Thursday, December 30, 2010 0 komentar By: shanti dwita

Paris day 2


Hari kedua saya di Paris. Pagi itu nuansa mendung plus gerimis belum juga beranjak,  masih sama seperti hari sebelumnya. Bangun jam 6 pagi menyiapkan sarapan alakadarnya untuk kami bertiga, kebetulan pagi itu si empunya kamar berencana berangkat subuh untuk mengikuti acara pemilihan ketua PPI Perancis di kedutaan. Jam 9an, saya dan Rush meninggalkan Cachan dan bertolak ke pusat Paris, menaiki RER B dari Arcueil Cachan, turun di station Luxembourg dan berjalan kaki menuju Pantheon. Berdiri di Rue de Soufflot yang menghubungkan Jardin de Luxembourg dan Pantheon, saya bisa menyaksikan keindahan detil  ala Quartier Latin di gedung  yang dulunya adalah gereja itu.  Saat Louis XV menderita sakit yang cukup serius di tahun 1744, dia pun bernazar akan membangun sebuah gereja jika nantinya ia sembuh.  Atas andil Jacques- Germain Soufflot, sang arsitek, gereja yang didedikasikan untuk Sainte-Geneviève ini pun selesai di tahun 1791, di saat yang sama ketika Paris sedang bergejolak dengan revolusi Perancis. Setelah revolusi, fungsi gereja pun dialihkan menjadi public building yang terbuka untuk umum. 

Kawasan Quarter Latin di selatan Paris (Left Bank of the Seine River) ini merupakan kawasan pelajar, dimana banyak perguruan tinggi berdiri. Setelah sejenak mengusir dingin dengan minum secangkir espresso mini serta sepotong raisin croissant di salah satu sudut Rue de Soufflet, kami kemudian menuju Sorbonne University (Universite de Paris), universitas ternama yang beridir sejak abad 12. Di universitas inilah  pasangan Marie dan Pierre Currie, pemenang nobel Fisika-Kimia, pernah belajar. Sejumlah nama seperti Victor Hugo, penulis novel Notredame, Desiderius Erasmus, humanis Belanda yang namanya dipakai dalam program “Erasmus Mundus” oleh Uni Eropa, serta Antoine Lavoisier, sang Bapak Kimia Moderen,  juga merupakan alumni Sorbonne University. Begitu terkenalnya hingga tokoh Aisha dalam novel Ayat-Ayat Cinta-nya Habiburrahman El Shirazy pun dikisahkan pernah belajar di universitas ini.
Dari sana, kami menuju Jardine de Luxembourg, sebuah taman ber-landscape campuran Italian-French. Mengapa ada nama Luxembourg di dalam kota Paris? Hmm.. karena dulunya area tersebut merupakan milik Duke of Luxembourg yang kemudian dibeli oleh Marie de Medici, ibu Louis XIII yang seorang keturunan Italian. Pertanyaan mengapa ber-landscape Italy pun sekaligus terjawab bukan? Sayang, mengunjungi taman ini di kala autumn membuat saya  kurang bisa menikmati keindahannya, meskipun tetap ada berumpun aster warna-warni di sejumlah sudutnya.  Merasa terkejar waktu plus banyaknya tempat yang ingin disinggahi, kami segera bergegas kembali ke Luxembourg subway/metro station menuju St Michel untuk berganti line ke arah Chateau de Versailles. 

Metro yang kami naiki pun melaju menuju Versailles. Dalam waktu 40 menit diperkirakan kami akan sampai disana. Namun, entah mengapa, tiba-tiba metro berhenti di Invalides disertai announcement dalam bahasa Perancis yang intinya “ini adalah pemberhentian terakhir”. Akhirnya kami mengambil metro di arah berlawanan, yang juga menuju ke Versailles, namun dengan rute yang lebih panjang, sekitar 75 menit. Setelah berjalan kaki 15 menit dari stasiun, kami pun sampai, disambut oleh patung Louis XIV yang dengan gagahnya menunggang kuda.  Suasana Chateau (dalam bahasa Inggris disebut Palace) di hari Sabtu itu begitu ramai. Ratusan orang menyemut di pintu loket untuk masuk ke dalam taman juga istana yang merupakan simbol absolutisme Lois XIV di tanah Eropa.
Monday, December 27, 2010 0 komentar By: shanti dwita

Paris day 1

Berada di jantung Eropa Barat  membuat angan-angan saya mengelilingi sejumlah negara kenamaan seperti Jerman, Inggris dan Perancis menjadi semakin mudah untuk diwujudkan.  Waktu tempuh dengan pesawat dari Brussels ke negara-negara tetangga rata-rata hanya 1 jam. Berbagai maskapai penerbangan  menawarkan ratusan rute yang menghubungkan seluruh kota di Eropa dengan harga yang sangat kompetitif dan tak jarang lebih murah dibanding bus maupun kereta api. Namun kali ini, dengan alasan kepraktisan, saya tidak memilih pesawat untuk sowan ke Paris, ibukota Perancis yang berada tepat di sebelah barat Belgia. Ada dua cara mudah untuk menuju Paris dari Gent (kota tempat saya tinggal), yaitu dengan bus ataupun juga kereta api. Untuk kereta api, opsi yang bisa diambil ada dua, dengan kereta eksekutif Thalys yang akan membawa penumpang langsung ke Paris tanpa transit, atau dengan menumpang kereta IC dari Gent ke Lille dan melanjutkan perjalanan dengan TGV dari Lille menuju Paris. Harga yang harus dibayar untuk layanan kedua kereta api itu kira-kira 80 euro one way (untuk opsi TGV, bisa lebih murah). Atas dasar pertimbangan harga dan waktu tempuh yang tidak terlalu berbeda jauh, saya pun memilih pergi ke Paris dengan Eurolines, bus service yang melayani trip hampir ke seluruh negara di Eropa. Satu bulan sebelum keberangkatan, saya mengunjungi kantor Euroline di Koningin Elizabethlaan, tak jauh dari stasiun Gent St. Pieters. Saya memesan dua tiket, satu tiket one way untuk teman saya Rush yang akan datang dari Norway, serta satu tiket return untuk saya. Satu tiket one way saya beli seharga 29 euro, sedangkan untuk tiket return, saya membayar 31 euro. Cuma beda tipis! Seringnya membeli return ticket memang lebih menguntungkan dari segi harga, namun kurang flexible untuk multiple trip, contohnya jika setelah dari Paris akan lanjut ke Milan, lalu dari Milan, baru pulang ke Brussels. Untuk kasus seperti itu, teman saya Marija bilang, Eurolines juga menyediakan Eurolines Pass yang bisa dipakai traveling ke seluruh Eropa dalam jangka waktu 15-30 hari. Untuk youth (under 26), harga 15 days pass sekitar 100 sekian euro, saya lupa persisnya.

