Saturday, February 26, 2011 By: shanti dwita

6 Februari 2011


Perjalanan panjang Brussels-Jakarta 6-7 februari belum lagi selesai. Saya duduk di kursi besi bandara soekarno hatta, menunggu pagi tiba, saat pesawat yang akan membawa saya ke Bandar Lampung dijadwalkan terbang. Cemas pasti saya rasakan, ini kali pertama saya tidur di bandara di Indonesia, sebelumnya saya tidur di Charleroi, Belgia dan aman, karena memang bandara itu hidup 24 jam. Terpikir betapa was-wasnya tidur di sini, tapi saya tak punya pilihan lain. Pesawat SQ966 yang membawa saya dari Changi, Singapura, baru landing jam 8 malam. Saya cek di counter Garuda, pesawat ke Bandar Lampung terakhir terbang jam 5 sore. Sambil menunggu pagi, saya membuka laptop dan mulai mengingat apa yang saya alami hingga saya kembali pulang menghirup udara di tanah air.

Minggu 6 februari cuaca gent lumayan hangat, 10 derajat, bukan -4 seperti hari-hari sebelumnya. Saya terbangun jam 5 pagi, saat alarm berbunyi menyuruh saya bangun. Agak blank karena saya baru tidur jam 3, hanya 2 jam, itu pun bukan karena saya mengantuk, namun lebih untuk menjaga kondisi agar tidak tumbang, karena saya tahu, saya harus terus terjaga sepanjang hari untuk menyelesaikan paper juga presentasi, sekaligus belajar untuk ujian dadakan di hari Senin, sesuai rencana saya. Saya memang berniat pulang Selasa pagi, setelah berhari-hari menangis sendirian di kamar membayangkan Bapak yang kondisinya semakin memburuk di Cipto.

Kepanikan itu dimulai Jumat siang CET (central Europe time), sepulang kuliah. Seperti biasa saya menelfon suami, anak, ibu dan bapak saya untuk menanyakan kabar. Tapi sore itu, ponsel ibu juga bapak tidak bisa dihubungi, akhirnya saya hanya mendengar berita dari suami, kalau siang tadi dengan nada panik ibu saya menelfon bu nuning, ibu mertua saya, minta ditemani karena nafas Bapak tersendat. Saya yang sudah seumur hidup menjadi anak ibu tentu tahu kalau ibu saya yang tenang dan tegar, tak akan pernah tergetar suaranya, jika tidak dalam kondisi benar-benar takut. Entah kenapa saya benar-benar merasa sakit dan tak henti menangis saat mendengar ibu saya cemas. Ini pasti sesuatu yang besar, ini bukan hal biasa yang bisa saya kesampingkan. Saya shock, karena paginya (tengah malam CET), saya masih bicara dengan Bapak, meskipun di setiap pembicaraan suara saya selalu bergetar dan mata saya selalu basah, berkata bahwa Bapak pasti akan sembuh dan berkumpul lagi dengan saya di rumah, seselesainya saya dari kuliah di Eropa. Jumat itu rasanya air mata saya hampir habis, hingga saya tidur dan bangun dengan mata bengkak di Sabtu dini hari. Saya sadar bahwa saya harus pulang. Untuk bisa pulang, tentunya saya harus segera mengerjakan semua tugas yang deadlinenya masih 9 hari kedepan, menghubungi Prof. Paelinck agar saya bisa ujian di hari Senin, bukan di hari Kamis seperti yang telah dijadwalkan, juga menyelesaikan presentasi  tentang meat tenderization.

Sabtu dini hari CET, pagi waktu Indonesia, Bapak sedang sarapan, tidak mau bicara dengan saya, masuk akal, karena mungkin Beliau tidak mau mendengar saya menangis sesenggukan di telfon, ah, saya menyesal menjadi anak yang begitu cengeng. Tapi saya cukup tenang karena ibu bilang, pagi itu Bapak terlihat lebih baik dari kemarin. Saya pun tenang mengerjakan tugas dan mendoktrin otak saya dengan kata-kata “HARUS SELESAI”. Saya tidak tidur, masih di depan netbook, hingga malam, sambil terus berkontak dengan keluarga, juga sambil membaca jurnal, mengetik paper, menyunting, mengedit..aaahh…otak saya panas, namun, ya… HARUS SELESAI. Sekitar Isya CET, Mas Aji, kakak saya mengirimkan pesan lewat sms, minta saya berdoa karena Bapak demam tinggi dan tidak sadarkan diri, harus segera dipindahkan ke ICU. Saya benar-benar panik dan minta suami saya untuk segera berangkat ke Jakarta dini hari itu juga. Disaat yang sama, saya juga segera menghubungi Prof. Paelinck via email, berkata bahwa saya ingin ujian Senin pagi, hingga Selasa-nya saya bisa pulang ke Indonesia untuk menengok Bapak. Saya begadang malam itu, teman-teman di flat yang tahu kondisi saya ikut menemani juga menenangkan, mereka berkata, Bapak akan baik-baik saja. Jam 1 pagi CET, 7 pagi di Indonesia, saya bicara dengan Ibu saya, suaranya tenang, menyarankan saya sholat, berdoa dan membaca Yasin.. tangis saya pun berhenti mendengar suara Ibu yang tenang, saya percaya Bapak akan membaik lagi pagi ini, saya bilang pada Ibu saya, Bapak harus tunggu saya, saya akan pulang hari Selasa dan menengok Bapak. Saya kemudian kembali mengerjakan tugas hingga jam 3 pagi CET (9 pagi WIB), saat saya sadar, saya belum tidur seketika-pun selama 22 jam terakhir.. Saya pun berusaha menutup mata sebentar, hingga beberapa menit kemudian saya benar-benar terlelap..

