Sunday, February 27, 2011 By: shanti dwita

mengenang Bapak


Tempat pertama yang saya datangi begitu menginjakkan kaki di Bandar Lampung  adalah makam Bapak. Saya tidak pulang ke rumah, masih dengan sepatu kets juga jaket tebal yang akhirnya saya tanggalkan, saya menuju kesana. Melihat makam merah dengan bunga-bunga bertebaran dan pasak kayu yang bertuliskan nama Bapak, saya merasa begitu terlambat. Saya tidak pernah lagi melihat Bapak setelah 31 Agustus jam 2 siang saat saya meninggalkan Cempaka Putih menuju Cengkareng dan kemudian terbang ke Belgia. Saat itu Bapak tidak ikut mengantar, karena baru pulang dari kemoterapi yang kesekian kalinya di RSCM. Saya masih ingat kaos yang dipakai Bapak hari itu, polo shirt putih dengan stripes abu-abu dan tidak pernah menyangka bahwa itu kali terakhir saya mencium tangan Bapak. Ada perasaan yang tak tergambar saat melihat kayu dengan nama Bapak yang terpahat disana, seolah memaksa saya untuk sadar bahwa bapak telah pergi, pindah ke alam lain yang lebih abadi. Meski hingga sekarang saya merasa Bapak masih ada, karena saya memamng tidak pernah meliat Beliau koma di rumah sakit, tidak melihat bagaimana beliau wafat, dan tidak mengantarkan saat beliau diberangkatkan ke tempat peraduannya yang terakhir. Saya hanya mendengar dari ibu mertua saya kalau wajah Bapak bersih saat berpulang, dan saya tidak bisa membayangkan bagaimana wajah bersih itu, karena di angan saya, hanya ada wajah Bapak semasa Beliau hidup. 


Mengenang beliau seperti nostalgia. 22 Februari 2011 semestinya menjadi hari ulang tahun beliau yang ke 62. Saya tidak pernah melakukan apa-apa di 22 Februari, hanya ingat, ketika 22 Februari 2006 saya diwisuda di IPB dan didaulat untuk memperikan kata sambutan mewakili wisudawan di auditorium FPIK, saya bilang, kelulusan saya saya persembahkan untuk Bapak saya yang hari ini sedang berulang tahun. Mungkin itu hal manis yang sempat saya utarakan, diikuti tepuk tangan dari teman-teman yang ada disana. Harusnya, lebih banyak lagi hal baik yang saya lakukan untuk membanggakan hati Bapak, karena saya tau, dibalik diamnya, Bapak sangat memperhatikan anak-anaknya. Meski tidak pernah ada kata pujian untuk setiap keberhasilan kecil yang saya buat di bangku sekolah, tapi saya tau Bapak senang. Ingat saat saya mendapat hadiah di SD dulu karena nilai matematika di NEM saya mencapai batas atas, 10.00, Bapak dipanggil maju ke depan, bersama beberapa orang tua lain yang anaknya juga mendapat nilai 10.00, orang tua lain langsung mencium anaknya, tapi tidak dengan Bapak saya. Beliau santai saja, tapi saya yakin, beliau pasti bangga. 


Bapak saya, saat muda, suka makan enak. Dan entah kenapa, saya yang paling sering diajak saat makan diluar. Mulai dari makanan Padang hingga gulai dan tongseng, semua Beliau suka. Hobby makan ini juga yang akhirnya menurun ke saya, karena sejak kecil, saya selalu bersaing makan banyak dengan Bapak, dengan porsi yang sebesar porsi beliau. Hingga sekarang, semua teman yang kenal dekat dengan saya pasti tau kalau saya pemakan segala. Pernah saya dijuluki Recycle Bin sewaktu kuliah, karena daya tampung perut saya seolah unlimited untuk menampung kelebihan porsi di piring teman-teman saya. Ya, mungki sulit dipercaya, karena badan saya tidak besar untuk ukuran orang yang doyan makan. Namun sejak mendalami makanan di bangku kuliah, saya menjadi lebih selektif (kadang-kadang). Bertahun-tahun saya berusaha mengurangi gula, karena mbah putri saya (alm) menderita diabetes, dan konon, diabetes diturunkan ke generasi lanjut, meski hingga sekarang setiap saya memeriksa gula darah, hasilnya selalu normal, sekitar 80-90. Bapak saya juga, setahun terakhir dinyatakan mengidap diabetes, namun itu lebih sebagai efek samping dari rusaknya pancreas Bapak yang digerogoti kanker. Mbah putri saya pun akhirnya meninggal karena kanker nasofaring. Berdasarkan riwayat keluarga yang seperti itu, ibu saya meminta saya untuk berhati-hati memilih makanan. Namun saya tak takut, kalupun nantinya saya sakit, ya, itu sudah karena takdir, meskipun saya tetap menjaga agar saya tidak sakit. 