Akhirnya saat long weekend, minggu pertama di bulan November, saya dan Rush bersiap berangkat untuk  mengunjungi kota yang tersohor dengan Eiffel Tower tersebut. Berbekal print-out email dari Dedy, yang kurang lebih berisi arah-arahan metro, RER juga bus plus jenis tiket yang harus kami beli untuk menuju ke studionya, kami melenggang menembus dinginnya pagi di musim gugur. Ini pertama kalinya saya naik Eurolines.  Menurut petugas ticketing yang saya temui sebelumnya, saya harus berada di Gent Dampoort, setengah jam sebelum jadwal keberangkatan, which means jam 9 pagi . Saat itu bus dalam kondisi penuh, tidak ada seat number jadi penumpang bebas memilih untuk duduk di mana saja. Saya kebagian kursi paling belakang, di sisi saya seorang perempuan Afro setengah baya yang sibuk dengan laptopnya. Bus melaju  melewati tol E17 menuju Kortrijk-Lille dan berganti ke A1 arah Paris. Dari tulisan "SANEF" yang saya baca di setiiap gerbang tol, saya pun menduga kalau nama itu mengacu pada grup pengelola highway di Perancis, seperi halnya Jasamarga di Indonesia. Pukul 11.50 nuansa Paris metropolitan mulai  terasa saat bus melaju di bawah terowongan Charles de Gaulle Airport, dengan sejumlah burung besi yang terbang sangat landai. Dari airport inilah di bulan Juni nanti saya akan pulang ke Indonesia (can't wait for that!). Pemberhentian terakhir Eurolines di Paris adalah Gallieni, salah satu metro station yang namanya diambil dari nama  jenderal  yang berandil besar dalam The Battle of Marne, di perang dunia I, Joseph Gallieni. Disana saya membeli 3 tiket, 2 mobilis zona 1-3 serta 1 mobilis zona 1-4 yang akan saya pakai untuk berkeliling Paris selama 3 hari. Tiket Mobilis ini merupakan tiket harian untuk penumpang berusia 26+ dan saya membelinya seharga 8,2 euro (untuk zona 1-3), sedangkan untuk zona 1-4 uang yang harus saya rogoh adalah 10,5 euro. Pusat kota Paris sendiri sebenarnya berada di zona 1 dan 2, tempat dimana hampir semua objek yang lekat image-nya dengan kota Paris , seperti Eiffel Tower, Musee de Louvre, dan Champs Elysees berada. Jadi jika hanya punya 1-2 hari di Paris, rasanya membeli tiket untuk zona 1-2 sudah cukup. Tapi berhubung saya  dan Rush akan menginap di tempat Dedy di Cachan, mau tak mau kami harus membeli tiket zona 3 itu. Oya, Dedy ini mahasiswa dari Indonesia, lulusan ITS. Sama halnya dengan saya dan Rush, dia juga awardee  Erasmus Mundus 2010. Hingga Januari 2011 dia akan stay di Paris, mengambil Nano dan Biophotonics di École Normale Supérieure de Cachan. Sedangkan Rush, lulusan Sastra Inggris UNJ yang stay di  Oslo untuk belajar Early Childhood Education. Yah, hitung-hitung reuni EM awardee di tanah Eropa!

Dari Gallieni, sesui instruksi Dedy dalam suratnya, kami naik metro 3 menuju Republique dan melanjutkan dengan metro 5 menuju Bastille, berharap akan menemukan penjara Bastille yang kuat imagenya dengan revolusi Perancis di 1790-an. Yang kami temui disana bukan lagi kastil tua, karena memang penjara tersohor yang mulanya adalah gerbang (Bastion de Saint-Antoine) dan dialihfungsi menjadi benteng sekaligus penjara oleh Louis XIII itu telah dihacurkan. Puing-puing Bastille yang pernah berdidi kokoh, kini termanifestasi dalam interior Bastille metro station dengan dinding dan lorong khas kastil tua di abad 13. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami berdua makan siang di Mc. Donalds, dengan menu : Spaghetti tuna buatan saya. Ya, sebelum berangkat saya memang menyempatkan untuk memasak bekal untuk kami berdua, just in case kami kelaparan di tengah jalan.

Setelah perut terisi, acara sightseeing Paris berlanjut dipandu oleh guide yang cukup punya nama, yaitu "Lonely Planet edisi Paris"! Dari Bastille, saya dan Rush menuju kawasan Hotel de Ville dengan dinaungi awan mendung dan ditetesi gerimis,  tepat seperti apa yang saya baca di Paris weather forecast beberapa hari sebelumnya. Hotel de Ville ini bukan hotel yang sebenarnya, karena dalam bahasa Inggris, frase ini lazim ditranslasikan sebagai "City Hall" atau kantor pusat administrasi.  Dari sana kami pun menyeberangi sungai Seine, sungai terpanjang kedua di Perancis setelah The Loire yang bermuara di Teluk Biscay. Biarpun bukan sungai terpanjang, namun nama Seine terdengar begitu populer, lekat dengan image Eiffel, Louvre, Notredame dan suasana romantis.  Bicara tentang Seine, tentu juga akan bersentuhan dengan istilah right banks (Rive Droite) dan juga left banks (Rive Gauche). Right banks merujuk pada daerah di utara Seine, sedangkan left banks digunakan untuk mendefinisikan area di sebelah selatannya. The banks of the Seine ini terdaftar dalam list UNESCO " World Heritage Sites" karena keindahannya. Setelah berbelanja di beberapa souvenir shops di tepian Rive Droite,  langkah kaki pun seperti sudah bermagnet untuk menuju Notredame.

 

Hari Ibu

Saya lupa, entah untuk berapa lama saya menyandang status sebagai ibu. Satu hal yang saya ingat, saya nggak mendapatkan ucapan "Selamat hari ibu" dari suami di 22 Desember tahun ini. Mungkin karena saya jauh, mungkin juga karena pada hari itu mereka berdua sedang sakit hingga sama sekali nggak kepikiran untuk memberi ucapan. Satu hal yang saya ingat, di hari itu suami saya menelfon "Yang, kalo Adis demam 37.5 Valisanbe-nya dikasih ngga? Dosisnya? Berapa kali sehari?" Empat bulan terpisah dari mereka belum cukup membuat saya lupa tentang merawat anak dikala demam. Bahkan dosis obat serta jam memberikannya saya masih ingat. Satu-satunya yang bisa saya lakukan saat itu adalah menelfon sesering mungkin untuk mengecek perubahan suhu badan Adis dan mempercayakan sepenuhnya perawatan Adis pada sang ayah. Dia  memang laki-laki, tapi dia sangat bisa diandalkan dalam merawat anak kami. Dia sibuk bekerja dari pagi hingga malam, tapi selalu punya waktu untuk memastikan Adis sudah makan, bahkan selalu menyempatkan untuk menyuapi setiap pagi sebelum berangkat kerja. Adis bukan anak yang doyan makan, bahkan mbak-nya kadang menyerah dan bilang "Adisnya ngga mau makan, Bu". Saat-saat seperti itu, Adis biasanya bilang "Adis maunya disuapin ibu atau Adis mau disuapin ayah aja.." Otomatis, saat saya tidak ada bersama mereka seperti saat ini, hanya dialah yang bisa diandalkan untuk membuat Adis mau makan.

Masih lekat dalam ingatan bagaimana kami berdua melewati hari-hari bersama dulu, saat Adis masih berbentuk embrio yang meringkuk dengan nyamannya dalam perut saya. Dia, suami saya, paham betapa letihnya saya menjadi ibu rumah tangga, dengan setumpuk pekerjaan mulai dari masak, mencuci piring, menyetrika hingga membersihkan seluruh rumah, setiap hari. Dia pun oke saja ketika saya minta bantuan untuk menangani urusan cuci baju. Ketika bayi kami lahir, pekerjaan saya semakin menumpuk seolah 24 jam sehari tidak cukup untuk melakukan semua aktifitas. Saat itu, dia juga tidak diam saja meski saya tau dia lelah bekerja. Dia terjaga di malam hari dan mau mengganti popok. Saat bayi Adis rewel tanpa henti, dia bersedia untuk menimangnya hingga tangisnya usai. Hingga kini, saya masih ingat bagaimana dia duduk tertidur sangking lelahnya membantu menjaga Adis sepanjang malam dan juga ingat kalau saat itu saya memandangnya sambil tersenyum.

Menjalankan tugas sebagai ibu menurut saya tidak berat (selama ada suami yang membantu meringankannya). Kalau toh saya sebagai perempuan, ditakdirkan untuk memiliki rahim dan dijadikan perantara untuk seorang manusia baru lahir ke dunia, itu sudah lumrah terjadi. Bukan hal yang perlu dijadikan pamrih karena saya memang ikhlas menjalani hal itu. Mungkin perasaan ini juga dimiliki oleh ibu lainnya. Kalau ada ibu yang marah dan berkata "dasar kau anak durhaka, tidak tahu apa bagaimana ibumu mengandung dan melahirkan... bla bla", saya pun akan merasa kalau dia tidak ikhlas atas takdirnya sebagai perempuan. Mengandung dan melahirkan tidaklah berat, saya justru ingat bagaimana saya menikmatinya. Jika orang bilang melahirkan itu antara hidup dan mati, saya justru tidak pernah berfikir bahwa saya akan mati saat melahirkan. Suami saya justru yang paranoid setengah mati melihat saya yang kesakitan. Hingga dengan konyolnya dia berdoa, jika memang dia dihadapkan pada pilihan, dia ingin saya yang tetap hidup. "Honey, I'll just be alright!" 