RS. Cipto Mangunkusumo, cerita ibu dan ibu nuning
Sebenarnya sejak hari Kamis, Bapak sudah minta pulang ke Lampung. Tidak ingin pindah ke RSUP. Sardjito di Jogja yang hampir selengkap RSCM  dan dikelilingi keluarga dekat, hanya ingin pulang ke Lampung, karena disanalah rumah Bapak. Ibu, suami saya, dan mas saya bilang, Iya, Bapak boleh pulang ke Lampung kalau sudah bisa duduk. Mata saya berkaca-kaca saat ibu nuning bilang, melihat Bapak berjuang keras di tempat tidurnya untuk bisa duduk, demi bisa pulang ke Lampung. Ahh, sebegitu besarnya keinginan untuk pulang, hingga suami saya selalu menenangkan saya saat saya cemas dan takut “Bapak pasti sembuh yang, kamu ngga usah takut, keinginan sembuh Bapak itu masih besar”, katanya. Dan suami saya  memang benar-benar meresapi kalimatnya sendiri, dia begitu optimistis, seoptimis saat dia menyetir Lampung-Jakarta mengantarkan Bapak untuk dirawat di Cipto pertengahan Januari saat beliau mengeluhkan pinggang dan lehernya yang sakit. Dia fikir, Bapak pasti akan pulang, seperti kunjungan rawat inap sebelum-sebelumnya. Begitu optimis, sehingga ia selalu bilang ke ibu saya, ia akan datang, menjemput Bapak dan pulang ke  Lampung.

Sabtu pagi, selesai sarapan, suami saya menelfon Bapak (setelah sebelumnya saya menelfon dari Belgia tapi bapak tidak bicara). Ibu nuning bilang, suara Bapak lantang saat bicara dengan Adis, sama sekali tidak terdengar lemah. Adis bertanya “Eyang kung udah makan? Makan yang banyak ya yang kung..”“Sudah, Tatam (panggilan Bapak untuk Adis) juga makan yang banyak ya, biar sehat..” kata Bapak.. Makin lama suara Bapak makin lemah, dan ponsel itu pun diletakkan begitu saja di meja, mungkin semua tenaga beliau sudah dipakai untuk bicara dengan Adis di telefon.. Sejak itu, Bapak tidak bicara banyak. Adis orang terakhir yang diajak bicara dengan jelas sama Bapak.

Sabtu malam, Bapak panas tinggi dan nafasnya tersendat. Kanker pancreas yang diderita bapak telah menyebar ke tulang, hingga beliau tidak bisa duduk di tempat tidur selama seminggu terakhir, dan sejak Jumat, paru-paru Bapak sudah mulai terinfeksi dan dipenuhi cairan. Ibu dengan sabar mengompres Bapak yang malam itu demam tinggi. Dokter menyarankan Bapak dipindah ke ICU, namun ICU di Cipto penuh, hingga harus mencari opsi ke rumah sakit lain di Jakarta. Sementara, semua peralatan yang diperlukan dipindahkan ke ruangan Bapak di kelas 1, namun tidak ada ventilator. Untuk membantu pernafasan, digunakan bulb yang saya sendiri tidak tau bagaimana bentuknya. Sepanjang malam, Ibu dan Mas saya bergantian mengoperasikan bulb untuk membantu nafas Bapak. Bapak tidak juga sadarkan diri hingga pagi, dan dokter pun memanggil Ibu dan Mas Aji, sememntara bu nuning menggantikan memompa nafas Bapak. Dokter berkata, semua keputusan ada di tangan keluarga, apakah Bapak akan terus “dipaksa” bertahan dengan bantuan alat, atau diikhlaskan sesuai kemampuan fisik Bapak, karena memang sudah tidak ada peluang untuk membaik. Bu nuning yang tengah memompa nafas Bapak melihat Ibu dan Mas Aji menangis setelah bicara dengan dokter, tanpa tahu apa-apa. Ia terus memompa hingga dokter mendekat dan mulai melepaskan semua alat yang menempel di tubuh Bapak. Dan saat itulah, Minggu jam 9 pagi WIB, 3 dini hari CET, Bapak berulang ke Rahmatullah, benar-benar di saat yang sama ketika saya menutup mata untuk tidur sejenak di kamar kost saya di Gasmeterlaan.