Nostalgia lain, ada, tentang catur, bulutangkis dan juga karate. Sejak kecil sudah tampak bahwa saya berbakat untuk tomboy. Suka memanjat pohon dan main di sawah dengan teman-teman kakak saya. Karenanya saat saya bertanya tentang ekskul apa yang akan saya pilih di SMP, Bapak bilang, saya ikut karate saja. Saya langsung diajak ke toko Sabang di Raden Intan, dibelikan baju karate. Saat teman-teman dekat saya yang ikut ekskul tari bersiap pulang ke rumah, saya sibuk disuruh lari keliling lapangan sepulang sekolah jam 4 sore untuk pemanasan sebelum latihan. Ah, tak ada teman dekat yang mau ikut karate, tapi, saya jalani juga ekskul itu selama setahun sebelum akhirnya saya bosan dan pindah ke ekskul lain. Saat ujian kenaikan tingkat di GOR wayhalim yang membuat kulit saya mengelupas karna terbakar matahari dari pagi hingga sore, bapak juga menunggui saya, meski tidak sepanjang hari. Setelah ujian itulah, saya menyatakan berhenti dari karate, saatnya belajar karena di kelas 2 SMP saya ditawari untuk ikut aktifitas yang lebih ilmiah dan nerdy.  Untuk catur dan bulutangkis, sejak SD bapak mengajari saya 2 olahraga ini. Saya sering tanding melawan Bapak dan menang, meski saya tau, Bapak pasti pura-pura kalah, tapi seringnya saya yang kalah dalam 2-3 langkah dan dipaksa memutar otak agar tidak kalah dan tidak salah dalam menggerakkan bidak catur. Saya suka dua olahraga ini, dan hingga sekarang, rasanya saya masih punya partner untuk berlatih, yaitu dengan suami saya. 


 Suami juga anak saya, sedikit-sedikit membawa perubahan di rumah Bapak yang sempat senyap, karena anak-anak Bapak tidak ada yang tinggal di Bandar Lampung. Dia suka mengobrol, Bapak juga suka mengobrol, meskipun dengan saya Beliau tidak membicarakan masalah politik, olahraga, bengkel, mobil, ikan dan hal-hal yang saya tidak paham. Dengan suami saya, Beliau mengobrol banyak, dan saya senang melihat Bapak tidak kesepian karena punya teman bicara. Anak saya Adis, sangat lengket dengan Bapak, selalu ingin pergi dengan Bapak, tidur dengan Bapak. Semuanya. Ke bengkel, ke bank, ke sekolah, bahkan saat bapak belum pensiun, Adis sering diajak Bapak ke tempat kerjanya. Hingga akhirnya penghujung 2009, bapak sakit dan lebih sering berada di Jakarta untuk berobat. Adis mulai terbiasa dengan ketiadaan yang kung-nya. Hal menyedihkan yang saya dengar adalah, saat Bapak wafat, dan Adis mulai tahu apa artinya meninggal, Adis berkata “Ayah, kenapa dokter di Jakarta jahat, Yang kung meninggal, nggak kaya dokter di Lampung yang baik”. Mungkin si kecil itu berfikir, selama Bapak keluar masuk RS di Lampung, Bapak selalu pulang, namun saat di rawat di Jakarta, Bapak tidak pulang lagi. Adis kecil ikut berjalan kaki mengantarkan jasad bapak ke pemakaman. Sepulang dari pemakaman, menurut cerita ibu mertua saya, Adis menatap kamar bapak, dan bilang kalau ia mau tidur disana. Ada dialog yang saya lupa namun seingat saya, ibu bilang, perkataan Adis sepulang dari pemakaman membuat orang yang mendengarnya terenyuh. 


Di ruang sholat, saya masih melihat koper Bapak yang baru di pakai saat menunaikan ibadah haji di penghujung 2010. Ada baju putih yang sengaja di beli seragam dengan Adis sebagai oleh-oleh dari tanah suci. Rencananya, baju yang kembar itu akan mereka pakai saat pergi Jumatan, karena Adis memang sering diajak Bapak ke Masjid setiap Jumat. Namun rencana tinggallah rencana, baju puti milik Bapak tidak pernah terpakai karena sepulang haji, kondisi Bapak drop setelah melewatkan rangkaian kemoterapi selama beberapa bulan. Melaksanakan ibadah haji untuk seorang dengan kanker stadium 4 adalah berkah dari Allah, dan selama beberapa bulan, Bapak lebih merelakan kemoterapinya terputus daripada membuang kesempatan untuk menunda berhaji tahun lalu. Dan keputusan itu memang benar adanya, karena umur Beliau memang tidak pernah sampai untuk musim haji 2011.

0 komentar:

Post a Comment