Satu hal yang digaris bawahi dari pemikiran saya tadii (dari sudut pandang saya sebagai seorang ibu) : mengandung dan melahirkan itu sudah kodrat, tidak perlu dijadikan beban untuk anak hingga harus merasa berhutang budi pada ibunya. Hal terpenting sebenarnya adalah proses mengasuh dan memberikan kasih sayang, menurut saya itu hal termulia yang bisa diberikan seorang ibu pada anak-anaknya. Untuk hal ini, saya merasa sangat kerdil, hingga tak pantas rasanya disebut sebagai seorang ibu. Saya memang sangat memperhatikan kesehatan dan kebersihan Adis. Memasakkan makanan kesukaannya, mengatur jadwal minum susu, memberikan vitamin/suplemen, membutkan jus dan seterusnya yang berhubungan dengan kecukupan kalori dan gizi. Tapi semua itu tidak kontinyu, tidak setiap saat saya ada disisinya untuk melakukan hal itu, tidak punya bayak waktu juga untuk mengajaknya bermain dan belajar. Lalu? Siapa yang selalu ada di sisi Adis dan nggak pernah meninggalkannya? Jawabannya : suami saya! 

Beruntung memiliki seorang yang penyayang seperti dia. Saya tersenyum saat beberapa waktu lalu dia bilang  baru selesai mengajak Adis main layang-layang, juga saat dia bercerita membawa Adis turut serta dan menjadikannya supporter saat ia bermain futsal dengan teman-temannya. Tidak bisa dipungkiri kalau sebagian besar peran ibu telah diambil alih olehnya saat saya tak ada. Sangat nyata bahwa hidup yang dijalaninya tanpa saya disisinya begitu sulit, seperti halnya mobil yang kehilangan satu rodanya. Dia ibu dan juga ayah terbaik untuk Adis. Yang bisa saya lakukan adalah berdoa, agar setiap kesedihan dan kesusahan yang mereka berdua rasakan saat ini akan digantikan dengan kebahagiaan yang tak terkira. Akhirnya, jika seorang ibu begitu dianggap mulia hingga layak diberikan sebuah "hari ibu", maka sayapun akan memberikan ucapan "selamat hari ibu" pada suami saya. Meskipun dia tidak mengandung dan melahirkan, tapi perannya dalam memberikan kasih sayang, melebihi peran saya sebagai ibu biologis. "Selamat hari Ibu, honey!"




sahabat sejati

Jauh sebelum kami saling kenal, nama jelek itu sudah lekat dengan kami. Teman2nya memanggilnya aki karena dia keliatan tuaaa dengan brewoknya, sedangkan teman2 saya memanggil saya bogel.. Duh.. ngga tau yaa, masalah fisik ini maaahh (*pura2 bloon). 

Sampai sekarang, panggilan itu masih sering kami pakai, lucu aja rasanya, memanggil dia “akiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii” seolah dia memang benar2 teman (tanpa embel2 cinta).. dan dia pun akan menyahut “Apa bogeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeLLL”… haha.. nggak pernah dewasa. Kami berdua layaknya sahabat sejati yang kompak. Berada disini dan jauh dari dia, saya merasa sangat kehilangan sosok teman, yang sering meledek saya hingga membuat saya keki minta ampun. Saya kehilangan partner main monopoli, kehilangan lawan tanding untuk main bulutangkis dan balapan lari, juga kehilangan partner untuk makan ketoprak di pinggir jalan Sudirman. Ah yaa.. Ketoprak! Seumur2 saya nggak suka makan ketoprak. Suatu hari dia pulang tengah malam setelah futsal/bulutangkis dan dia membawakan sebungkus ketoprak buat saya. Yah.. biarpun sama sekali nggak laper dan bener2 ngantuk karena sudah pules tidur, saya pun makan karena dia bilang “ini special untuk kamu, pedes soalnya”.. Dia pun menunggui saya makan dan cukup girang ketika saya bilang, “ketopraknya enaakkk!”  Dan sejak saat itulah..saya doyan makan ketoprak dan selalu malak dia untuk beliin. Saya jamin dia pun pasti seneng, karena harganya murah, Cuma 8000… Uhh.. beruntungnya dia, karena saya ngga suka makan makanan mahal! :(  

Sama halnya dengan film action. Jaman pacaran, dia nurut aja kalo saya pilih film drama romantis dan saya selalu nolak kalo dia nunjuk film action. Di benak saya film action sama sekali nggak asik, dan masalahnya, saya sering ngga nyambung sama jalan ceritanya. Karena hal itu juga, dia sering mengejek saya lemot dan sedikit bloon (sedikit doang.. ngga papa laaahh).  Tapi jangan ditanya setelah married. Berkeping2 VCD/DVD action  seperti Bourne (Ultimatum? Supremacy? Identity? Whatever lah…), film2 perang, film2 dengan setting jaman dulu (raja2 romawi, inggris etc etc), Wolverine X-Man sampai the departed-nya Di Caprio hilir mudik di depan mata saya.  Awalnya saya fikir “apaan sih ini..ngga banget..males nontonnya” dan aneka komentar negatif  lainnya. Suatu saat dia pergi kerja, dan saya ngerasa ngga ada kerjaan, mulailah saya habisi semua film2 action itu, dan ternyata…………..saya sukaaaaaaaa… !! haha..

Contoh lainnya? Ngngng… Kerokan!!! Nggak elit banget memang, tapi ngga tau kenapa, dia hobby banget, tiap ngerasa nggak enak badan pasti “yang…kerokin aku dong!” (panggilannya buat saya kalo lagi ada maunya). Ngga kebayang, karena dari kecil saya emang nggak pernah terjun dalam dunia kerokan, uuuhh.. tangan ini rasanya pegel banget disuruh megang koin  plus dikasih aba2 tentang cara ngerokin yang baik. Secara saya amatir, punggungnya memang jadi merah, tapi bukan karena anginnya keluar, lebih cenderung ke arah lecet dan luka2. Haha. Pastinya bukan “bogel” namanya kalo ngga minta reward. Kadang2 saya juga minta dikerokin balik, biarpun..hhhh..sakit gila! Tapi lumayan untuk ngasih dia kerjaan. Hehe, atau kalo ngga biasanya rewardnya “oke..gantiaaaann. Pijitin aku sampe tidur!” Duh..rasanya kaya ratu sejagat!(Really miss this moment!!)

Banyak hal2 yang sebelumnya saya ngga suka, tapi setelah kenal dia, saya jadi suka. Tapi rasanya, saya nggak begitu berhasil menghasut dia untuk menyukai hal2 yang saya suka. Saya ini pemakan segala, semua makanan dari yang namanya sayur daun pepaya yang pahitnya minta ampun sampe ikan asin yang asin banget, saya suka dan nggak pernah milih2 makanan. Beda banget dengan teman hidup saya yang  satu itu, ngeliat bawang Bombay, dipinggirin, makan sayur? Maunya tumis kangkung doang…makan ikan..ngga mau sama tulang2nya..padahal tulang ikan kan banyak kalsiumnya? Hhhh… (tapi memang dalam poin yang terakhir, saya agak lebai sedikit : buat saya, selama tulang ikan tersebut masih dalam kriteria “bisa dikunyah tanpa merusak gigi”, pasti saya lumat habis).

Ngomongin dia, nggak akan ada habisnya. Kemarin lewat telefon, dia bikin saya shock dan ngga bisa berhenti ketawa. Ketawa jengkel, gondok, lucu, gemes.. campuraduk!!!!!. Rasanya pingin cepet2 pulang dan balas dendam.. nggak sabar rasanya untuk bikin perhitungan dengan dia. Dan biasanya, perhintungan yang paling imbang untuk hal2 konyol dan menyebalkan seperti ini adalah “dikelitikin sampe nangis!” Saya sih gampang, kurang dari 5 menit diiket dan digelitikin, saya sudah bisa nangis dengan begitu sedihnya, hingga dia nggak tega dan membebaskan saya.. sedangkan untuk dia, ngga da cerita saya berhenti menggelitiki sebelum dia bilang ampuun seratus kali dan ngadu ke adis “adisss..tolong ayaaaaaaaahhh”..dan si mungil itupun pasti akan bilang “ibu stop ibu..kasian ayahnya” Huhhmmmmm!!! “Hunny! Waspadalah ! Wapadalaaaaaahhh! Your enemy is coming!”

