Sunday, February 27, 2011 By: shanti dwita

Kembali ke Eropa

Sepuluh hari berada di rumah hampir tidak terasa. Rabu, 15 Februari 2011, saya harus kembali ke Eropa. Tujuan saya adalah Dublin, bukan kembali ke Gent, karena dua mata kuliah, dairy science juga nutrition and public health akan saya ambil di Dublin. Saya lupakan sejenak meat science yang sudah saya tinggalkan toh melalui emailnya Prof. Paelinck mengatakan kalau saya bisa ikut ujian susulan sepulang saya dari Dublin. Beruntung memiliki dosen seperti dia, dia salah satu yang saya kagumi karena tutur katanya halus dan sosoknya sangat bijaksana, juga karena dia membuat panggilan baru atas nama saya, dia memanggil saya Dwita. 


Jam 11 siang saya berangkat dari rumah menuju ke bandara Raden Intan karena GA yg akan saya tumpangi dijadwalkan terbang jam 12.15 (meskipun ahirnya delay 30 menit). Saya diantar suami, ibu juga Adis setelah sebelumnya kami berempat  nyekar bersama di makam Bapak. Mawar,melati dan kenanga kami sebarkan di makam Bapak dengan penuh sayang, sambil memanjatkan doa agar Bapak dilapangkan jalannya menuju surga. InsyaAllah, kami semua tenang, karena Bapak orang baik dan jujur, sebuah sikap yang suami saya bilang, akan selalu ia teladani dari Beliau. 


Berat rasanya meninggalkan rumah, meninggalkan orang-orang tersayang untuk kembali belajar di negeri yang jauhnya ribuah mil. Tapi saya harus berangkat, karena saya tahu, Bapak selalu mengharapkan keberhasilan saya. Beliau tidak akan suka jika saya bermalas-malasan dan merajuk. Saya akan berangkat, mencoba menenangkan diri bahwa Ibu akan selalu tegar seperti sikap yang selama ini selalu Ibu tunjukkan di hadapan kami, anak-anaknya. Saya anak Ibu yang terakhir pulang meninggalkan rumah, dan saya tahu rumah akan benar-benar kembali senyap. Saya tak tega, itu yang membuat saya menangis saat menelfon Ibu dari boarding room Soekarno Hatta. Entah mengapa saya menjadi melankolis, karena sebelumnya saya jarang mengkhawatirkan Ibu saya yang selama ini terkesan sulit direngkuh karena beliau pribadi yang kuat. Saya menangis saja, saya biarkan ibu saya tahu kalau saya khawatir, meski saya tahu, ibu paling tidak suka melihat saya menangis. Seperti kejadian saat saya pertama kali menginjakkan kaki di rumah 9 hari sebelumnya. Mata saya masih basah karena dari bandara, saya langsung ke makam Bapak, baru ke rumah, dan begitu melihat Ibu, saya tak tahan untuk berurai air mata. Ibu yang tadinya tenang menyambut saya jadi ikut menangis, padahal suami saya bilang, Ibu selalu tegar dan tak pernah terlihat menangis lagi, bahakan di pemakaman. Benar dugaannya, setegar apapun hati ibu saya, pasti akan rontok jika mendengar anaknya menangis. Saya pun ingin berjanji, tak ingin menangis lagi.


Jam 6 sore saya berada di kabin pesawat, mendapat  kursi di dekat jendela. Saya pun berniat untuk menjamak sholat Maghrib di waktu Isya dan akan melakukannya saat saya transit di Abu Dhabi, ibu kota Negara yang maskapai nasionalnya saya tumpangi. EY 471 pun lepas landas, segera merangkak ke atas langit, semakin tinggi hingga saya lihat di layar, suhu udara di luar mencapai minus 50 derajat. Di sebelah saya duduk seorang laki-laki, dari Indonesia juga, namun saya tidak dalam mood yang baik untuk berbasa-basi bertegur sapa. Tidak ada dialog apapun, namun akhirnya saya tahu bahwa dia akan ke Paris saat melihatnya pindah ke Gate 32 di Abu Dhabi, sementara saya di Gate 33, pindah ke EY45 yang akan membawa saya lebih jauh menuju Dublin. 


