untuk foto bersama dengan tariff 2 euro per orang. Foto-foto mengenang sejarah runtuhnya tembok Berlin juga terpasang memanjang ke arah Friedrich street.  Namun dibalik semua itu, sebenarnya sasaran saya saat berkunjung ke Charlie adalah tour guide yang berpakaian merah, seperti yang tertulis di brosur yang diberikan oleh pihak hostel. Beberapa orang dengan kostum merah ada disana, tapi tidak satupun dari mereka yang tampak “menjanjikan” sebagai tour-guide, mayoritas hanyalah lelaki afro yang menawarkan bus city tour. Yah, mungkin hari itu bukan hari keberuntungan kami untuk belajar sejarah secara menyenangkan, karena berdasarkan pengalaman saya ikut walking tour di Barcelona dan Copenhagen, tour guide-nya tampak bersemangat menceritakan detil tiap sudut kota lengkap dengan humor yang membuat saya sedikit tersenyum (humor bule boo, ike ngga paham..hehe).

Gagal dengan walking tour, saya dan teman-teman memutuskan untuk menjalani self-guided tour (J) dengan bekal peta wisata. Tujuan pun ditetapkan, mulai dari menapaki Friedrich street menuju ke utara, berbelok ke timur menengok indahnya Gendarmenmarkt (square dengan konzerthaus/concert hall yang diapit dua gereja berkubah bulat) di district Mitte –central Berlin, sejenak melirik babelplatz yang juga berisi bangunan berkubah bulat, lalu kembali mengarah ke barat menyusuri Unter den Linden boulevard (most famous avenue di Berlin city) menuju Brandenburger Tor dan Pariser Platz.

Brandenburger Tor Berlin


Brandenburger BTor sontak menjadi tempat favorit saya, hampir sama tingkat ketakjubannya dengan saat saya melihat menara Eiffel untuk pertama kalinya. Ya, meski tidak ada similaritas antara keduanya, bangunan batu ala yunani dengan ornament dewi Victoria yang mengendarai kereta kuda di satu pihak dengan skyscraper dengan baja kecoklatan di pihak lainnya. Tapi saya suka, seolah membangun mood yang baik saat berdiri di Pariser Platz, dengan ratusan orang yang begantian mengambil foto, diiringi lagu merdu pemusik jalanan, menyaksikan sekelompok aggota klub yoga yang sedang melatih konsentrasi dengan bermeditasi di tengah keramaian..serta menikmati penampilan seorang pementas dengan atraksi busa sabun yang dikerumuni anak-anak kecil dengan coat warna-warni dan senyum sumringah. Saat itu saya merasa Berlin begitu hidup, tidak seperti Belgie yang muram setelah autumn usai.

Bicara tentang wisata Berlin, rasanya tidak akan selesai dalam 10 lembar word document dengan setting A4. Dan sekarang saya sudah di lembar ke empat. Ah..rasanya banyak yang ingin ditulis dan dibagi di blog, tapi saya capek euy. Singkat kata di hari kedua, setelah mengunjungi Barndenburger Tor, saya ke Reichstag/Bundestag, Groβer stern, Berliner Dome, Alexander Platz dengan TV tower dan world clock time, Red house (rathaus), Berlin wall di Muhlenstrasse, Oberbaum bridge, dan Postdamer Platz. Perjalanan hari ketiga di Berlin lebih mengeksplor area Berlin Timur , sebuah district bernama Treptow-Kopenick serta ditutup dengan mengelilingi museum island di pusat kota berlin.


3 komentar:

yoga said...

cakep euy...kapan ya bisa start nulis gini...
foto2nya juga bagus, suka langit biru di pagi harinya...
foto malemnya juga
top dah

H-kim said...

mirip dear diary..
keren bisa dapet diskripsinya dgn jelas..
walau panjang juga y..

shanti dwita said...

makasiiiiiihh semuaa.. seneng kalo kalian suka :D :D

Post a Comment