Luxembourg


Oktober  2010. Perjalanan saya ke Luxembourg dimulai sebelum subuh dengan 3 rute, yaitu Gent-Brussels, Brussels-Arlon  (keduanya menggunakan kereta IC) dan Arlon-Luxembourg dengan TEC (bus). Itu berarti, saya harus siap-siap PD untuk menjalankan sholat subuh di kereta dengan dilihat banyak orang. Awalnya takut dan sungkan, tapi akhirnya saya pakai juga mukena itu dan mulai sholat searah dengan arah kereta melaju. Dan benar saja, selesai sholat, penumpang di kursi sebelah yang sedang membaca koran, melirik kearah saya yang sedang melipat mukena. Yah, forget it!

Saat matahari mulai terbit, saya bisa melihat nuansa “hilly” di bagian selatan Belgia dari jendela kereta., berbeda sekali  dengan kawasan Vlanderen di utara yang flat. Stasiun Arlon yang kami tuju saat itu sebenarnya juga masih bagian dari Belgia dan tepat berbatasan dengan Luxembourg. Butuh sekitar 40 menit untuk mencapai pusat kota Luxembourg dengan tariff 3 euro.  Bus TEC 80/1 berhenti di kawasan Royal sekitar pukul 10 pagi, dan seperti biasa disetiap perjalanan, tempat pertama yang dituju adalah tourism office demi mendapat map gratis. Tapi sayang, bagunan bertuliskan Tourism Office atau “office de tourisme” dalam bahasa Perancis itu tidak juga berhasil kami temukan. Sebagai solusinya, saya pun membeli buku panduan wisata Luxembourg yang dilengkapi peta di sekitar townsquare (Place d’Armes). Ngomong-ngomong soal bahasa, hampir sama dengan Belgia, warga Luxembourg pun punya 3 bahasa, yaitu Jerman, Perancis dan juga Luxembourgish. Mungkin demikianlah nasib negara ber-teritori kecil yang diapit negara besar dengan pengaruh linguistic yang kuat.

Halloween party

Beberapa waktu lalu di penghujung Oktober teman-teman saya mengajak untuk mengikuti perayaan Halooween di the Porter House, sebuah night club tempat anak-anak muda Gent biasa ngejojing alias disko-disko. Setelah ajakan2 ke night club yang selalu saya tolak sebelumnya, akhirnya kali ini saya bilang "iya" dengan pertimbangan bahwa ini special occasion, bagian dari kultur Barat yang memang ingin saya lihat. Lagi pula, saat itu momentumnya tepat, baru saja terlepas dari beban ujian 3 mingguan, presentasi serta paper yang benar-benar "menggila". Terus terang saya nggak punya persiapan apapun untuk ke acara Halloween. Saat teman-teman saya mengatur janji di  facebook untuk membeli pernak-pernik serta make-up, saya malah sedang nyenyak-nyenyaknya tidur siang. Pun saat saya tanya housemate saya, Esther dan Steve, tentang kostum yang akan mereka pakai, saya memilih apatis. Betapa tidak, mereka bilang mau mengecat muka ala Joker dengan warna putih, bibir merah belepotan darah, mata hitam, serta beberapa bekas luka sayat.. Aahh..mana mungkin saya bisa ikutan??!

Perayaan Halloween saat ini memang lekat sekali dengan pesta kostum, terutama di kalangan muda mudi. Halloween aselinya merupakan tradisi Samhain, sebuah tradisi di akhir musim panas untuk menyambut datangnya winter dan dilakukan oleh bangsa Galia kuno di wilayah Scotland. Bangsa Galia meyakini bahwa di hari Samhain (31 Oktober) batas antara dunia nyata dan dunia gaib akan sangat tipis, sehingga para penduduk dunia gaib dapat dengan mudahnya menyeberang ke alam nyata dan mengganggu mereka. Nah, agar roh jahat tidak merasuki mereka, para penduduk pun memakai topeng menyeramkan sebagai penangkal. Tradisi memakai topeng serta kostum seram inilah yang hingga saat ini masih dilakukan hingga sekarang. Lalu mengapa tradisi yang tadinya bernama "Samhain" berubah menjadi "Halloween"? Menurut artikel yang saya baca, itu semua ada kaitannya dengan campur tangan gereja dan kaum nasrani yang menganggap Samhain tidak gerejawi. Dengan harapan bangsa Galia meninggalkan tradisi Samhainnya, maka diciptakanlah label baru untuk festival ini, yaitu All Hallows Evening (malam bagi orang suci- All Saints), terdengar lebih religius, bukan? Kelamaan nama "Halloween" pun muncul untuk memudahkan masyarakat melafalkannya.

Kembali ke acara Halloween party di Porter House, Overpoort. Jam 11 malam saya bergabung bersama teman-teman, menunggu tram yang akan membawa kami ke dekat porter house. Teman-teman Turki, trio Hazal, Melike dan Mehmet sepertinya niat abis dengan dandanan maksimal. Hazal memakai kostum ala narapidana, dengan stocking stripes, hot pants, juga tanktop yang dibuat garis-garis dengan bantuan selotip putih. Crazy her! Plus  make up seram, topi khas napi, rantai juga tag yang bertuliskan nomor tawanan. Melike, berpakaian ala penyihir, tapi ngga mau mengambil resiko untuk tidak terlihat cantik. Mehmet, cukup total dengan make up seram, gigi drakula serta jubah berkerah tinggi, typically Dracula! Ahh... pergi bersama mereka bertiga rasanya cukup membuat kami semua mencuri perhatian orang-orang yang ada di tram. Dan karena perginya rame-rame, ngga ada alasan untuk ngga PD toh?

Trio Turkish

"So, Shanti.. this is your first time inside the night club! What is your impression then? Is it good?"  Well, nightclub itu penuh sesak, musik hingar bingar, lampu remang-remang dan semua orang sibuk bergerak. Di sana saya melihat Alessandro, teman Erasmus dari Italy. Dia lebih gila, mencoret-coret jas lab nya dan menjadikannya kostum scientist ala Dr. Frankeinstein.Teman-teman dari Spain juga datang, dan mereka semua kompak dengan kostum yang mereka pakai, Joker style!! Selain semua itu, satu hal yang menarik perhatian saya adalah dua gadis yang berdandan ala "The Smurfs", tokoh kartun yang diciptakan oleh kartunis/komikus (sorry kalo salah kata) Belgia, Pierre Culliford, yang sempat trend saat saya masih SD.

Dr. Frankeinstein wanna be

Spanish Guys

"The Smurfs" girls


Semakin larut meninggalkan pukul 12 malam, semakin banyak orang yang datang dan membuat suasana semakin penuh. Obviously, there was no place to sit. All I had to do was following the rhythm. But what did I do then since I couldn't dance? Aseli, irama musiknya sih woke dan saya suka, tapi rasanya  berat sekali menggerakkan badan. Walhasil, saya pun lebih asyik mengamati orang-orang disekitar saya , mengambil gambar mereka, dan mengobrol dengan beberapa teman yang rasanya makin malam makin banyak yang saya temui. Saya juga menengguk sebotol cola, minuman wajib saya saat kumpul dengan teman-teman, karena memang cuma itu minuman yang saya yakini tidak beralkohol, selain air kran tentunya.:P

Sekitar jam 3 pagi saya akhirnya pulang bersama keempat teman saya (setelah berhasil membujuk mereka karena lazimnya mereka baru akan pulang sekitar jam 5 pagi). Berjalan kaki menyusuri kanal di daerah Coupure, menempuh jarak sekitar 4-5 kilo! Untungnya malam itu cerah dan suasana hati cukup happy meskipun tidak terlalu menikmati malam pertama saya di nightclub. Voila, sampai dirumah, saya pun tidur dengan nyenyak, namun hanya 2-3 jam karena jam biologis tubuh saya akan otomatis berbunyi jam 6 pagi untuk sholat subuh. Setelah itu? Saya nggak bisa tidur lagi.

Dua hari setelah Halloween party di porter house, teman2 di group Facebook pun marak menyuarakan tuntutannya agar foto-foto halloween segera di upload. Ha, siapa lagi kalau bukan saya, karena memang hanya sayalah yang sibuk jeprat-jepret kamera saat semua orang berhappy-happy dengan minuman dan dansa dansi. Oke, tanpa ba bi bu, saya pun segera meng-upload foto-foto halloween di account Fb saya dan menge-tag semua teman Erasmus yang ada di foto-foto itu. Urusan selesai. Namun dugaan saya salah, karena hanya butuh beberapa saat sebelum sebuah surat "cinta" hinggap dengan manisnya di inbox. Hmm.. surat itu dari suami saya. Isinya begini :



Oops.. Did i make mistakes? Ya, di awang-awang sederhana saya, tentu saya ngga berfikir sejauh itu. Tapi, setelah ditelaah, apa yang dikatakannya memang banyak benarnya. Saya juga jadi ingat, rasanya mungkin hanya saya perempuan berkerudung yang hadir di Porter House malam itu, bukan hanya malam itu mungkin,  bisa jadi dalam sejarah Porter House buka, baru saat itulah ada perempuan dengan tutup kepala ikut  serta. Setelah sempat bingung tentang gimana caranya menghapus album di Fb dan tanya kanan kiri, akhirnya, dalam hitungan detik, album yang di upload sekitar 6 menit itu pun musnah, sempurna.