Saya berencana mengetik tulisan dengan netbook yang sudah saya turunkan dari kabin. Tulisan tentang lingkungan yang akan saya ikutkan di sebuah blog writing contest yang deadlinenya tinggal menghitung hari. Namun otak saya buntu, tak ada sebaris kalimatpun pun untuk dituliskan meski ide rasaya sudah penuh melayang-layang di angan saya. Ah, saya relakan juga akhirnya kesempatan mengirim karya tulis, apa boleh buat, saya sedang tidak mood. Netbook itu pun akhirnya hanya menjadi penghuni  tempat majalah di bawah folding table saya tanpa sempat di sentuh. Mengisi waktu luang dan menepis kebosanan di perjalanan panjang selama hampir 20 jam, saya menonton Salt-nya Angelina Jolie juga Inception. Sisa waktu lainnya saya pakai untuk tidur dan makan.


Kamis 16 Februari jam 7 pagi, pesawat mendarat di Dublin. Saya hanya bisa menatap siluet kota Dublin melalui lampu-lampu kota yang masih menyala di penghujung malam. Jam 6 pagi di Dublin sama pekatnya seperti jam 5 pagi di Indonesia. Setelah mengambil bagasi, menyelesaikan pengecekan imigrasi dan bersih-bersih di toilet, saya segera mencari pintu keluar dari labirin Dublin International airport (DUB) yang cukup besar. Dublin tidak dingin seperti yang saya angankan, meski saya baru saja datang dari negara tropis dengan suhu 30 derajat celcius. Tentu saya tidak merasa dingin, karena saya mengenakan duvet coat yang tebal, plus sweater juga shawl.  Langit pagi Dublin saat itu begitu berkabut, mungkin jarak pandang hanya 200an meter. Tanahnya juga basah, mungkin semalam hujan turun dan menyisakan kabut serta lembab, namun begitu, saya menikmatinya, meski tak banyak berharap bahwa kota ini akan senyaman Gent. Harapan saya saat itu hanya satu, menemukan teman-teman saya di kampus. Beruntung, karena saat transit di Abu Dhabi, saya sempat browsing jalur bis juga rute yang harus saya tempuh untuk menuju ke kampus DIT (Dublin Institute of Technology) di Kevin Street, tempat saya akan belajar. Saya memutuskan untuk langsung ke kampus dengan backpack juga koper saya, karena di Dublin, saya memang homeless, belum sempat mencari akomodasi apapun untuk saya tinggali. Tujuan saya hanya kampus, karena menurut jadwal yang dikirimkan teman saya via email, akan ada kuliah di hari Kamis jam 10 di ruang G29. 


Sesuai instruksi yang ada di Dublin Bus website, saya menunggu bis 16A dari halte yang berjarak 200 meter dari pintu exit bandara. Di setiap penunjuk arah, terdapat dua bahasa yang digunakan, yaitu Inggris dan juga Irish. Bahasa Irish terasa sangat asing, tidak ada mirip-miripnya dengan bahasa Inggris, seperti halnya bahasa besar lain : France, Spanish dan Portuguese or even Dutch yang sering saya dengar. yang, dan akan turun di Augnier street. Dari Augnier street, google maps menyarankan saya untuk berjalan kaki 200 meter menuju Kevin street. Saya benar-benar buta Dublin, tapi saya tak perduli, saya tidak akan kesasar karena saya percaya tubuh saya punya GPS. Di Dalam bus 16A, saya bertanya pada wanita yang berdiri di sebelah saya, apakan Augnier street masih jauh, karena menurut bus router, waktu tempuh dari airport ke city center adalah sekitar 40 menit. Rupanya, seorang lelaki berumur 60an yang duduk di belakang saya tertarik dengan pembicaraan saya, dan mulai menimpali, juga dua lansia yang duduk di arah barat laut dari tempat saya duduk. Mereka semua berkata bahwa Augnier street hanya beberapa stop dari O’Connel Street, pusat kota Dublin. Lelaki yang di belakang saya, ia menunjukkan ID card-nya juga nomor telefonnya, namanya Gerard. Saya bilang padanya ini hari pertama saya di Dublin setelah perjalanan panjang dari Indonesia. Kami pun ngobrol, dia bercerita kalau semasa mudanya dia bekerja untuk misi perdamaian PBB dan sering dikirim ke daerah konflik seperti Libanon dan Rwanda. Banyak bekas luka tembak dan dia mengeluhkan losing memory yang dideritanya saat ini. Dia bertanya apakah saya Moslem Syiah atau Sunni, saya jawab, saya tidak tahu apa bedanya Syiah dan Sunni, yang saya tahu saya hanya Islam. Memang parah pemahaman sejarah islam saya, meski rasanya suami saya sudah beberapa kali menjelaskan perbedaan mendasar syiah dan sunni, tapi tetap saja tidak ada yang nyangkut di kepala saya. Gerard sangat ramah, wawasannya luas, mungkin memang benar ceritanya tentang misi perdamaian PBB itu. Kami berpisah di O connel street saat ia dan sebagian penumpang lainnya turun. Sebelum turun, dia memberikan nomor telefonnya, just in case saya perlu bantuan, karena ini hari pertama saya datang ke Dublin. Dia mengetuk jendela bis tingkat kuning yang saya naiki sambil melambaikan tangan. Nomor telefonnya hingga kini ada di buku notes biru kuning berlogo Uni Eropa yang selalu saya bawa kemana-mana, namun tidak sekalipun saya coba untuk mengontaknya. Ada rasa cemas, apa benar ia orang baik, meskipun tidak baik rasanya bersuudzon pada orang. Saya jadi teringat Mr. Eddy Murphy yang saya temui di Vrijdag markt, Gent. Ia orang baik, meski baru sekali bertemu dan langsung bertukar nomor telefon. Yah, mungkin suatu saat saya akan mengontak Mr. Gerard dan bertemu dengannya sekali sebelum saya kembali ke Gent. 