Jam 5 pagi saya bangun dengan sejumlah pesan muncul di layar netbook saya yang masih menyala, dari suami saya yang intinya, saya harus segera pulang. Belum sempat membaca semua pesan, ia pun menelfon, hati saya menduga-duga sepanjang pembicaraan, hingga akhirnya tangisnya pecah dan berkata bahwa Bapak sudah nggak ada. Hati saya pilu, lalu berubah seperti mati rasa dengan otak yang kosong. Ia dalam perjalanan pulang kembali ke Lampung untuk menyiapkan pemakaman Bapak, berdua dengan Adis. Mobil yang ia bawa dengan niat menjemput Bapak yang memang ingin pulang ke Lampung, akhirnya pulang tanpa membawa apa-apa. Keoptimisannya buyar, angan-angannya sebatas khayalan, Bapak tidak pernah pulang kembali ke rumah.
Saya menelfon ibu saya, menangis, ibu saya suaranya tetap tenang. Tidak meminta saya pulang sama sekali, hanya minta saya untuk berdoa dan mengatakan kalau Bapak sudah ada di tempat yang terbaik di sana. Seperti inikah harusnya menjadi sosok ibu, berusaha tegar dan menenangkan tangis anak-anaknya? Saya tak yakin kalau saya mampu begitu. Kelamaan, saya merasa ibu saya tak tahan mendengarkan saya menangis, lalu ia berkata, “mau ngomong sama bu nuning?” tapi saya dengar ibu nuning juga nggak mau bicara dengan saya. Akhirnya pembicaraan terputus. Benar kata suami saya, sekuat dan setegar-tegarnya ibu saya, jika didengarkan pada tangis anaknya, ia akan kembali rapuh. Maka ia minta saya untuk tak lagi menangis di depan ibu saya, kelak ketika saya tiba di Indonesia.

Hari minggu itu, saya kembali ke Indonesia. Saya diantar oleh Sajid dan Dwi hingga ke Brussels airport, hingga saya tak punya waktu untuk menangis di jalan, meskipun di kereta air mata saya beberapa kali menetes meski sudah saya tahan sebisa mungkin. Perjalanan panjang yang menguras airmata, saya tak peduli dengan teman sebangku yang melihat saya menangis menghadap keluar jendela Lufthansa yang membawa saya terbang dari Brussels menuju Frankfurt. Juga tidak peduli keramaian saat mata saya kembali basah di Terminal 2 Changi airport. Saya hanya merasa terlalu sedih, karena tidak akan pernah lagi melihat Bapak. Bapak sudah dimakamkan Senin pagi, di saat yang sama saya berada ribuan meter diatas langit Turki. hati saya miris saat melihat layar navigasi di SQ yang menunjukkan peta Asia Tenggara dengan warna terang sedangkan belahan bumi Eropa dengan warna gelap. Sudah pagi di Indonesia, Bapak pasti sudah diberangkatkan. Saya sadar, saya tidak perlu ditunggu untuk apapun. Bapak tidak perlu menunggu untuk dimakamkan, Malaikat tidak perlu menunggu saya hingga hari Rabu atau Kamis untuk memanggil Bapak kembali pada Allah, juga tidak perlu menunggu hingga saya pulang membawa gelar MSc. Ini adalah moment terbaik, karena Bapak telah terlepas dari sakitnya, yang telah Beliau lalui bertahun-tahun dengan rasa sabar tanpa pernah merasa lelah, apalagi berkeluh kesah. Selamat jalan Bapak, saya tetap anak kesayangan Bapak dan akan tetap jadi anak kesayangan. Mohon maafkan semua kesalahan, saya yakin Bapak akan melihat dan mendengar saya dari alam sana.

5 komentar:

odjie said...

Paragraf terakhir....
itu yang menjelaskan segalanya

*)terharu gw

tetap semangat shan..

shanti dwita said...

Insya ALLah...
Thanks Zi

KANOVIS said...

gw tau betul rasanya shant..bahkan yang loe tulis "bulb" dan peralatan2 di ruang ICU lainnya sampai sekarang masih buat gw agak trouma.... tapi..yang terpenting adalah bagaimana kita bisa menyikapi n mengambil hikmah dari itu semua..karena setiap kejadian ada pembelajaran di dalamnya..gw yakin lo kuat n sudah kuat..tetep semangat ya Shanti dwita lestari S.Pi, MSc

shanti dwita said...

iya...
tetep semangat kok..
lo juga ya
:(

apit setiani said...

ashaaannn......maaf gw gak tau. Baru buka blog lo krn kangen. ternyata ada berita ini. maaf ya say gw ga tau kl lo lg sedih waktu itu. Semoga bapak dilapangkan kuburnya, diterima segala amal kebaikannya, diampuni dosa2nya dan untuk elo, ibu n keluarga diberi kekuatan.amiiin ya Rabb.... (gue nangis nih shan.....)

Post a Comment