But, I think it's okay now to share it in my blog. 
Mengikuti kata orang bijak bahwa menulis adalah cara jitu untuk mengingat sesuatu, saya pun memuat cerita ini untuk mengingat kalau saya punya teman (hidup) yang selalu mengingatkan saya.
Thanks honey!
Friday, November 5, 2010 2 komentar By: shanti dwita

happy birthday Shanti


Sebenarnya saya bukan orang yang suka merayakan ulang tahun, karena menurut saya, hari kelahiran itu sama istimewanya seperti hari-hari lainnya. Waktu SMA dan berumur 17 tahun, saya melewati 25 oktober dengan mentraktir teman-teman nonton di 21 (lupa judul film-nya). Di ulang tahun yang ke 21, pacar (hiks.. males banget menyebutnya pacar) membuatkan pesta ulang tahun kecil dengan nasi tumpeng dan mengundang teman2.. Setelah menikah, ulang tahun dilewati dengan dibangunkan jam 12 malam dan mendapat ucapan “selamat ulang tahun sayang” dalam keadaan sama-sama setengah sadar lalu tidur lagi. Sekarang di usia 27? Saya sendirian merantau di negeri orang, sama sekali tak berharap akan ada perayaan apapun.

Senin, 25 Oktober 2010 seperti biasa, saya bangun jam 3 pagi. Setelah melakukan ini dan itu yang dianggap penting, saya pun memilih online di facebook dan membalas ucapan selamat dari teman juga murid dan mahasiswa. Kebetulan hari tidak ada kuliah yang mengaruskan saya hadir di kampus. Minggu ketiga setiap modul selalu diisi dengan self directed learning dan mempersiapkan paper, presentasi juga belajar untuk final exam di hari Jumat. Mempertimbangkan 4 faktor, tidak kemana-mana, hari lahir, hari Senin dan juga kewajiban membayar hutang puasa, saya pun meniatkan diri untuk berpuasa. Lengkap sudah saya melewati hari itu dengan tidur dan membalas 200an lebih ucapan di wall saya sambil sesekali mencari-cari jurnal yang bisa saya jadikan acuan untuk menulis paper tentang environmental vegetarianism

Jam 4 sore, ketika saya masih bermalas-malasan, bel kamar juga bel rumah berbunyi. Dari kamar saya melihat ada dua teman saya yang datang dan menunggu dibukakan pintu di bawah sana. Saya pun bergegas mencari bergo (istilah yang saya dapat dari Sara, teman kuliah saya, tentang jilbab praktis untuk sehari-hari di rumah) dan segera menuju ke bawah untuk membukakan pintu. 

Ketika pintu dibuka, saya melihat Chooda (teman dari Nepal) menyembunyikan 1 kotak berwarna putih, dan saya pun segera menangkap maksud dibalik semua itu. Mungkin ini sebuah kejutan. “Come in!” kata saya menyuruh mereka masuk lengkap dengan isyarat kepala. “No, I’m waiting for haqqani” katanya. Haqqani adalah teman satu flat saya yang tinggal di lantai 1. Di lantai 2 ada Esther dan Steve dari Spanyol, dan di lantai 3 ada saya juga Lydia. “Ok, I’ll call him” kata saya sambil melangkah ke kamar Haqqani. “No, he’s out now!”kata Chooda sambil menerangkan kalau haqqani sedang membeli sesuatu di Proxy (jaringan supermarket Delheize, kalo di Indonesia seperti Superindo). Sajid yang datang bersama Chooda pun bertanya “where’s Lydia?”- “Well, she’s in Lille now”kata saya- “Yeah, but she said she’d be home at 3.30”

Tanpa banyak basa-basi lagi, saya pun mempersilahkan mereka untuk segera menuju ke dapur dan duduk di sana dengan manis. Benar dugaan saya, isi kotak itu adalah kue ulang tahun, sajid yang membelikannya untuk saya. What a nice guy! Dia juga sepertinya yang mengundang orang-orang dari kelas SEFO untuk datang ke rumah saya sore itu. Haqqani yang kemudian datang pun segera menggoreng 1 kg French fries, juga demikian halnya dengan Lydia yang membuatkan fruit tea dari Lille untuk kami semua. Sepertinya semua orang tak sabar untuk segera mencomot fries dengan saus tomat juga mencicipi hangatnya teh, termasuk saya. Dengan santainya saya mengambil fries dan makan. Setelah habis beberapa suap, saya pun mulai sadar dari mimpi “Astaga! Hari ini saya puasa” dan saya pun mendadak berhenti dan mulai senyum-senyum sendiri. “Hey, why are you smiling like that?? protes Rosina.. “Mmmm.. honestly.. I am fasting today..”- “Whaaaaatt??” mereka pun terperangah mendengar jawaban saya.



BIRTHDAY GIRL bantu-bantu bikin french fries

 Yah, berbagai pikiran berkecamuk di kepala saya. Jam 4 sore, mutus puasa, padahal dalam 2,5 jam azan maghrib akan segera berkumandang. Tapi saya juga nggak tega membiarkan surprised party yang telah mereka buat terbengkalai jika saya tak memakan kue itu. Pilihan sulit. Ya, sudahlah.. untuk menghargai mereka yang sudah datang, saya pun merelakan puasa saya hari itu terputus di jam 4 sore. Setelah difikir-fikir, itu pula sebabnya kenapa saya tak punya makanan apapun untuk mereka di hari itu. Saya puasa seharian, sama sekali nggak makan dan nggak masak.. Benar-benar bukan tuan rumah yang baik karena membiarkan para tamunya datang membawa makanan mereka masing-masing untuk merayakan ulang tahun saya.

Bithday Cake pemberian sajid
 
Saya kemudian duduk di hadapan kue ulang tahun serta lilin yang sudah dinyalakan, mereka mulai menyanyi dan mengganti lirik lagu selamat ulang tahun “happy birthday to you” dengan “how old are you now? Saya jawab “twenty seven” dengan nada fals karena benar2 ngga ada di lirik, dan kemudian rosinah menggantinya lagi dengan “you are like monkey..”- “you are like monkey”… Aaaaaaaaaaahhhhh, saya jadi seperti anak2… 

Teman-teman saya yang datang dengan membawa kamera mereka pun dengan sigap mengambil foto saya. OH..NO!.. saya tak siap untuk difoto hanya dengan berpakaian polo shirt serta training dan sandal jepit, tanpa make up, plus muka pucat karena tidur seharian.
Jadilah, Senin itu saya melewati hari ulang tahun saya bersama teman-teman. Rasa sepi berada jauh dari keluarga sedikit teralihkan dan berganti senyum ceria. Sangat senang memiliki teman-teman yang perhatian dan membuat saya merasa benar-benar ada di dunia ini. Thanks guys!

Happy bday to me!