Jam 9.20 saya tiba di Augnier street, itupun setelah saya berkata pada supir untuk mengingatkan saya saat bus akan berhenti. Saya tidak ingin kesasar karena kuliah sebentar lagi dimulai. Saya tidak ingin ketinggalan lagi kuliah hari ini, karena pasti sulit mengejar ketertinggalan setelah beberapa hari tidak masuk kuliah dan karena biasanya minggu pertama setiap modul pasti full materi. Setelah bertanya sana-sini dan wara wiri bersama koper merah yang untungnya tidak besar, hanya seukuran kabin, saya tiba di bangunan yang katanya adalah DIT Kevin Street. Sebelumnya saat saya bertanya, saya ditunjukkan ke DIT juga, namun bagian rektorat dan pusat administrasi yang ada di Augnier street. Saya segera masuk dan bertanya pada security, dimana ruang G29 karena saya akan ada kuliah di ruang tersebut dengan Prof. Mulvaney. Karena benar-benar buta, saya kembali bertanya pada seorang pegawai disana, besar kemungkinan dia juga seorang dosen di DIT. Dia mengantar saya mencari-cari ruang G29 tapi tidak ketemu karena saya bilang G29 adalah ruang kuliah, sementara ruang kuliah yang ada adalah A29. Dia pun mengajak saya kembali ke depan, sambil bertanya apakah ini hari pertama saya di DIT, mungkin karena dia melihat saya membawa-bawa koper. Saya katakan ya. Dan untunglah, di ujung koridaor saya melihat teman saya Edward, saya pun memanggilnya setelah mengucapkan terimakasih pada Bapak-bapak yang menolong saya mencari G29 tadi. Ternyata, G29 bukanlah ruang kuliah, pantas saja saya tidak berhasil menemukannya. G29 adalah laboratorium food processing yang didalamnya terdapat sederetan kursi dan selalu dipakai Prof. Mulvaney untuk memberikan kuliah pada mahasiswa Erasmus program. 


Prof. Mulvaney, yang akrab dipanggil Michel atau Mike saja merupakan pribadi yang ramah, despite of his irish accent yang susah saya tangkap. Rasanya perlu waktu lebih bagi telinga saya untuk merasa familiar dengan logat Irish. Mike berkata “you’re very welcome to our dairy class”. Mungkin Mike telah mendengar alasan mengapa saya terlambat datang. Dia pun berempati dan menanyakan sedikit tentang bapak saya. Saya katakan beliau meninggal karena kanker dengan suara yang agak trembling, yah, hari pertama di Dublin saat otak dan pikiran saya masih penuh berada di Indonesia.

0 komentar:

Post a Comment