Thursday, November 4, 2010 2 komentar By: shanti dwita

Amsterdam


Awal bulan Oktober saya sempat jalan-jalan ke Amsterdam bersama beberapa teman dari kelas bahasa Belanda. Janjian jam 7.15 pagi di depan kampus bukan hal yang sulit bagi saya karena sehari-harinya saya memang bangun subuh, tapi mungkin sulit buat yang lainnya. Teman satu rumah saya Steve yang cukup kebo, kembali tidur saat saya ketuk kamarnya jam setengah 7 untuk siap-siap. Walhasil, kami pun harus menunggu kereta berikutnya karena Steve baru tiba di Stasiun Gent Sint Pieters jam 8 lewat.  Dari Gent, kami menuju ke Antwerp dan berganti kereta disana. Perbatasan Belgia dan Belanda sebenarnya berada di Essen, sebuah distrik kecil yang didominasi grazing land untuk hewan-hewan ternak. Hampir semua teman saya punya GoPASS, jadi mereka menggunakan kartu itu untuk menuju Essen (GoPAss bisa dipakai kemanapun di seluruh penjuru Belgia, tak perduli jarak jauh ataupun dekat) dan mereka melanjutkan dengan membeli tiket dari Essen menuju Amsterdam. Jatuhnya tentu lebih murah, mereka hanya membayar sekitar 30 euro untuk weekend tiket Essen-Amsterdam pulang pergi. Sedangkan saya? Aduh, jangan ditanya. Negara kecil ini tak bersahabat pada orang berusia >26 tahun.  Segala sesuatunya berbeda, bahkan untuk rekening tabungan pun saya harus membayar sekian euro tiap bulannya karena saya >26, tidak peduli bahwa disini saya seorang pelajar perantauan yang masih disubsidi. Tiket ke Amsterdam untuk 26+ memang lebih mahal, 52 euro return (beda banyak.. Hiks).  Tiket yang saya beli adalah open ticket, jadi saya bisa berangkat dan pulang kapan saja terhitung mulai Sabtu jam 00.01 dinihari hingga Minggu malam jam 23.59, sama sekali tidak ada ikatan waktu. 

Tiba di Antwerp, karena kami berangkat terlambat, kami pun harus menunggu sekitar 40 menit untuk kereta berikutnya yang akan menuju ke Amsterdam. Jam 10 kurang 10, kereta ICE (inter city express) dijadwalkan tiba di platform 22, kami semua pun bersiap menunggu disana. Hari itu kereta penuh sesak ditambah lagi itu adalah kereta internasional hingga banyak penumpang yang membawa koper-koper besar. Saya sendiri hanya membawa satu tas ransel ukuran sedang berisi satu set pakaian ganti dan peralatan mandi, tanpa makanan sedikitpun. Saya pun mulai menyesal mengapa tidak membawa makanan ketika melihat Roland, teman saya dari Hungary, mengeluarkan 1 liter susu dan mengkonsumsinya seorang diri bersama sandwich yang ia bawa. Huaa… andai saya bawa makanan. Tapi taka apa, saya sudah sarapan dengan opor ayam meski tak puas karena terburu-buru. Oya, mayoritas orang di Eropa suka sekali dengan susu, beda dengan orang Indonesia seperti saya. Mungkin ini masalah personal, karena saya dasarnya memang hanya suka air putih.

Kereta berjalan cepat, dari Antwerp, kami pun melewati Heide, Kijkilt, Wildert dan akhirnya Essen, sang perbatasan. Saya menulis semua stasiun kecil yang dilewati meski sangat sulit karena kereta hanya menghembuskan angin di stasiun itu tanpa mau berhenti. Setelah Essen, stasiun berikutnya adalah Roosendal dan tentu ini adalah teritori milik Belanda. Kereta berhenti sekitar 5 menit di stasiun ini. Setelah Roosendal perjalanan pun berlanjut, saya tak lagi konsentrasi mencatat karena asyik mengobrol dengan teman-teman. Mereka mengomentari catatan perjalanan yang saya buat dan mulai mencoret-coret notes berlogo Uni Eropa dengan bintang 12 milik saya dan menggambarinya dengan peta Spanyol (kebetulan saya duduk bersama 3 orang Spanyol ; David, Steve dan Marta). Mereka berpromosi tentang tempat-tempat indah di Spanyol dan juga daerah asal mereka. David mempromosikan Cadiz di selatan spanyol (daerah asalnya) sebagai tempat dengan pantai terindah. Mereka juga memberi tanda di peta alakadarnya itu letak Granada, Sevilla, Santiago de Compostella, Barcelona, Madrid, san Sebastian, Toledo dan Salamanca. Semuanya ada dalam kategori ‘must visited’. Saya pun mengiyakan, sambil berharap mudah-mudahan saya bisa magang di Instituto del Frio, Madrid di trimester akhir 2011 nanti. Sebelumnya saya berfikir akan melakukan internship di USA sesuai program dari Erasmus Mundus–SEFO, tapi kok rasanya kejauhan. Spesialisasi yang ditawarkan di Tuft University Amerika adalah Food Nutrition, sesuai dengan yang dibutuhkan jurusan tempat saya bekerja. Ya, mungkin Amerika bukan jodoh saya, saya bisa melakukan riset lain tentang perikanan di Madrid. Seorang professor yang jurnalnya saya jadikan acuan untuk penelitian gelatin ikan di S1 dulu ternyata bekerja di institusi itu,  dan mungkin langkah selanjutnya yang harus saya ambil adalah PDKT ke supervisor agar saya diizinkan ke Madrid. Agak sulit karena institusi di Madrid itu bukan partner dari program EM SEFO, tapi saya tidak pesimis, itu sama sekali bukan hal yang tidak mungkin dengan probabilitas 0%.

Sekitar jam 11an kami melewati Rotterdam, saya merasa surprised karena melihat masjid dengan arsitektur indah berdiri tegak tak jauh dari stasiun Rotterdam. Melihat saya begitu excited, Steve bilang kalau di Spanyol, terutama Andalusia, banyak masjid-masjid indah macam itu. Ya, Islam pernah menemui kejayaannya disana, tapi saya tak yakin jika bangunan indah yang tersisa kini masih berfungsi sebagai masjid atau hanya sebagai tempat berfoto bagi turis-turis dari berbagai penjuru dunia. Rasanya, saya harus banyak membaca tentang sejarah Islam di Eropa, terutama Spanyol sebelum mengunjunginya, mungkin di 2011.

Jam 12.00 kami tiba di Central Station Amsterdam. Stasiunnya besar, tapi sama sekali tidak mewah. Masih lebih bagus Amsterdam Schippol yang kami lewati sebelumnya. Sebagai turis, tentu tempat pertama yang kami cari adalah tourism office, berharap untuk mendapat peta gratis disana. Tapi ternyata tidak ada yang gratis, silahkan masukkan koin 2 euro dan peta pun akan keluar dari mesin secara otomatis! Teman-teman saya tentu butuh peta untuk mencari hostel yang telah mereka pesan beberapa hari sebelumnya lewat internet, mereka akan menginap semalam disana. Sebelumnya saya berniat untuk ikut menginap disana dan membayar 25 euro per malam, tapi setelah, berfikir ini dan itu, saya pun memilih tinggal semalam di rumah Henin, mahasiswa double degree dari UI yang saya kenal saat akan ujian IELTS di Jakarta. Kebetulan, di tahunnya yang ketiga dan keempat dia berada di Amsterdam. Setelah mengontaknya lewat FB, saya pun dapat alamat juga nomor telefon serta manual singkat “how to get there”. Setelah makan siang bersama di Burger King dengan menu seharga 3 euro kurang 5 sen, saya pun memisahkan diri dari rombongan dan menuju Apartment Henin di Zuiderzeeweg. Oya, ada hal lucu saat memesan burger ini, karena tak tahu nama paket murah yang kami lihat di luar burger king, kami hanya bilang "2,95 menu please!" dan sang pelayan pun memberi setangkup burger sapi ukuran kecil-sedang, segelas coke dan seporsi kecil fries. No sauce, pay extra if you want. Disini semua serba dihitung, makan kebab pakai saus harganya tentu beda dengan nggak pakai saus. Sebenarnya, apalah harga sesendok saus tomat hingga pelanggan musti membayar extra 50 sen sampai satu euro untuk tiap saus yang mereka pesan. Padahal, harga 560g saus tomat di ALDI (jaringan supermarket murah di Belgia) cuma 60 sen!


Saat berjalan kaki dari Burger King menuju ke Central station saya menemukan banyak sekali sex shop. Mungkin GPS alami saya yang menuntun saya melewati jalan itu. Amsterdam memang terkenal dengan marijuana cake dan juga Red Light district-nya dimana banyak wanita dengan pakaian minim dan gaya erotis dipajang disana. Teman-teman saya berencana mengunjungi red light saat malam menjelang, dan itu berarti saya tidak bisa ikut serta, karena apartemen Henin jauh dari pusat kota. Berdasarkan informasi, red light terletak tidak jauh dari central station, sekitar 10 menit berjalan kaki. Dan mungkin, tempat saya berjalan dan menemukan banyak sekali sex shop yang memajang benda-benda vulgar dan manekin dengan lingerie set, adalah bagian dari red light district. Karena saya berjalan di siang hari, tak ada rona merah disana juga wanita-wanita sexy yang ada di etalase kaca. Saya pun cukup mendengar cerita dari teman-teman saya sepulang dari Amsterdam, bahwa di malam hari saat saya tak ada, mereka mampir ke bar dan makan beberapa potong marijuana cake dan melihat-lihat redlight district. Sayang sekali, mengambil gambar para gadis adalah hal yang dilarang sehingga saya tak bisa melihat gambaran malam di redlight melalui foto-foto mereka. Tapi mayoritas teman saya yang laki-laki berkata, hanya sebagian kecil dari gadis etalase itu yang benar-benar hot dan cantik, lainnya biasa saja, dan yang pasti tidak semuanya bule dengan blond hair, ada yang dari Asia, Amerika, India dan Afrika dengan tariff yang beragam, mulai dari 50 euro.

sex shop
Menaiki tram 26 dari central station, saya menuju Zuiderzeeweg dengan ongkos single trip 2,6 euro (mahal..). Di Brussels, single trip untuk tram/metro adalah 1,7e sedangkan di Gent hanya 0,8e. Jika di Flanders (gent), armada yang menaungi adalah De Lijn (The Line), maka di Amsterdam, armadanya adalah GVB. Lain de lijn, lain GVB. GVB lebih ketat dalam mengawasi penumpangnya, sama sekali tidak ada kemungkinan untuk naik tram secara gratis karena di setiap pintu ada scanner tiket plus penjaganya. Hanya dua pintu yang terbuka, pintu di dekat sang supir dan juga pintu belakang yang dijaga sang penjual tiket. Di Gent, semua pintu tram terbuka saat tram berhenti, penumpang pun bebas masuk dan tak ada paksaan untuk memasukkan tiket (de lijn card) ke dalam mesin. Ini sebabnya sebagian teman-teman saya cuek saja naik tram walau tak ada tiket, saya pun begitu jika hanya menempuh jarak pendek (ngirit dan melanggar hukum).
GVB tram di depan Central Station

Setelah melewati terowongan bawah air (saya tidak yakin apakah itu laut) yang disebut Piet Hein Tunnel, saya pun sampai di Zuiderzeeweg. Tidak sulit mencari apartemen Henin karena dia telah menunggu di dekat tram station. Menginap semalam di kamar Henin membuat saya mendapat banyak inspirasi untuk menjelajah Amsterdam di hari kedua karena Henin membebaskan saya untuk memakai laptopnya. Saya pun mencari tempat-tempat wisata indah di Amsterdam yang akan saya kunjungi esok hari berdasarkan booklet “visitors guide Amsterdam 2010” milik Henin. dan memastikan rute yang harus saya ambil lewat Google map. Di halaman akhir booklet terdapat info mengenai  Amsterdam region seperti Volendam and Marken (historic fishing village), Alkamaar (cheese market and wooden house), Edam (daerah asal keju edam yang berbentuk bundar), Haarlem (tempat rumah-rumah tradisional Belanda) dan juga De Zaanstreek (The Zaan Area, tempat kincir angin dan sungai Zaan). Saya pun memutuskan untuk menuju Zaandam, yang termasuk ke dalam De Zaanstreek setelah tergiur dengan gambar sungai biru gelap dan kincir angin yang ada di booklet, typically Dutch!

Paginya, saya pun membulatkan tekad untuk berpetualang sendirian mencari Zaandam juga Zaanse Schans tempat dimana puluhan kincir angin itu berdiri indah. Tak ingin merepotkan, saya pun tak memaksa Henin untuk menemani, toh saya juga sudah biasa nge-bolang, jadi sama sekali tidak ragu apalagi takut. Atas saran henin, saya pun membeli tiket GVB untuk 24 jam, dengan 7,5 euro saya bisa memakai tram kemana saja di dalam kota Amsterdam. Yah, mungkin akan berguna nantinya untuk keliling Amsterdam sepulang dari Zaandam, karena menurut mbah Google, di dalam kota Amsterdam sendiri ternyata ada kincir angin yang bisa dikunjungi, seperti De Gooyer yang bisa dicapai dengan tram 7 atau De Bloem di Haarlemmerweg dengan menumpang tram nomor 10.

Sampai di central station, saya pun membeli tiket kereta api menuju Zaandam dengan cara yang sangat amatir. Saya tunjukkan tulisan “Zaandam” yang ada di buku dan iapun memberi saya return ticket dengan harga 5 euro dan mengatakan bahwa kereta akan datang dalam 10 menit. Saya pun segera menuju ke platform yang dimaksud. Suasana pagi itu tidak terlalu dingin,, mungkin  sekitar 10 derajat, dan juga masih sepi karena jarum jam belum genap di angka 9. Kereta datang dari arah Alkamar, Noord Holland (North Holland) dan berjalan kembali menuju kesana. Alkamar juga merupakan desa wisata yang akan saya kunjungi jika saya punya kesempatan lagi, karena  seperti yang saya katakan tadi, disana ada traditional cheese market yang menjual gouda cheese khas Belanda yang bulat, besar dan berwarna kuning/orange cerah. Sayang, Alkamar cheese market hanya digelar dari bulan April-September, karena itu saya pun berniat untuk datang lagi dan lagi dan lagi ke Amsterdam sekaligus untuk melihat tulip-tulip yang bermekaran di Keukenhouf saat spring tiba. 


Satu stasiun sebelum Alkamar adalah Koog Zaandijk dan stasiun itulah yang menjadi tujuan perjalanan saya pagi itu (bukan Zaandam seperti apa yang saya katakan pada penjual tiket). Saya merubah tujuan setelah tau bahwa turun di Koog Zaandijk akan membawa saya lebih dekat pada si kincir angin. Benar saja, saat turun di Koog Zaandijk dan keluar dari stasiun, saya langsung menemukan plang yang menunjukkan arah-arah yang harus saya ambil jika ingin menuju ke kincir angin. Sebenarnya ada banyak jalan yang bisa saya pilih untuk menjelajahi the village of zaandijk ini, tentunya, saya mengambil jalan yang ada banyak gambar kincir anginnya.

Zaandijk Map

 Sepuluh menit jalan kaki mempertemukan saya dengan kincir angin yang pertama. Saya begitu excited, ini dia aura Belanda, “hei, saya di Belanda!” mungkin itu yang saya katakan dalam hati. Ternyata kincir angin hijau itu belumlah apa-apa, ketika saya berjalan kaki 50 meter lagi mendekati sungai/ River Zaan, saya pun dibuat lebih terkesima. Mungkin saya berada di lain dunia karena tempat itu begitu indah. Sederetan kincir angin dan rumah-rumah kayu khas Belanda dengan atap yang mengkrucut dengan detail ukiran seolah pas sekali bersanding di sepanjang aliran sungai zaan. Mungkin berkata-kata tidak cukup untuk menggambarkan tempat itu, picture says thousand words, better check the pictures below!

Zaanse Schans
 
Di Zaanse Schans juga ada peternakan kambing, mungkin susu kambing ini yang dipakai untuk membuat keju. Saya pun masuk ke Catharina Hoeve, sebuah cheese shop yang didalamnya juga terdapat alat-alat serta gambaran proses yang dilakukan untuk   membuat sebuah gouda cheese bulat yang lezat. Ya, berhubung jalan-jalan seorang diri, tentu hari itu saya banyak merepotkan orang untuk mengambil foto saya. seperti halnya yang saya lakukan di Catharina Hoeve, mengobrol sejenak dengan turus asal Korea, dan ujung-ujungnya "can you help me taking my picture with this cheese?"
Mungkin karena saya orang asing dan sendirian, banyak orang yang membantu saya memuaskan hasrat narsis di depan kamera. :P

kambing/domba di zaanse schans

Gouda Cheese 14 euro per piece
shanti the explorer
Jam 10.15 saya sudah kembali berada di stasiun Koog Zaandijk, berencana untuk bergabung kembali dengan team dan bertemu mereka jam 10.30 di Central Station. SMS dari  Ramon bahwa mereka mungkin baru akan tiba di Central Station jam 11.30 membuat saya mencari rencana untuk mengisi waktu. Setelah melirik kembali buku panduan Amsterdan milik Henin (yang ikut kebawa sama pulpen-pulpennya), saya pun tertarik untuk membeli tiket Holland International Canal Cruises dengan tiket seharga 13 euro untuk mengelilingi kanal-kanal di Amsterdam selama kurang lebih 1 jam. Paket yang saya pilih adalah 100 highlight cruise. Karena mayoritas orang yang memilih tour ini adalah pasangan/grup, mereka memilih kapal selanjutnya agar bisa lebih leluasa. Saya pun disarankan untuk segera naik ke kapal yang ada di darmaga karena sebentar lagi kapal itu akan berangkat. Aha.. semua kursi di dekat jendela penuh.. Tidaaakk.. saya mau turun dan mengambil kapal berikutnya, namun telat karena yang nakhoda yang berambut putih dan berjanggut dengan seragam biru telah bersiap dan mengambil ancang-ancang untuk segera berangkat. 

Canal Cruises
Perjalanan Canal Cruises ini dimulai dengan berhenti sejenak di NEMO. Sebuah bangunan berwujud kapal besar berwarna hijau tua yang konon, menurut suara electonic voice guide di kapal,  sengaja dibuat untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi jumlah pengangguran. Terbayang berapa banyak pekerja yang direkrut untuk menyelesaikan kapal  raksasa ini. Saat ini NEMO merupakan pusat  belajar sains yang menyenangkan di Belanda. Mungkin suatu saat saya juga harus mengunjungi si hijau ini, melihat sendiri bagaimana sains menjadi obek wisata yang menarik tanpa harus dibuat bosan dan pening.


NEMO-Amsterdam


Dari NEMO, kapal berbelok memasuki kota Amsterdam, melalui beberapa kanal. Dari suara electronic guide yang diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa berbeda, seperti Inggris, Belanda, Italia/Spanyol dan Jerman/Perancis (kalau saya tidak salah dengar), saya pun menuliskan nama-nama kanal yang dilalui, mulai dari Amsteel River, Princess Canal, Emperor Canal dengan lebar 28m dan merupakan kanal terlebar, hingga gentleman canal yang sudah ada sejak abad ke 17. Kanal-kanal di Amsterdam sangat bersih, tidak jauh beda dengan kanal di Brugge atau di Gent, namun belum bisa saya bandingkan dengan kanal di Genoa ataupun Venesia, karena saya memang belum pernah kesana. Di beberapa kanal yang cukup lebar, berbaris rumah-rumah kapal yang lagi-lagi menurut si virtual guide, mencapai 2500 buah! Jumlah yang sangat banyak dan mungkin ini salah satu akibat dari sempitnya tanah di Belanda. Perjalanan mengelilingi kanal di Amsterdam meski tidak terlalu menyenangkan karena hanya melihat air dan bangunan, cukup membuat wawasan saya tentang Amsterdam sedikit bertambah, dan tentunya juga, saya mendapat banyak gambar-gambar indah seperti yang ada di bawah ini.


isn't it gorgeous?
canal Amsterdam, very romantic!



boat houses yang jumlahnya mencapai 2500 buah
Amsterdam


Selesai mengikuti boat trip dengan Holland International Canal Cruise, saya pun berfikir untuk memanfaatan tiket tram 24 jam yang sudah saya beli pagi tadi. Lumayan daripada jalan kaki. Niat pertama saya saat bertandang ke Amsterdam adalah mengunjungi museum Madame Tussauds dan saya menulisnya sebagai must visited place in Amsterdam. Jika tertarik, ada puluhan museum yang ditawarkan di kota kanal ini, seperti Sex Museum Amsterdam Venustempel, Tulip Museum, Amsterdam Historisch Museum, Anne Frank House dan masih banyak lagi. Madame tussauds menjadi pilihan saya. Ingat sekali waktu pertama kali membaca artikel tentang Madame Tussauds London di majalah intisari milik orangtua saya waktu SMP dulu. Penulisnya menggambarkan Madame Tussauds dengan sangat detil sehingga saya selalu terkenang hingga sekarang. Di Eropa, Madame Tussauds bisa ditemukan di London, Amsterdam, Berlin dan juga Wina. Koleksi di setiap negara  mungkin sekali tidak sama, mungkin koleksi patung lilin di London, Los Angeles atau Hollywood lebih lengkap daripada yang ada di Eropa daratan. London adalah tempat pertama kalinya Madame Tussauds didirikan di tahun 1884, dan di tempat inilah patung-patung lilin buatan Marie Tussaud dipajang. 


Marie Tussaud


Setelah mengantri cukup panjang, karena hari itu adalah hari minggu, saya pun membeli walk out ticket seharga 21 euro. Saya disambut dengan patung Barrack Obama yang tersenyum dengan backgroud gedung putih. Seorang petugas Madame Tussauds menawarkan untuk berfoto bersama Obama, saya sih senang-senang saja, dan segera mengambil pose di sisi kiri Mr. President. Tampaknya patung Obama itu termasuk koleksi baru di Amsterdam karena pengunjung tidak diperkenankan mengambil gambar Obama dengan kamera mereka sendiri. Selepas berfoto dengan Obama, saya pun menuju lift yang akan membawa saya ke lantai atas. Sebelum masuk ke zona 12 (kalau memori saya tidak corrupt), pengunjung diingatkan untuk tidak menggunakan kameranya. Benar saja, ada maksud tersembunyi dibalik larangan itu ketika saya dengan cueknya memimpin rombongan memasuki lorong gelap. Di belakang saya menguntit sekitar 7-8 orang dan kami bersama-sama melalui lorong sempit, miring, berkelok, gelap tanpa cahaya sedikitpun. Teror pun dimulai ketika dalam suasana gelap, wajah-wajah seram muncul dan menakut-nakuti kami, walhasil kami semua berteriak ketakutan. Gadis di belakang saya sampai menarik-narik tas saya saking shock-nya. Ya, kira-kira yang ada di dalam sana seperti rumah hantu di Dufan (nggak yakin apa wahana itu masih ada), tapi di Madame Tussauds ini hantunya bukan patung, melainkan orang beneran yang muncul mendadak dan membuat jantungan.


Foto seharga 10 Euro


Lepas dari teror, sampai juga akhirnya saya di lantai atas, pusat dari Madame Tussauds, tempat tiruan  orang-orang terkenal dari seluruh penjuru dunia dipajang. Patung lilinnya dibuat sangat mirip, sungguh sebuah pekerjaan yang memerlukan detil ketelitian tingkat tinggi. Mungkin para pembuatnya mengukur tiap milimeter garis senyum yang dibuat oleh para pesohor ini, panjang alis, panjang rambut, diameter tubuh.. semuanya! Koleksi di Amsterdam ini tampaknya kurang update, karena saya tidak bisa menemukan pujaan hati saya sang "Wolverine" Hugh Jackman juga Edward Cullen si drakula. Sebagian koleksi yang bisa saya sebutkan diantaranya Stalin, Clinton, Bush, Gandhi, Nelson Mandela, Pangeran Charles, lady Di, MJ, Oprah, dan banyak lagi aktor/aktris Hollywood juga selebritas dari dunia olahraga seperti Beckham, Ronaldinho dan Neil Amstrong. Agak repot memang jika naluri ingin foto-foto meninggi namun tak punya partner, tapi saya sungguh beruntung karena banyak orang yang mau membantu saya mengambil gambar, bahkan ada yang menawarkan dirinya untuk mengambil foto saya bersama spiderman di dinding museum. Really lucky that day! Namun.. keberuntungan saya di Madame Tussauds nampaknya hanya sebatas itu, karena saat menuju pintu keluar, seseorang menunjukkan hasil cetakan foto saya bersama Obama dan berkata kalau saya bisa mendapat foto itu dengan membayar 10 euro..."Aaaaahhh.. kirain gratis!" saya sempat mikir-mikir dulu beberapa saat, karena 10 euro bisa dipakai untuk belanja 1 kilo daging sapi di Gent plus 500g buncis,  juga 1 kilo kentang.. haha.."Well. Ok, I'll take that photo" kata saya pada  si gadis.


Tak perlu berlama-lama di Madame Tussaud, saya kemudian memilih untuk memanfaatkan kartu GVB saya dan berkeliling amsterdam dengan tram, meski tak tahu persis tempat mana yang akan saya kunjungi. Berada di tram dan melihat-lihat kota Amsterdam , turun sejenak untuk menyusuri flower market yang menjual beraneka macam bunga dan juga tulip bulb menjadi penutup perjalanan solo saya di hari itu. 


 
Flower market
Tulip yang masih kuncup